12

77 15 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Pagi itu, Rian membuka matanya dengan perasaan lebih segar. Rasa sakit di perutnya yang kemarin mengganggu kini sudah berkurang. Meski masih lemas, ia tahu bahwa hari ini ia sudah bisa sedikit bergerak tanpa merasa terlalu kesakitan. Ketika ia bangun, suara pintu yang berderit terdengar pelan.

"Hanif udah pergi sekolah, ya?" gumam Rian, saat menyadari bahwa adiknya tidak ada di kamar.

Rian melirik ke jendela, melihat langit cerah di luar sana. Hatinya merasa sedikit lega, meski ada perasaan aneh yang mengganjal di dalam. Biasanya, Hanif akan merengek untuk berangkat sekolah bersama-sama, tapi hari ini ia pergi sendiri. Rian tahu adiknya tidak pernah terbiasa melakukan segalanya tanpa dirinya.

Pagi itu, Rian masih izin sekolah karena kondisinya belum sepenuhnya pulih. Ia memutuskan untuk beristirahat di rumah sambil membaca buku. Sesekali, ia mendengar suara ibunya dari dapur, tetapi suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Hari itu berlalu dengan lambat.

Sementara itu, di sekolah, Hanif sedang menghadapi hari yang lebih sulit daripada biasanya. Ia duduk di bangku belakang, jauh dari teman-temannya yang sibuk berbicara dan tertawa satu sama lain. Hanif merasa terisolasi. Matanya melirik ke arah kelompok anak-anak yang sejak tadi memperhatikannya. Ia tahu, sebentar lagi, mereka akan mulai mencari-cari bahan untuk mengejeknya.

Saat bel berbunyi tanda istirahat, Hanif berdiri dari kursinya dan berjalan pelan menuju kantin. Namun, sebelum ia sempat mencapai pintu, suara-suara ejekan mulai terdengar dari belakang.

"Eh, si Hanif lagi-lagi bengong. Dia mikir apa sih? Jangan-jangan dia bingung sama soal tadi, ya? Soal mudah kayak gitu aja nggak bisa!" seru salah satu anak, dengan nada penuh ejekan.

Hanif merasakan wajahnya memanas. Ia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera keluar dari kelas. Namun, saat ia baru sampai di pintu, salah satu anak—yang diketahui bernama Saka— menendang tasnya dari belakang, membuat tas itu terjatuh ke lantai dan semua isinya berhamburan.

"Ups! Maaf, nggak sengaja," kata Saka sambil tertawa. Anak-anak lain sontak ikut tertawa.

Hanif berjongkok untuk mengumpulkan barang-barangnya. Ia merasakan matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak ingin terlihat lebih lemah lagi di depan mereka. Saat semua sudah ia kumpulkan, Hanif bangkit dan bergegas keluar dari kelas tanpa sepatah kata pun.

Sepulang sekolah, Hanif berjalan pulang sendirian. Kakinya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena beban di hatinya. Ia tahu, di rumah, Rian masih beristirahat, dan Hanif tidak ingin saudaranya tahu apa yang terjadi di sekolah. Selama ini, Hanif selalu mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari keluarganya, terutama dari Rian. Ia tidak ingin kakaknya merasa khawatir.

Setibanya di rumah, ia langsung merebahkan dirinya dikasur. Kemudian Rian berjalan ke arah kamar adiknya, berharap bisa mendengarkan cerita tentang sekolah hari itu.

Rian membuka pintu kamar Hanif dengan pelan, berharap tidak mengejutkannya. Namun, ketika ia melihat adiknya sedang duduk di pojok kamar dengan kepala tertunduk, Rian langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres.

"Hanif?" panggil Rian, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Hanif, yang sedang berusaha menahan rasa sakit di hatinya, langsung mendongak dengan cepat. "Eh, Rian... Kenapa masuk sini?"

