10

105 21 1
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Rintik hujan membasahi jalanan, menciptakan irama yang monoton namun menenangkan. Langit gelap menggantung di atas kepala, sementara udara semakin dingin. Sepulang sekolah, Rian dan Hanif berjalan kaki menuju rumah mereka, memijak genangan air yang terbentuk di sepanjang jalan. Sesekali, angin dingin menerpa wajah mereka, membuat tubuh kecil mereka sedikit menggigil.

"Rian, yuk kita hujan-hujanan?" tanya Hanif tiba-tiba, matanya berbinar penuh antusiasme.

Rian menoleh, sedikit ragu. “Tapi, Hanif, kamu nanti kedinginan. Mama pasti marah kalau kita pulang dalam keadaan basah.”

Hanif mengerutkan keningnya, wajahnya sedikit memelas. "Ayolah, cuma sebentar. Lagi pula, kita jarang-jarang bisa main hujan kayak gini. Kamu nggak mau nemenin aku?" suara Hanif terdengar penuh harap, seolah-olah hujan adalah kesenangan terbesar yang bisa dia nikmati hari itu.

Rian terdiam. Di satu sisi, ia tahu ini bukan ide yang baik. Hanif mudah sekali sakit jika terkena dingin terlalu lama. Tapi, di sisi lain, ia tidak tega melihat wajah adiknya yang penuh harap seperti itu. Sebagai kakak, perasaan untuk selalu melindungi dan membahagiakan Hanif sering kali menjadi beban, tetapi juga kebahagiaan tersendiri. Rian menghela napas panjang dan akhirnya tersenyum kecil.

“Baiklah, tapi cuma sebentar ya,” kata Rian sambil melepas tas sekolahnya, menaruhnya di tempat kering di bawah pohon besar di pinggir jalan. Hanif mengikuti, menaruh tasnya dengan rapi di sebelah tas kakaknya.

Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, Hanif langsung berlari ke tengah jalan, membiarkan tubuhnya diterpa hujan. “Yeay! Hujan!” teriaknya dengan penuh semangat, sementara kakinya bergerak cepat, menendang genangan air yang memercik ke segala arah.

Rian berdiri sejenak, memperhatikan adiknya yang tertawa riang di bawah hujan. Wajah Hanif terlihat sangat bahagia, seakan dunia di sekitarnya menghilang dan hanya ada dirinya dan rintik hujan. Rian pun tak kuasa untuk tidak ikut tersenyum. Ia kemudian melangkah ke arah Hanif dan ikut bermain di bawah hujan, meski di dalam hatinya, ada sedikit kekhawatiran yang terus mengganggu.

Mereka bermain hujan cukup lama, melupakan rasa lelah setelah sekolah, melupakan dinginnya air yang semakin menyerap ke pakaian mereka. Hanif tertawa, melompat-lompat di genangan air, dan Rian mengikutinya sambil sesekali melempar canda. Meski hatinya tahu ini bukan pilihan yang bijak, melihat Hanif tertawa seperti itu membuatnya merasa puas—setidaknya, untuk saat ini.

Setelah beberapa saat, Hanif mulai menggigil. “Rian, aku dingin...” katanya dengan suara sedikit gemetar, berhenti melompat-lompat dan mendekati kakaknya.

Rian segera mendekap adiknya, menutupi tubuh Hanif dengan lengannya. “Ayo, kita pulang sekarang. Udah cukup main hujannya.”

Hanif mengangguk kecil, tubuhnya menggigil hebat. Mereka berdua segera mengambil tas dan berjalan pulang dengan cepat. Tubuh mereka basah kuyup, pakaian yang menempel di kulit terasa dingin menusuk, dan angin yang berembus semakin membuat tubuh Hanif menggigil tak terkendali.

Ketika sampai di rumah, mereka membuka pintu dengan hati-hati. Suara pintu berderit membuat Weni, yang sedang berada di ruang tamu, langsung menoleh. Matanya membesar melihat kedua anaknya pulang dalam keadaan basah kuyup.

“Kalian... KENAPA BASAH SEMUA?!” suara Weni terdengar menggelegar di ruangan, penuh amarah yang langsung membakar suasana tenang sore itu.

Rian terdiam, menunduk dalam-dalam. Ia tahu ini akan terjadi, tapi ia tidak menyangka amarah ibunya akan meledak secepat itu.

“Mama... tadi—“ Rian mencoba menjelaskan, tapi suaranya terpotong oleh Weni yang langsung berlari ke arah Hanif.

“Hanif! Kenapa kamu basah begini? Lihat, kamu menggigil! Kamu mau sakit lagi, hah?” Weni meraba-raba tubuh Hanif, yang memang sudah mulai dingin. Hanif hanya bisa berdiri di sana, tubuhnya menggigil, tak mampu menjawab apa-apa.

Rian masih berdiri di belakang, merasa seluruh perhatian hanya terpusat pada Hanif. Sementara itu, ia tetap diam, menunduk, mencoba menahan rasa bersalah yang semakin membesar di dalam dadanya.

“Kalian ini kenapa main hujan-hujanan? Siapa yang ngajak?” Weni menoleh ke arah Rian, matanya menatap tajam penuh kemarahan. “Rian, ini ulah kamu lagi kan? Kenapa kamu nggak bisa jaga adikmu baik-baik?”

“Mama... aku nggak ngajak. Hanif yang pengen main hujan. Aku cuma nemenin dia karena—”

“Karena apa? Karena kamu nggak bisa bilang nggak sama adikmu? Rian, kamu tuh kakaknya! Kamu yang harusnya tahu mana yang baik dan mana yang nggak. Lihat sekarang! Hanif bisa sakit lagi!”

Rian merasa air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia berusaha menahan tangisnya, tapi dadanya terasa begitu sesak. Hatinya perih setiap kali mendengar ibunya menyalahkannya tanpa mendengarkan penjelasan yang sebenarnya.

“Mama, aku cuma... aku cuma nggak pengen Hanif sedih,” jawab Rian dengan suara bergetar, mencoba menjelaskan dengan segenap hati.

“Bukan soal sedih atau nggak, Rian! Kamu harus mikir lebih jauh! Hanif itu gampang sakit, kamu tahu itu, kan? Kenapa kamu nggak bilang nggak aja? Kalau kamu bener-bener sayang sama adikmu, kamu harusnya jaga dia, bukan biarin dia main hujan kayak gini!”

Saat itu, Cahyo, ayah mereka, masuk ke dalam rumah dari halaman depan. Ia melihat Weni yang marah-marah, dan Rian yang berdiri dengan kepala tertunduk, sementara Hanif masih menggigil.

“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” tanya Cahyo sambil meletakkan tasnya di meja.

“Hanif main hujan-hujanan sama Rian! Lihat tuh, sekarang Hanif menggigil, bisa-bisa dia sakit lagi,” jawab Weni sambil mendekap Hanif lebih erat.

Cahyo menghela napas panjang, lalu menatap Rian dengan ekspresi serius. “Rian, kamu nggak pikir panjang ya? Hanif kan gampang sakit. Kenapa kamu biarin dia main hujan?”

Rian hanya diam, menahan isakan yang ingin keluar dari mulutnya. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran kesalahan yang terus berulang—apa pun yang ia lakukan, ia selalu disalahkan. Sekalipun ia berusaha melakukan yang terbaik untuk Hanif, hasilnya selalu sama.

“Aku cuma... aku cuma nggak mau Hanif sedih, Pa. Maaf,” kata Rian akhirnya, suaranya pelan dan serak.

Weni menggeleng, merasa frustasi. “Rian, kamu harus belajar untuk lebih bertanggung jawab! Kamu kakaknya, kamu harus bisa jaga Hanif, ngerti?”

Rian mengangguk lemah, tanpa suara. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Setiap kali ia berusaha melakukan hal yang baik untuk adiknya, ia selalu saja dianggap salah. Dan sekarang, rasa bersalah itu membebani dirinya lebih dalam lagi.

“Sudahlah, bawa Hanif ke kamar, biar dia ganti baju dan istirahat,” kata Cahyo akhirnya sambil mengusap wajahnya.

Weni mengangguk, memegang erat tangan Hanif dan membawanya menuju kamar. Hanif menoleh sebentar ke arah Rian dengan tatapan lemah, tetapi tidak berkata apa-apa. Rian hanya bisa menatap adiknya pergi, sementara dirinya berdiri di ruang tamu, merasa lebih kecil dari sebelumnya.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang