20

79 14 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Setelah kecelakaan tragis yang menewaskan Daren dan membuat Hanif koma, Rian bukanlah anak yang sama lagi. Trauma mendalam mulai menggerogoti jiwanya, membuat hari-harinya dipenuhi ketakutan, penyesalan, dan rasa bersalah yang tak kunjung hilang. Setiap kali ia menutup matanya, bayangan kecelakaan itu kembali berputar di kepalanya. Suara dentuman keras, darah yang mengalir, dan tubuh kakaknya yang tak bernyawa terus menghantuinya.

Hari itu, setelah beberapa minggu menjalani perawatan, Rian akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kakinya masih dibalut dengan gips, dan ia membutuhkan bantuan tongkat untuk berjalan. Namun, luka yang tak terlihat jauh lebih parah daripada luka fisik yang ia alami. Cahyo dan Weni mencoba memberikan perhatian penuh kepada Rian, tetapi tak ada yang bisa menghapus mimpi buruk yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Di ruang tamu, Rian duduk sendirian. Tatapannya kosong menatap jendela, sementara hujan turun rintik-rintik di luar. Udara dingin menyelimuti ruangan, tapi dingin di dalam dirinya jauh lebih menusuk.

“Rian, kamu lapar? Mama buatkan makan, ya?” Weni masuk ke ruangan dengan suara lembut, mencoba menyapa anaknya yang telah kehilangan senyumannya. Namun, Rian hanya menggeleng tanpa menoleh.

“Enggak, Ma. Aku... aku nggak lapar,” jawabnya singkat.

Weni menghela napas, hatinya terasa sakit melihat kondisi putranya yang dulu ceria kini begitu muram. "Rian... kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama Mama, ya. Jangan dipendam sendiri."

Rian hanya diam. Rasanya tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya untuk menjelaskan rasa sakit yang terus menghantui. Bagaimana bisa ia menjelaskan? Setiap kali ia mencoba berbicara, yang teringat hanya rasa bersalah yang begitu besar.

Setelah beberapa saat hening, Cahyo masuk ke dalam ruangan, melihat putranya yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelah Rian.

“Rian, Papa tahu semuanya berat buat kamu. Kita semua merasa kehilangan Daren, dan Hanif... masih belum sadar.” Cahyo berbicara pelan, suaranya penuh kehati-hatian. "Tapi kamu harus kuat. Kamu harus bertahan."

Rian memejamkan matanya sejenak, air mata yang sudah lama ia tahan akhirnya mengalir tanpa bisa dibendung. "Papa... aku yang salah. Aku yang menyebabkan semuanya. Kalau saja aku bisa menghentikan kakak, kalau saja aku nggak ikut mereka hari itu... semuanya mungkin nggak akan terjadi."

Cahyo menggeleng pelan, hatinya mencengkeram rasa sakit melihat anaknya begitu menderita. "Ini bukan salahmu, Nak. Itu kecelakaan. Kamu nggak bisa kendalikan apa yang terjadi."

"Tapi aku ada di sana, Pa. Aku harusnya bisa melakukan sesuatu. Aku harusnya tahu..." Suara Rian bergetar, tangannya mengepal kuat hingga jemarinya memutih. Ia menatap lantai, tak mampu menghadapi kenyataan bahwa kakaknya sudah tiada, dan adiknya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit.

Weni yang mendengar percakapan itu dari dapur tak kuasa menahan air matanya. Ia tahu bahwa Rian menyalahkan dirinya sendiri, dan itu yang paling ia takutkan. Segala trauma dan rasa bersalah yang membebani hati anaknya membuatnya semakin jauh tenggelam dalam kesedihan.

Malam itu, Rian kembali terjebak dalam mimpi buruk yang sama. Ia berada di dalam mobil lagi. Daren di sampingnya, tersenyum seperti biasa, sementara Hanif duduk di belakang, tertawa kecil. Tiba-tiba, cahaya truk itu kembali. Kecelakaan itu terjadi lagi, tetapi kali ini, Rian berteriak lebih keras. Ia mencoba menghentikan semuanya, berusaha meraih Daren dan Hanif, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Lalu, segalanya menjadi gelap.