Rian melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah wajah adiknya yang terlihat pucat. "Aku cuma mau lihat kamu. Kamu kenapa duduk di sini sendirian? Ada apa?"

Hanif berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terlihat sangat dipaksakan. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma capek aja, tadi di sekolah banyak pelajaran."

Rian tidak percaya begitu saja. "Capek? Tapi wajahmu bilang hal lain, Hanif. Ada yang ganggu kamu di sekolah?"

Hanif menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan perasaannya. Namun, Rian yang sudah mengenal adiknya sejak kecil tahu ada sesuatu yang salah. Ia duduk di samping Hanif, mencoba lebih dekat dan menatap wajah adiknya dengan lebih serius.

"Hanif, jangan bohong sama aku. Aku kakak kamu. Aku tahu ada yang nggak beres. Cerita, dong," desak Rian lembut, tangannya menyentuh pundak adiknya.

Hanif terdiam beberapa detik, menundukkan kepala lagi. Ia merasa sangat berat untuk mengungkapkan semuanya. Namun, ada sesuatu dalam suara Rian yang membuatnya merasa aman. Akhirnya, Hanif menarik napas panjang sebelum bicara.

"Mereka... mereka suka ngeledekin aku. Mereka bilang aku bodoh, aku lambat, aku nggak bisa ngikutin pelajaran. Aku... aku nggak bisa mikir secepat mereka," Hanif berbicara dengan suara gemetar, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak mau cerita sama Mama atau Papa. Aku takut mereka malah marah sama aku karena nilai-nilai aku jelek."

Rian terdiam mendengar pengakuan itu. Hatinya serasa tercabik-cabik mendengar betapa adiknya disakiti. Ia merangkul Hanif dengan erat, mencoba menenangkan adiknya yang mulai menangis.

"Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Hanif?" tanya Rian dengan suara lembut. "Aku bisa bantu kamu. Aku nggak akan biarin mereka terus ganggu kamu."

Hanif menggeleng pelan di pelukan kakaknya. "Aku nggak mau kamu juga jadi ikut kena masalah gara-gara aku. Aku cuma pengen mereka berhenti aja dengan sendirinya. Aku pengen bisa jadi lebih pinter, biar mereka nggak ngeledek aku lagi."

Rian menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia marah, sangat marah, tapi ia juga tidak ingin membuat Hanif merasa lebih buruk. "Kamu nggak bodoh, Hanif. Kamu cuma butuh waktu lebih banyak untuk belajar. Nggak ada yang salah sama kamu. Jangan biarin mereka bikin kamu merasa kurang dari mereka."

Hanif terus menangis di bahu Rian, merasa sedikit lega bisa akhirnya mengungkapkan semuanya.

Setelah beberapa saat, Rian melepaskan pelukan itu dan menatap Hanif dengan serius. "Mulai sekarang, aku akan bantu kamu belajar. Aku nggak peduli mereka bilang apa. Yang penting, kamu tahu kalau aku selalu ada buat kamu."

Hanif mengangguk pelan, merasa sedikit lebih baik. "Makasih, Yan."

Rian tersenyum kecil, meskipun hatinya masih penuh dengan kekhawatiran. "Sekarang, istirahat dulu ya. Nanti kita bisa belajar bareng."

Hanif mengangguk lagi, lalu berbaring di tempat tidurnya. Rian menutup pintu kamar adiknya dengan hati-hati, lalu berjalan keluar dengan pikiran yang penuh.

Di luar kamar, Rian duduk di ruang tamu, menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun pelan, dan suara tetesannya membuat suasana semakin sendu. Rian tahu, masalah ini belum selesai. Hanif mungkin bisa merasa sedikit lega sekarang, tetapi luka di hatinya pasti masih ada. Dan Rian, sebagai kakak, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun untuk melindungi adiknya, tak peduli seberapa sulit itu.

"Hanif, kamu nggak sendirian," bisik Rian pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu Hanif tak bisa mendengarnya.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang