19

86 18 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Hari itu dimulai dengan cerah. Hanif, Rian, dan Daren sepakat untuk menghabiskan waktu bersama, ide yang diajukan oleh Hanif. Hanif sangat ingin melihat Rian dan Daren lebih akrab, setelah bertahun-tahun hidup dalam ketegangan dan rasa kesenjangan yang selalu menghantui Rian.

Mereka bertiga berangkat pagi-pagi. Suasana dalam mobil terasa ringan dan penuh tawa. Daren yang menyetir mengajak mereka bercanda sepanjang perjalanan.

“Eh, gimana kalau nanti kita mampir ke photobooth dulu? Sudah lama banget kita nggak foto bertiga,” usul Hanif dengan semangat.

Rian, yang duduk di kursi depan, tersenyum lebar. "Wah, boleh juga. Kita perlu bukti nih, kalau akhirnya kita bertiga bisa hangout bareng, nggak cuma di rumah."

Daren menoleh sejenak dari setir, tersenyum melihat adik-adiknya yang begitu bersemangat. “Setuju, kita ambil foto banyak-banyak. Siapa tahu, ini momen berharga yang nggak bakal terulang lagi.”

Candaan itu terasa ringan, tapi entah kenapa ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelimuti hati Rian saat mendengar kata-kata Daren. “Momen yang nggak bakal terulang lagi…” pikir Rian sejenak. Tapi ia buru-buru menepis pikiran negatif itu.

Setibanya di photobooth, mereka bertiga masuk ke dalam bilik kecil dan mulai berpose. Hanif yang terkenal canggung depan kamera mencoba senyum lebarnya yang khas. Daren, dengan tangan yang melingkari bahu Rian dan Hanif, memastikan mereka terlihat kompak di setiap pose. Tawa dan candaan menghiasi setiap detik mereka di sana.

Setelah photobooth, mereka melanjutkan perjalanan ke mall. Mereka bermain di area permainan yang penuh dengan lampu neon berwarna-warni, suara mesin yang bising, dan tawa riang anak-anak lain. Hanif terus-terusan memaksa Rian untuk ikut bermain game balapan dengannya.

“Yan, ayolah, kita tanding balapan. Aku yakin kali ini aku bisa menang!” ujar Hanif penuh percaya diri.

Rian tertawa kecil. "Oke, tapi jangan menangis kalau kalah, ya," balas Rian sambil mengedipkan mata.

Permainan pun dimulai, dan tentu saja Rian menang telak. Hanif tampak kesal, tapi ia hanya tertawa. “Kamu curang! Kamu pasti latihan diam-diam, ya.”

Rian hanya menggeleng sambil tersenyum lebar. "Bukan curang, Hanif. Ini namanya keahlian."

Daren yang melihat mereka tertawa bersama, merasa bahagia. “Lihat tuh, kalian kalau begini terus, keluarga kita pasti bakal lebih damai. Aku senang lihat kalian akur.”

Setelah puas bermain di area permainan, mereka singgah ke toko perbelanjaan. Daren membeli beberapa barang yang mereka butuhkan di rumah, sementara Hanif sibuk melihat-lihat mainan baru.

Saat mereka selesai berbelanja, Hanif mendekat ke Daren. “Kak, makasih banget ya, hari ini. Aku benar-benar senang. Aku harap kita bisa sering-sering begini.”

Daren menepuk kepala Hanif dengan lembut. "Sama-sama. Kakak juga senang bisa habiskan waktu sama kalian. Rian juga pasti senang, kan?"

Rian yang mendengar percakapan itu mengangguk. "Iya, ini hari yang nggak pernah aku sangka-sangka bisa terjadi. Terima kasih, Kak, Hanif. Kalian benar-benar bikin aku bahagia."

Perjalanan pulang dimulai dengan suasana yang sama cerahnya. Mereka tertawa, bercanda, dan berbicara tentang rencana ke depan. Namun, ketika mobil mereka melaju di jalan yang sepi dan gelap, suasana tiba-tiba berubah.

Daren memegang setir dengan tenang, tetapi tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah truk melaju kencang. Cahaya lampu truk yang menyilaukan membuat Daren kesulitan untuk mengendalikan mobil. Dalam sekejap, semuanya terjadi begitu cepat.