Rian terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya berkeringat, jantungnya berdetak kencang, dan pandangannya kabur oleh air mata yang mengalir tanpa henti. Ia menatap sekeliling kamar, mencoba memastikan bahwa ia sudah terbangun, bahwa semua hanya mimpi. Namun, rasa sakit di kakinya dan kenyataan bahwa Hanif masih koma mengingatkannya bahwa mimpi buruk itu adalah kenyataan.

Hari-hari berikutnya berlalu tanpa banyak perubahan. Rian semakin menarik diri dari dunia sekitarnya. Cahyo dan Weni mencoba sekuat tenaga untuk menghiburnya, tetapi Rian tak lagi bisa menemukan alasan untuk tersenyum.

Suatu sore, saat Rian sedang duduk di teras rumah, memandangi langit yang mulai gelap, Weni duduk di sebelahnya. Ia membawa selimut tebal dan menyelimutkan ke tubuh putranya yang mulai kedinginan.

“Mama tahu kamu merasa bersalah, Rian. Tapi kamu harus percaya, nggak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengubah apa yang sudah terjadi,” kata Weni lembut, matanya berkaca-kaca.

Rian menggeleng, wajahnya tetap menunduk. "Tapi Ma, aku yang seharusnya jaga Hanif. Aku janji sama Hanif... aku janji bakal jaga dia, tapi aku gagal. Sekarang Hanif... dia mungkin nggak akan pernah bangun."

Air mata Weni mulai mengalir. "Rian... kamu sudah melakukan yang terbaik. Hanif pasti tahu kamu selalu ada buat dia. Kita semua menderita karena ini, tapi kamu nggak bisa menyalahkan dirimu terus-terusan."

Namun, kata-kata Weni tidak bisa menembus tembok yang sudah Rian bangun di sekeliling dirinya. Hatinya sudah terlalu hancur. Setiap kali ia melihat fotonya bersama Daren dan Hanif, setiap kali ia ingat momen-momen kebersamaan mereka, ia hanya bisa merasakan rasa bersalah yang semakin besar.

Beberapa minggu kemudian, setelah Hanif dipindahkan ke ruangan perawatan intensif, dokter memberi kabar yang mengguncang Rian dan keluarganya. Hanif akhirnya menunjukkan tanda-tanda respons, meski masih dalam keadaan kritis. Cahyo dan Weni merasa ada sedikit harapan, tapi Rian tetap dirundung kecemasan.

Di malam yang sama, ketika mereka berada di rumah sakit menunggu perkembangan kondisi Hanif, Rian duduk di sebelah ranjang adiknya. Wajah Hanif yang pucat dan tubuhnya yang terbaring lemah di tempat tidur membuat Rian semakin hancur.

"Hanif..." Rian berbisik pelan, memegang tangan adiknya yang terasa dingin. "Maaf, aku nggak bisa jaga kamu. Maaf aku nggak bisa lindungi kamu dan Daren. Tapi tolong, bangun, Hanif... Aku nggak kuat kehilangan kamu juga."

Rian terdiam, air matanya jatuh di tangan Hanif. Ia tidak peduli siapa yang ada di ruangan itu. Ia hanya ingin adiknya kembali.

Dalam keheningan itu, Rian merasakan ada gerakan kecil di tangan Hanif. Mata Hanif yang masih tertutup perlahan bergetar, seperti mencoba membuka. Rian terkejut, memanggil dokter dengan suara yang bergetar penuh harap. “Dok... dok, Hanif bergerak! Dia bangun!”

Saat dokter datang, mereka segera memeriksa Hanif dengan seksama. Harapan yang kecil itu perlahan mulai menyala di hati mereka. Tapi bagi Rian, trauma dan rasa bersalah yang mendalam belum sepenuhnya sirna. Meskipun Hanif mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Rian tahu bahwa luka di dalam dirinya mungkin akan tetap ada, menghantui setiap langkahnya ke depan.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang