22

92 13 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Sudah beberapa bulan berlalu sejak diagnosis PTSD diberikan kepada Rian, dan proses pemulihannya tidak berjalan semudah yang diharapkan. Setiap hari, ia harus menghadapi trauma masa lalunya, tetapi ada kemajuan kecil yang terus ia raih. Meski suaranya kadang masih berbisik di malam-malam yang sepi, dukungan dari keluarganya serta perawatan terapi membuat Rian belajar untuk menghadapinya dengan lebih tenang.

Suatu pagi yang cerah, Rian duduk di teras rumah, menatap taman kecil di depan rumah yang penuh bunga. Hanif duduk di sampingnya, meski fisiknya masih belum sepenuhnya pulih. Mereka berdua hanya duduk dalam keheningan, merasakan hangatnya sinar matahari yang lembut di kulit mereka.

“Yan,” Hanif membuka percakapan dengan suara pelan, “Kamu udah merasa lebih baik?”

Rian menoleh ke arah adiknya, memberikan senyum kecil. “Hari-hari rasanya berat, tapi ya, aku mulai merasa lebih baik. Suara-suara itu... sudah nggak sekuat dulu.”

Hanif mengangguk pelan, “Aku senang dengarnya. Aku nggak bisa bayangin gimana rasanya buat kamu. Semua yang kita lewatin... tapi, kamu kuat, kamu hebat.”

Rian menghela napas panjang, merasakan beban yang perlahan-lahan mulai terangkat dari dadanya. “Iya, tapi butuh waktu, Hanif. Kadang aku masih merasa bersalah... atas semuanya.”

Hanif menatap Rian dengan mata yang bersinar penuh kasih. “Jangan begitu. Kamu tahu, kita semua nggak ada yang nyalahin kamu. Mama, Papa, aku... kita semua ada di sini buat kamu.”

Beberapa saat kemudian, Cahyo keluar dari rumah, membawa nampan berisi gelas teh hangat. “Kalian berdua ngobrol apa?” tanyanya sambil meletakkan nampan itu di atas meja kecil di depan mereka.

Rian tersenyum sekilas, “Cuma ngobrolin perasaan aja, Pa. Aku lagi cerita kalau aku mulai merasa lebih baik.”

Cahyo menepuk bahu Rian dengan lembut, “Itu yang Papa senang dengar. Proses ini memang nggak cepat, tapi kamu udah bikin kemajuan besar, Nak.”

Weni yang juga mengikuti dari belakang datang dengan senyuman hangat. Ia duduk di sebelah Rian dan merangkul anaknya. “Mama bangga banget sama kamu, Rian. Kamu kuat. Nggak semua orang bisa melewati apa yang kamu lewati.”

Rian menunduk, merasa sedikit terharu mendengar kata-kata kedua orangtuanya. Di masa-masa awal setelah kecelakaan, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan mendapatkan dukungan sebesar ini. Ia sempat merasa hancur, namun kini perlahan ia mulai melihat harapan di depan.

“Terima kasih, Ma, Pa... Aku nggak bisa lewatin ini tanpa kalian.”

Weni mengusap kepala Rian dengan lembut, “Kita ini keluarga, Nak. Apapun yang terjadi, kita hadapin bareng-bareng.”

Setiap minggu, Rian masih harus menjalani sesi terapi dengan psikolognya. Sesi-sesi itu tidak selalu mudah, tetapi di sana ia belajar banyak tentang cara menghadapi ketakutan, suara-suara yang menghantui, dan rasa bersalah yang ia bawa.

Di ruang terapi, Rian duduk berhadapan dengan psikolognya, seorang wanita bernama Ibu Ayu, yang selalu memberikan arahan penuh kesabaran. Hari itu, Rian merasa cukup siap untuk membicarakan hal yang selama ini menghantuinya—rasa bersalah atas kematian Daren.

“Rian,” suara Ibu Ayu lembut, “Apa yang kamu rasakan saat kamu mengingat kecelakaan itu?”

Rian terdiam sejenak, merasakan perutnya menegang. “Aku... masih merasa itu salahku. Aku yang duduk di depan, aku yang seharusnya menjaga Hanif. Kakak yang menyetir, tapi aku bisa saja... aku bisa saja mencegah itu terjadi.”

Ibu Ayu tersenyum tipis, penuh pengertian. “Rian, kecelakaan itu di luar kendali kamu. Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Terkadang hal-hal seperti ini terjadi tanpa alasan yang bisa kita pahami.”

“Tapi kenapa harus kakak yang meninggal? Kenapa bukan aku? Aku terus berpikir, kalau aku yang mati... mungkin semuanya lebih baik.”

Ibu Ayu menghela napas panjang, “Itu adalah pikiran yang wajar ketika kamu merasa kehilangan seseorang yang kamu cintai, Rian. Tetapi ingat, hidup kita bukan tentang siapa yang pantas atau tidak pantas hidup. Kamu masih di sini karena kamu masih punya tujuan, kamu masih punya hal-hal penting yang harus dijalani.”

Rian terdiam, meresapi kata-kata itu. Meski berat, perlahan ia mulai mengerti bahwa tidak semuanya harus bisa dijelaskan atau dikendalikan.

Setelah terapi, Rian kembali ke rumah dengan perasaan sedikit lebih tenang. Di sana, ia mendapati Hanif yang duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Begitu melihat Rian, Hanif langsung tersenyum.

“Gimana terapinya hari ini?” tanya Hanif.

Rian duduk di sampingnya, mengangkat bahu. “Cukup berat, tapi aku mulai bisa menerima kenyataan kalau ini semua di luar kendaliku.”

Hanif mengangguk. “Itu langkah besar. Kamu udah lebih baik sekarang.”

Rian tersenyum kecil. “Ya, semoga aku terus bisa lebih baik dari ini.”

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rian tidur dengan tenang. Suara-suara di kepalanya masih ada, tetapi mereka kini hanya berupa bisikan lemah yang mulai kehilangan kekuatannya. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, namun dengan dukungan keluarganya, ia yakin bahwa ia bisa sembuh, meskipun butuh waktu.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Keluarga Rian tetap memberikan dukungan penuh, dan ia terus menjalani terapi dengan rajin. Sekali waktu, Cahyo mengajak Rian berjalan-jalan di taman untuk sekadar menghirup udara segar.

“Menghirup udara bebas itu salah satu bentuk penyembuhan, Nak,” ujar Cahyo sambil tersenyum. “Kamu nggak perlu terburu-buru sembuh. Setiap langkah kecil tetap berarti.”

Rian menatap ayahnya, tersenyum lembut. “Terima kasih, Pa. Aku akan berusaha sebaik mungkin.”

Di taman itu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Rian merasa bebas—meski hanya sesaat. Namun ia tahu bahwa ia tidak sendirian lagi dalam menghadapi trauma ini. Ia memiliki keluarga yang mencintainya, teman-teman yang peduli, dan kekuatan dalam dirinya sendiri yang perlahan mulai tumbuh kembali.

Di dalam hatinya, ia merasa bersyukur atas setiap kemajuan yang ia capai, sekecil apa pun itu. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang bergerak maju, meski perlahan.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang