[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Hari itu suasana kelas terasa hening setelah lembar hasil ulangan dibagikan. Anak-anak duduk dengan cemas, beberapa tersenyum lega, namun tak sedikit yang terlihat kecewa. Rian menatap angka yang tercetak jelas di sudut atas lembar jawabannya—100. Hatinya bergetar sedikit. Ini adalah salah satu momen langka di mana ia merasa bangga dengan pencapaiannya sendiri. Namun, kebahagiaan itu sekejap hilang ketika ia menoleh ke arah adiknya, Hanif, yang duduk di sebelahnya.
Hanif tampak cemas. Wajahnya terlihat tegang, dan matanya terus memandang angka yang ada di atas kertasnya—70. Rian bisa melihat Hanif menelan ludah, seakan ada beban berat yang menghimpit dadanya.
“Kamu dapat berapa, Hanif?” tanya Rian lembut, meski ia sudah menduga jawabannya.
“Cuma 70,” jawab Hanif dengan suara pelan. Ia menunduk, tidak berani menatap kakaknya. "Aku takut. Mama pasti marah."
Rian menghela napas. Ia tahu betapa besar tekanan yang selalu dirasakan Hanif, terutama jika berkaitan dengan nilai. Orang tua mereka selalu menuntut yang terbaik, dan jika Rian mendapat nilai yang lebih baik dari Hanif, itu akan memperparah situasi.
Hanif meraih lengan Rian, tatapannya penuh kecemasan. “Kak, tolong jangan bilang apa-apa soal nilai ulangan ini, ya? Aku nggak mau Mama marah.”
Rian terdiam sejenak. Ia tahu betapa berat bagi Hanif untuk terus menerus merasa di bawah bayang-bayangnya, namun menyembunyikan sesuatu dari orang tua juga bukan ide yang baik. Tapi melihat ketakutan di mata adiknya, Rian mengangguk pelan. “Oke, aku nggak akan bilang apa-apa.”
Hanif menghela napas lega, meski wajahnya masih penuh dengan kecemasan. Mereka berdua keluar kelas dengan langkah berat, berjalan menuju rumah. Perasaan tidak nyaman menyelimuti hati Rian sepanjang perjalanan. Di satu sisi, ia ingin melindungi adiknya dari amarah orang tua mereka, tapi di sisi lain, ia tahu ini tidak akan berakhir baik.
Setibanya di rumah, suasana tampak tenang. Ibunya, Weni, sedang duduk di ruang tamu sambil menyapu pandangannya ke arah mereka begitu mereka masuk.
"Kalian baru pulang?" tanya Weni sambil menaruh buku yang sedang dibacanya. "Bagaimana ulangan tadi?"
Hanif seketika menegang. Ia menatap Rian, seolah memohon agar tidak ada yang dibahas soal nilai. Rian terdiam, merasa kebingungan bagaimana harus merespon tanpa menambah masalah.
"Hanif?" Suara ibunya menajam saat tidak mendapatkan jawaban segera. "Kamu dapat nilai berapa?"
Dengan perlahan, Hanif membuka mulutnya, wajahnya masih penuh ketakutan. “70, Ma...”
Weni langsung mengerutkan kening. Tatapan kecewa segera memenuhi wajahnya. “Cuma 70? Kenapa bisa rendah sekali? Kamu nggak belajar dengan benar, ya?”
Hanif menggigit bibirnya dan hanya bisa menunduk. “Aku... aku udah belajar, Ma. Tapi soal-soalnya susah...”
“Kamu nggak belajar dengan sungguh-sungguh, makanya nilaimu jelek,” potong Weni tajam. "Udah berapa kali Mama bilang? Kalau kamu mau sukses, kamu harus serius. Kamu ini gimana, sih?"
Rian berdiri di samping Hanif, menatap adegan itu dengan rasa tidak nyaman. Dia tahu ibunya akan kecewa, tapi tidak ada yang bisa dilakukan sekarang untuk menghindarinya.
Weni kemudian beralih kepada Rian, yang selama ini diam saja. Tatapan tajam itu beralih padanya. “Kamu diam aja. Jangan-jangan nilai kamu lebih buruk dari Hanif, ya?”
Rian tersentak mendengar dugaan ibunya. Mulutnya terbuka, ingin menjelaskan, tapi terhenti ketika ia melihat tatapan Hanif yang penuh dengan harapan agar Rian tidak memperparah situasi.
Namun, sebelum Rian bisa menjawab, Weni melanjutkan dengan nada yang semakin tajam, “Jangan sampai kamu dapat nilai lebih jelek dari adik kamu, Rian. Mama udah cukup pusing dengan Hanif, jangan bikin tambah masalah!”
Rian merasakan tenggorokannya serasa tersumbat. Ia menggenggam erat tali tasnya, mencoba meredam perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Seharusnya ia senang dengan nilainya, tapi situasinya sekarang membuat kebahagiaan itu sirna.
Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Aku... Aku dapat 100, Ma.”
Weni berhenti, terdiam sejenak. Kemudian wajahnya berubah. Ia menatap Rian dengan sorot yang berbeda—antara kaget dan tak percaya. "Seratus?" ulangnya, memastikan.
Rian mengangguk perlahan. “Iya, Ma. Aku dapat seratus.”
Raut wajah Weni berubah dari kaget menjadi dingin. Tatapannya kembali ke Hanif yang masih menunduk, dan rasa marah kembali memenuhi suaranya. "Kamu dengar itu, Hanif? Kakakmu dapat nilai sempurna, sedangkan kamu cuma 70! Kalian kembar, tapi kenapa perbedaan kalian begitu besar? Apa kamu nggak merasa malu sama diri sendiri?"
Hanif terisak pelan, berusaha menahan tangisnya. "Ma, aku udah berusaha..."
“Berusaha? Ini yang kamu sebut berusaha?” seru Weni. “Kamu cuma nyusahin Mama dan Papa! Kamu pikir hidup ini cuma main-main? Kalau kamu nggak serius, kamu bakal tertinggal jauh dari Kakakmu!”
Rian tidak tahan lagi mendengar kata-kata ibunya. Ia ingin membela Hanif, tapi ia tahu bahwa apapun yang ia katakan tidak akan mengubah cara pandang ibunya. Bagaimanapun juga, di mata ibunya, Hanif selalu membutuhkan dorongan yang lebih, dan Rian selalu dianggap mampu. Ketidakadilan itu sudah mendarah daging dalam keluarganya.
“Ma,” suara Rian terdengar pelan tapi tegas, “Nilai ini... cuma ulangan biasa. Hanif bisa memperbaikinya lain kali. Dia juga pintar, Ma.”
Weni mengerutkan kening, seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Kamu sekarang malah ngebela dia, Rian? Bukannya bangga karena kamu lebih pintar?"
"Ini bukan soal siapa yang lebih pintar, Ma," Rian mencoba menjelaskan, suaranya masih lembut. "Aku cuma... aku cuma nggak mau Hanif terus merasa gagal. Kita harus bantu dia, bukan malah marah."
Weni terdiam, seolah kata-kata Rian menamparnya sejenak. Namun, bukannya melunak, amarah di wajahnya justru semakin terlihat. “Kamu nggak ngerti apa yang Mama rasain, Rian. Mama cuma mau kalian berdua sukses. Kalau Hanif terus begini, bagaimana nasibnya nanti?”
Hanif terisak lebih keras kali ini, kepalanya semakin tertunduk. Rian merasakan dadanya terasa sesak. Setiap kali Hanif disudutkan, ia merasakan beban yang sama. Keduanya terjebak dalam ekspektasi orang tua yang begitu besar dan penuh tekanan.
“Aku ngerti, Ma. Tapi, tolong, beri Hanif waktu. Dia bisa belajar lagi dan memperbaiki nilainya. Jangan terlalu keras sama dia...” kata Rian penuh harap.
Weni menarik napas panjang, kemudian menghela napas berat. “Baiklah,” ujarnya dengan nada datar, meskipun tatapannya masih penuh kekesalan. “Mama akan kasih dia kesempatan, tapi kalau nilainya masih begini di ulangan berikutnya, kamu juga yang harus bantu Hanif belajar. Ini bukan cuma urusan dia sendiri.”
Rian mengangguk, merasa sedikit lega meski tahu masalah ini belum sepenuhnya selesai. Setelah melihat Hanif yang terus menunduk dengan air mata di pipinya, Rian tahu bahwa pertarungan sesungguhnya masih jauh dari kata usai.
Namun, di dalam dirinya, Rian bertekad untuk selalu melindungi adiknya, meski itu berarti harus terus menghadapi ketidakadilan dalam keluarganya. Hanif bukan hanya sekadar saudara, ia adalah bagian dari diri Rian yang tidak pernah bisa ia tinggalkan.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛
Teen Fiction[END] Rian dan Hanif adalah saudara kembar yang tumbuh di tengah keluarga yang tampaknya harmonis. Namun, di balik kebahagiaan itu, Rian merasakan ketidakadilan yang menyakitkan. Selalu dibandingkan dengan Hanif, Rian merasa terpinggirkan oleh orang...