[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Sore itu, suasana rumah begitu tenang. Cahaya matahari yang mulai redup menerangi ruang keluarga dengan hangat. Di sudut ruangan, Daren duduk di lantai berhadapan dengan Hanif, memegang buku pelajaran. Dengan suara lembut dan sabar, Daren sedang menjelaskan soal-soal matematika yang sulit dipahami Hanif.
“Jadi, kalau 7 dikali 6 itu berapa, Hanif?” tanya Daren dengan senyum ramah.
Hanif mengerutkan kening, berusaha keras memikirkan jawabannya. "Hmm... empat puluh dua?"
“Betul! Pintar!” puji Daren sambil mengusap kepala adiknya dengan lembut. “Nah, kalau yang ini gimana? Tiga dikali sembilan?”
Hanif menatap Daren, seolah butuh waktu lebih lama untuk memikirkan jawabannya. “Tiga dikali sembilan... dua puluh tujuh?”
Daren tertawa kecil. “Iya, benar lagi! Lihat? Kamu bisa, kok, kalau fokus. Jangan buru-buru.”
Dari dapur, Weni memperhatikan mereka dengan senyum bangga di wajahnya. Ia menyukai pemandangan ini—dua putranya, Daren dan Hanif, tampak akur, dan Daren begitu sabar mengajari adiknya. Hatinya merasa tenang melihat Hanif mendapat perhatian dari kakaknya. Sejak nilai ulangan IPA-nya yang kurang memuaskan, Weni merasa khawatir akan perkembangan Hanif di sekolah. Namun, dengan Daren yang sabar mengajarinya, ia merasa lega.
Sementara itu, di sudut ruang tamu, Rian duduk di kursi, memperhatikan pemandangan itu dengan perasaan yang campur aduk. Ada kehangatan yang terpancar dari interaksi Daren dan Hanif—kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Hatinya sedikit pilu, melihat betapa dekatnya kedua saudaranya itu. Rian ingin sekali bergabung, ingin sekali ikut merasakan kebersamaan dan perhatian yang diberikan oleh Daren.
Pelan-pelan, Rian bangkit dari kursinya dan melangkah mendekat. Ia ingin ikut duduk bersama mereka, ingin berbagi canda tawa seperti yang selalu ia bayangkan. Namun, sebelum ia sampai di sana, suara ibunya menghentikan langkahnya.
“Rian,” panggil Weni dari arah dapur.
Rian berhenti, menoleh, dan melihat ibunya berjalan ke arahnya dengan wajah serius. “Iya, Ma?” jawab Rian dengan nada lembut.
“Kamu bisa bantu Mama masak makan malam, kan? Ayo, jangan cuma berdiri di situ,” kata Weni tanpa memberi Rian kesempatan untuk menjawab. “Mama butuh bantuan kamu di dapur.”
Rian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Iya, Ma,” jawabnya pelan, meski hatinya terasa berat. Ia melirik ke arah Daren dan Hanif yang masih asyik belajar bersama, tapi ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Dengan langkah perlahan, ia berbalik dan berjalan menuju dapur, meninggalkan pemandangan hangat itu di belakangnya.
Begitu sampai di dapur, Weni mulai memberikan instruksi. “Kamu cuci sayuran ini dulu, ya. Mama mau siapkan bahan-bahan yang lain.”
Rian mengambil sayuran yang ditunjukkan ibunya dan mulai mencucinya di bawah aliran air keran. Suara air mengalir menjadi latar belakang kesunyian yang mencekam di antara mereka. Rian tidak berkata apa-apa, hanya fokus pada tugas yang diberikan. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan perasaan terasing yang begitu dalam. Ia tahu bahwa ibunya sangat bangga pada Daren dan Hanif, tapi untuknya... seolah-olah ia tidak terlihat.
Setelah beberapa saat, Rian memberanikan diri untuk berbicara. “Ma, tadi aku lihat Daren dan Hanif belajar bareng. Mereka terlihat akur, ya?”
Weni tersenyum kecil sambil memotong bawang di talenan. “Iya, Mama juga senang lihat mereka akur. Daren memang anak yang sabar, dia bisa bantu adiknya supaya lebih pintar.”
Rian merasa ada rasa pahit yang tiba-tiba mengisi dadanya, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Aku juga sebenarnya pengen ikut belajar bareng mereka tadi, Ma. Aku bisa bantu Hanif juga, kalau mau.”
Weni menghentikan pekerjaannya sejenak dan menatap Rian dengan tatapan datar. “Nggak perlu, Rian. Daren udah cukup bantu Hanif. Kamu bantu Mama aja di dapur. Masak itu penting, kamu juga harus belajar.”
Rian merasakan dadanya semakin sesak. Dia ingin sekali membantu Hanif, tapi setiap kali dia mencoba mendekat, sepertinya selalu ada alasan untuk menolaknya. Dengan perasaan tertahan, dia melanjutkan pekerjaannya, mencuci sayuran dengan gerakan yang semakin pelan.
Setelah beberapa saat, Weni kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Kamu tahu, kan, Mama nggak sengaja nyuruh kamu jauh dari mereka. Cuma... Mama butuh bantuan kamu di sini, itu aja. Hanif perlu fokus sama pelajaran, dan Daren tahu cara ngajarin dia dengan baik.”
Rian mengangguk, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa alasan itu hanya sebagian dari kenyataan. Sudah berulang kali dia merasa diabaikan, seperti tidak dianggap penting dalam situasi-situasi yang melibatkan adik dan kakaknya. Namun, ia terlalu lelah untuk berdebat. Terlalu lelah untuk mempermasalahkan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah berubah.
Beberapa saat kemudian, Weni melihat ke arah jam di dinding. “Rian, cepetin sedikit ya cuci sayurnya. Kita harus buru-buru masak sebelum Papa pulang.”
Rian mempercepat gerakannya, mencuci sayuran dengan hati-hati dan memotongnya sesuai instruksi ibunya. Tapi di kepalanya, pikirannya terus melayang ke Daren dan Hanif. Suara canda tawa mereka terdengar dari ruang tamu, dan semakin ia mendengar, semakin perih hatinya.
Tak lama kemudian, setelah semuanya siap, Weni memindahkan sayuran yang sudah dicuci ke dalam wajan. “Kamu boleh pergi sekarang, Rian. Mama bisa urus yang lain.”
Rian mengangguk dan meletakkan peralatan yang ia gunakan di atas meja. “Baik, Ma,” jawabnya pelan.
Ia keluar dari dapur dan berjalan menuju ruang tamu. Ketika ia sampai di sana, ia melihat Daren dan Hanif masih duduk bersama, tapi kali ini mereka sudah tidak sedang belajar. Daren sedang memperlihatkan sesuatu di buku catatannya kepada Hanif, dan adiknya tampak tertawa kecil.
Rian berdiri sejenak, merasa ingin sekali mendekat dan ikut serta dalam kebahagiaan itu. Namun, ia tahu bahwa tidak ada tempat untuknya di sana. Dengan perasaan yang bercampur aduk, ia akhirnya memutuskan untuk naik ke kamarnya.
Begitu sampai di kamar, Rian duduk di tepi ranjangnya, memandang keluar jendela. Cahaya matahari sudah hampir tenggelam, dan langit mulai berubah warna menjadi oranye keemasan. Tapi keindahan itu tidak bisa menghapus perasaan terasing yang ia rasakan. Di dalam keluarganya sendiri, ia merasa seperti orang asing—selalu ada, tapi tidak pernah benar-benar terlihat.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mungkin ini hanya sementara, pikirnya. Mungkin suatu hari nanti semuanya akan berubah. Mungkin suatu hari nanti, ia akan bisa merasakan kehangatan yang sama seperti yang dirasakan oleh Daren dan Hanif.
Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu. Menunggu dalam kesendirian.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛
Teen Fiction[END] Rian dan Hanif adalah saudara kembar yang tumbuh di tengah keluarga yang tampaknya harmonis. Namun, di balik kebahagiaan itu, Rian merasakan ketidakadilan yang menyakitkan. Selalu dibandingkan dengan Hanif, Rian merasa terpinggirkan oleh orang...