[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Keesokan harinya, sinar matahari lembut menembus jendela villa, membangunkan seluruh keluarga. Udara pegunungan yang sejuk memberikan energi baru setelah perjalanan panjang mereka sehari sebelumnya. Hanif adalah yang pertama bangun, seperti biasa, dengan semangat pagi yang tak terbendung. Ia langsung melompat dari tempat tidurnya dan menuju jendela untuk melihat pemandangan gunung yang indah.
"Wow, lihat gunungnya! Pemandangannya keren banget!" seru Hanif sambil membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin sejuk masuk ke dalam kamarnya.
Rian yang tidur di kamar sebelah, masih merasa sedikit malas untuk bangun, mendengar suara Hanif dari balik dinding. Dengan mata setengah terpejam, ia mendengus pelan dan menutupi wajahnya dengan bantal.
"Hanif, masih pagi, bisa nggak sih kamu nggak berisik dulu sebentar?" kata Rian dengan suara mengantuk.
Namun, seperti biasa, Hanif tidak menghiraukannya. Ia malah berlari keluar kamar, turun ke ruang tamu dengan langkah-langkah ringan dan penuh energi. Di ruang tamu, Weni sedang mempersiapkan sarapan sederhana sambil sesekali tersenyum melihat semangat anak bungsunya itu.
"Selamat pagi, Nak. Kamu pasti lapar, kan? Mama sudah buatkan roti panggang dengan telur dan sosis untuk sarapan pagi ini," kata Weni sambil menata makanan di meja makan.
Hanif langsung duduk di kursi dan mulai mengambil roti panggang yang masih hangat. "Enak, Ma! Nanti kita mau ke mana? Aku nggak sabar buat jalan-jalan."
Cahyo yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk tersenyum. "Santai dulu, Hanif. Kita baru saja bangun. Lagipula, kalau kita pergi pagi-pagi sekali, kamu yang biasanya paling cepat capek."
Weni tertawa kecil mendengar candaan suaminya. “Benar juga itu, Hanif. Jangan terlalu bersemangat. Kita bisa mulai dengan kegiatan ringan dulu pagi ini. Gimana kalau kita jalan-jalan keliling villa dulu? Nanti kalau sudah siang, kita bisa pergi lebih jauh.”
Daren, yang baru keluar dari kamarnya dengan rambut acak-acakan, bergabung di meja makan sambil mengambil secangkir teh hangat. "Ya, aku setuju. Tempat ini terlalu indah kalau kita terburu-buru. Lagipula, kita punya waktu seminggu di sini, kan? Nggak perlu semuanya dilakukan dalam sehari."
Sementara itu, Rian akhirnya memutuskan untuk bangun setelah mendengar suara adiknya yang semakin ramai di bawah. Dengan wajah yang masih terlihat mengantuk, ia turun ke ruang makan dan langsung duduk di sebelah Hanif.
"Pagi," ucap Rian singkat sambil mengambil roti panggang yang sudah dioles mentega.
Hanif yang sedang mengunyah roti panggang dengan penuh semangat, menatap kakaknya dengan senyuman lebar. "Pagi! Hari ini kita mau ke mana? Aku nggak sabar buat jalan-jalan!"
Rian hanya tersenyum tipis, "Entahlah, kita lihat saja nanti. Jangan terlalu buru-buru."
Setelah sarapan selesai, mereka semua bersiap untuk berjalan-jalan santai di sekitar villa. Suasana pagi di pegunungan memang sempurna — udara sejuk yang menyegarkan, langit biru cerah tanpa awan, dan pemandangan pepohonan hijau yang memanjakan mata.
Mereka berjalan menyusuri jalur kecil yang mengelilingi villa, sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan indah. Hanif dan Rian berjalan di depan, sementara Weni dan Cahyo mengikuti di belakang dengan langkah yang lebih santai. Daren, seperti biasa, sibuk mengambil foto dengan kameranya, mengabadikan momen-momen indah tersebut.
"Ma, Pa, lihat ini!" seru Hanif sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang terlihat jauh di kejauhan. "Besok kita bisa mendaki sampai ke sana nggak? Kayaknya seru banget!"
Weni tertawa kecil. "Hanif, puncak gunung itu terlalu tinggi untuk kita daki dalam sehari. Mungkin kita bisa mendaki sampai ke tempat yang lebih dekat dulu, baru lihat nanti kalau kita sanggup ke puncaknya."
Hanif mengangguk antusias. "Oke, aku siap! Nanti kita coba mendaki, ya!"
Sementara itu, Rian hanya tersenyum kecil melihat antusiasme adiknya. "Hanif ini semangatnya nggak ada habis-habisnya," gumamnya.
Daren yang mendengar komentar itu hanya mengangguk sambil memotret pemandangan sekitar. "Iya, dia memang seperti itu. Tapi justru itu yang bikin suasana liburan kita jadi lebih seru, kan?"
Setelah beberapa jam berjalan-jalan, mereka kembali ke villa untuk beristirahat sejenak. Cahyo duduk di teras sambil menikmati teh hangat, sementara Weni sibuk menyiapkan makan siang di dapur. Hanif, yang tak pernah bisa diam, sudah mulai merencanakan kegiatan sore hari.
"Ma, habis makan siang kita ngapain? Bisa nggak kita main di sungai dekat sini? Aku dengar dari pemilik villa, ada sungai kecil yang jernih di dekat sini," kata Hanif penuh semangat.
Weni melirik ke arah Cahyo yang duduk santai di teras. "Apa menurutmu, Yoy? Mau ke sungai sore ini?"
Cahyo mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, asal anak-anak nggak terlalu capek setelah makan siang. Aku juga pengen lihat sungai itu."
Sore itu, setelah makan siang, mereka berjalan menuju sungai kecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari villa. Suara gemericik air mengiringi langkah mereka, dan ketika mereka sampai di tepi sungai, Hanif langsung melepaskan sandalnya dan menceburkan kakinya ke dalam air.
"Sejuk banget! Ini asyik, Ma, Pa!" teriak Hanif sambil tertawa-tawa.
Rian, yang biasanya lebih tenang, ikut merasakan air sungai yang dingin. Ia berdiri di tepi sungai sambil menatap aliran air yang jernih. "Ini sungai yang indah. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sini cuma untuk duduk dan menikmati suasananya."
Daren sibuk memotret pemandangan, sementara Weni dan Cahyo duduk di tepi sungai, menikmati momen damai bersama. Ini adalah saat-saat yang mereka tunggu-tunggu — kebersamaan tanpa tekanan, tanpa pertengkaran, hanya kebahagiaan.
Weni menatap anak-anaknya dengan senyuman di wajahnya. "Aku bersyukur kita bisa memiliki momen seperti ini. Setelah semua yang kita alami, rasanya ini adalah hadiah yang indah."
Cahyo mengangguk setuju. "Iya, liburan ini penting untuk kita semua. Aku berharap setelah ini, kita bisa lebih sering meluangkan waktu bersama seperti ini."
Rian yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Meskipun hubungan mereka selama ini tidak selalu sempurna, momen-momen seperti ini membuat semua perjuangan terasa layak.
Hanif, yang masih bermain di air, tiba-tiba berlari ke arah Weni dan Cahyo. "Ma, Pa, lihat ini! Aku menemukan batu berbentuk hati di sungai. Ini pasti pertanda kalau liburan kita bakal terus seru!"
Weni tertawa dan mengusap kepala Hanif. "Kamu memang selalu bisa melihat hal-hal baik di sekitarmu, Hanif. Itulah yang membuat Mama bangga."
Hari itu berakhir dengan kebahagiaan di hati setiap anggota keluarga. Liburan ini bukan hanya soal menjelajahi tempat baru, tetapi juga tentang menemukan kembali kebersamaan yang mungkin sudah lama hilang. Mereka tahu bahwa ini adalah awal dari kebahagiaan baru, kebahagiaan yang akan mereka jaga bersama.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛
Teen Fiction[END] Rian dan Hanif adalah saudara kembar yang tumbuh di tengah keluarga yang tampaknya harmonis. Namun, di balik kebahagiaan itu, Rian merasakan ketidakadilan yang menyakitkan. Selalu dibandingkan dengan Hanif, Rian merasa terpinggirkan oleh orang...