“KAK—!” teriakan Rian tertahan, namun suara benturan keras menghantam telinga mereka. Tubuh mereka terpental di dalam mobil. Rian merasakan seluruh tubuhnya terguncang kuat. Dunia seakan berhenti sejenak, lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika Rian tersadar, ia merasakan sakit luar biasa di kakinya. Ia berusaha membuka mata, tapi penglihatannya kabur. Hidungnya mencium bau bensin yang kuat dan suara deru sirine terdengar dari kejauhan. Perlahan, ia mulai menyadari apa yang terjadi.

“Hanif… Kak…” bisiknya lemah, mencoba mencari sosok saudara-saudaranya di sekitar. Pandangannya mulai jernih, dan ia melihat tubuh Hanif terbaring di belakang, diam tak bergerak. Darah terlihat mengalir dari kepala adiknya. Hanif…

Rian berusaha bergerak, tetapi rasa sakit di kakinya membuatnya sulit bernapas. Ia mencoba mencari Daren. Namun, pemandangan di sebelahnya membuat hatinya hancur. Daren… Daren sudah tidak bernapas. Tubuhnya tak bergerak di kursi pengemudi, dengan kaca depan yang pecah menghancurkan tubuhnya.

“Tidak… tidak… TIDAK!” Rian berteriak dalam kepanikan. Air mata mengalir deras di wajahnya. Ia merasa tak berdaya, tak mampu melakukan apapun. Rasa sakit di kakinya tak sebanding dengan rasa hancur di hatinya.

Petugas medis tiba dengan cepat. Mereka mengeluarkan Rian dari mobil dengan hati-hati. “Bawa dia ke rumah sakit secepatnya. Kakinya patah!” salah satu petugas medis berteriak.

Rian tak peduli dengan dirinya sendiri. “Hanif! HANIF! TOLONG ADIKKU!” teriak Rian dengan sekuat tenaga, meskipun suaranya serak dan lemah. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya bisa melihat Hanif dibawa keluar dari mobil dengan tandu. Hanif tak bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya.

Di rumah sakit, suasana mencekam. Weni dan Cahyo berlari tergesa-gesa ke ruang gawat darurat setelah mendapat kabar dari pihak rumah sakit. Wajah mereka penuh kecemasan dan ketakutan.

Di ruang UGD, Rian terbaring dengan kaki yang dibalut gips. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong. Di kursi tunggu, Weni menangis histeris, sementara Cahyo mencoba menenangkan istrinya meskipun wajahnya sendiri menunjukkan kesedihan yang mendalam.

"Rian... Rian, kamu baik-baik saja, Nak?" Cahyo mendekati putranya, menggenggam tangannya dengan kuat.

Rian hanya menggeleng pelan. "Papa... Hanif... Kakak..."

Cahyo menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Rian merasa sangat terpukul. "Dokter sedang berusaha sekuat tenaga, Nak. Hanif... dia dalam perawatan intensif."

Weni yang berdiri di belakang Cahyo tak bisa lagi menahan air matanya. "Kenapa ini terjadi, Cahyo? Kenapa? Aku... aku nggak siap kehilangan mereka."

Rian menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Mama... Kakak… kakak udah nggak ada..."

Weni menangis semakin keras mendengar itu. Cahyo memeluknya, mencoba menahan rasa sakit yang merobek hati mereka. Mereka kehilangan anak sulung mereka. Daren, yang selalu menjadi pilar dalam keluarga, kini telah pergi untuk selamanya. Dan Hanif… mereka masih belum tahu apakah Hanif akan selamat dari trauma hebat yang dideritanya.

Rian merasa seluruh dunianya runtuh. Semua kebahagiaan yang ia rasakan beberapa jam lalu kini berubah menjadi mimpi buruk. Semua harapan akan kebahagiaan bersama keluarga lenyap begitu saja. Kini, ia hanya bisa berdoa, berdoa agar Hanif bisa bertahan.

Rian menangis tanpa suara, rasa bersalah menghantui pikirannya. Mengapa semuanya harus berakhir seperti ini? Mengapa kebahagiaan yang baru saja ia rasakan harus direnggut begitu cepat?

Dan dalam keheningan yang menyakitkan, mereka semua menunggu kabar tentang Hanif.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang