17

82 12 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Hari itu adalah hari terakhir liburan keluarga mereka. Setelah berhari-hari penuh canda tawa, pemandangan yang menakjubkan, dan kebersamaan yang telah lama hilang, ada perasaan yang sangat berbeda menyelimuti Rian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar dianggap oleh keluarganya. Liburan ini telah membuka sesuatu yang berbeda, membuatnya merasa bahwa ia benar-benar bagian dari kebahagiaan keluarganya.

Malam terakhir itu, mereka semua duduk di teras villa yang menghadap ke lembah. Udara malam yang sejuk menyentuh kulit, dan bintang-bintang bertaburan di langit. Cahaya dari lampu-lampu kecil yang menggantung di teras memberi kesan hangat dan damai. Rian duduk di sudut, menatap keluarganya yang tertawa bersama sambil menceritakan pengalaman-pengalaman liburan mereka.

"Hanif, ingat nggak pas kamu hampir terpeleset di sungai? Kamu teriak-teriak kayak anak kecil," goda Daren sambil tertawa.

Hanif tertawa malu, "Iya, tapi kan akhirnya aku nggak jatuh. Airnya licin banget waktu itu!"

Weni menggeleng sambil tersenyum. "Hanif ini memang paling sering bikin kejutan. Tapi kalau kamu sampai jatuh, Mama yang akan panik duluan, bukan kamu."

Cahyo menambahkan, "Ya, kalau sampai kejadian, kita harus panggil tim penyelamat untuk Hanif yang nggak bisa diem." Mereka semua tertawa, suasana semakin hangat.

Rian yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya ikut tersenyum. Dia tidak terbiasa dengan momen-momen seperti ini. Biasanya, dia lebih sering diam di pinggir, memperhatikan dari jauh. Tapi malam itu, sesuatu berbeda. Dia merasa bahwa keberadaannya berarti, bahwa tawa dan kebahagiaan keluarganya bukan lagi sesuatu yang asing untuknya.

Hanif, yang duduk di sebelah Rian, tiba-tiba menyikutnya. "Yan, kamu ingat nggak pas kita hujan-hujanan waktu itu? Mama marah-marah, tapi seru banget, ya?"

Rian menatap Hanif sejenak, lalu tersenyum kecil. "Iya, aku ingat. Waktu itu kamu maksa banget mau main hujan, dan akhirnya kita pulang basah kuyup."

Weni yang mendengar itu langsung menoleh ke arah mereka berdua. "Ah, kalian berdua memang bikin Mama sering khawatir. Tapi ya, sekarang kalau dipikir-pikir, itu jadi kenangan yang lucu. Mama cuma nggak mau kalian sakit."

Rian tersenyum lebih lebar. "Ma, aku juga nggak mau bikin Mama khawatir. Aku selalu berusaha buat jadi kakak yang baik buat Hanif."

Suasana tiba-tiba sedikit berubah menjadi lebih tenang, hangat, dan penuh makna. Cahyo, yang sejak tadi diam memperhatikan interaksi anak-anaknya, menarik napas dalam dan menatap Rian dengan serius. "Rian, kamu tahu nggak, kamu sudah jadi kakak yang baik buat Hanif. Mama sama Papa bangga sama kamu. Kami tahu mungkin selama ini kami nggak selalu menunjukkan itu, tapi kamu anak yang hebat."

Kata-kata itu membuat Rian terdiam sejenak. Hatinya bergemuruh mendengar pengakuan dari ayahnya yang selama ini jarang ia dapatkan. Seolah ada beban yang terangkat dari dadanya, dan dia merasa benar-benar dihargai.

Weni, yang duduk di samping Cahyo, mengangguk setuju. "Iya, Nak. Kami bersyukur kamu ada buat Hanif. Kamu selalu menjaga dia, bahkan mungkin lebih dari yang kami minta. Kami minta maaf kalau selama ini kamu merasa kurang diperhatikan. Tapi kamu harus tahu, kami sangat bangga dengan semua yang sudah kamu lakukan."

Mata Rian tiba-tiba memanas. Ia menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Rasa syukur dan bahagia tiba-tiba memenuhi hatinya. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seperti itu dari orangtuanya, apalagi setelah semua yang terjadi selama ini.

"Terima kasih, Ma, Pa," Rian berkata dengan suara pelan tapi penuh rasa. "Aku cuma ingin jadi kakak yang baik. Aku nggak mau Hanif merasa sendirian atau kesulitan. Tapi aku... aku nggak nyangka kalau kalian merasakan hal yang sama. Aku pikir... aku pikir selama ini aku nggak cukup."

Cahyo menggeleng pelan dan mendekati Rian, menepuk bahunya dengan lembut. "Jangan pernah berpikir begitu, Nak. Setiap anak kami berharga, termasuk kamu. Kami hanya kadang terlalu fokus pada Hanif, mungkin karena dia lebih banyak butuh perhatian. Tapi kamu, Rian, kamu adalah bagian penting dari keluarga ini."

Weni menambahkan dengan suara lembut. "Kamu mungkin lebih mandiri, lebih bisa diandalkan, dan itu yang kadang membuat kami lupa untuk menunjukkan betapa pentingnya kamu bagi kami."

Hanif yang duduk di sebelahnya, menatap kakaknya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Rian, kamu selalu jadi kakak yang paling baik buat aku. Aku senang kita bisa bareng terus."

Rian tertawa kecil, meskipun air matanya sudah jatuh. "Hanif, kamu juga adik yang baik. Tapi kamu harus lebih hati-hati, ya? Jangan selalu bikin Mama, Papa, dan Kakak khawatir."

Hanif mengangguk antusias. "Iya, Kak. Aku akan berusaha."

Suasana hening sejenak, penuh dengan kehangatan dan kedekatan yang baru terbentuk di antara mereka. Bagi Rian, malam itu adalah momen yang akan selalu dia ingat. Malam di mana dia merasa benar-benar dianggap, dicintai, dan dihargai oleh keluarganya. Sesuatu yang sudah lama dia rindukan, akhirnya terwujud.

Daren, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Rian, aku tahu mungkin selama ini aku juga jarang ngomong kayak gini. Tapi aku juga bangga sama kamu. Kamu adik yang hebat, dan aku salut dengan semua yang kamu lakukan buat Hanif. Kita mungkin jarang ngobrol tentang hal-hal ini, tapi aku selalu memperhatikan."

Rian menatap kakaknya dengan penuh rasa syukur. "Makasih, Kak Daren. Aku juga bangga punya kakak kayak kakak."

Weni tersenyum lembut, merasa begitu bahagia melihat anak-anaknya saling mendukung dan mengasihi satu sama lain. "Mama harap kita bisa terus seperti ini, ya. Saling mendukung, saling memahami. Karena keluarga adalah tempat kita pulang, tempat kita saling menguatkan."

Cahyo mengangguk. "Kamu benar, Wen. Ini yang paling penting."

Malam itu diakhiri dengan pelukan hangat di antara mereka. Rian merasa hidupnya berubah, seolah beban yang selama ini ia pikul sendiri akhirnya terangkat. Liburan ini bukan hanya sekadar perjalanan untuk bersenang-senang, tapi sebuah momen penting yang menyatukan mereka kembali sebagai keluarga.

Ketika mereka akhirnya masuk ke dalam villa dan bersiap untuk tidur, Rian berbaring di tempat tidurnya dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan semua yang terjadi malam itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa damai. Ia merasa bahagia. Dan yang terpenting, ia merasa dicintai.

"Terima kasih," bisiknya pelan, meski ia tahu tak ada yang mendengar. Terima kasih untuk keluarga, untuk cinta, dan untuk kebahagiaan yang akhirnya ia temukan kembali.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang