terlambat

119 13 5
                                    

Ana yang mungil terus mendekat, mengintip dengan rasa penasaran ke arah panci yang sedang mendidih. Uap panas naik, membawa aroma sup yang mengundang. Liliana, dengan senyum lembut yang tak menunjukkan apapun, mengaduk perlahan.

"Aku lapar, Bibi," suara Ana terdengar begitu polos, tanpa menyadari kegelapan yang tersembunyi di balik tatapan Liliana.

Liliana membungkuk, menatap wajah polos Ana yang begitu cerah dan tanpa dosa. Senyumnya bertambah lebar, tapi kini ada sesuatu yang tidak beres, ada kegelapan yang bersembunyi di balik sorot matanya. Ia meletakkan sendok kayu dengan hati-hati di atas meja dan menunduk untuk menyamai tinggi Ana.

"Tentu, sayang. Mari kita buat makan malam yang spesial hari ini."

Tanpa peringatan, Liliana meraih lengan Ana dengan kekuatan yang tak mungkin dimiliki oleh seorang wanita seukuran dirinya. Ana, yang terkejut, tidak sempat meronta. Liliana mendorong tubuh kecil itu ke arah panci besar. Ana mulai menangis, tapi suara tangisnya hilang dalam keheningan dapur yang hanya terdengar gemuruh air mendidih.

Dengan gerakan dingin, Liliana meraih kepala Ana, menahannya erat. Air mendidih mulai meluap saat tubuh kecil itu dimasukkan ke dalam panci. Jeritan Ana melengking, menggema di seluruh ruangan, tapi Liliana tetap tenang, senyum tipisnya tak pernah hilang. Matanya berbinar, menikmati setiap detik penderitaan yang terpancar dari bocah tak berdosa itu.

Jeritan Ana akhirnya terhenti. Ruangan yang tadinya diisi oleh tangis sekarang penuh dengan aroma aneh yang bercampur dengan sup mendidih.

Liliana memandangi panci itu sejenak, senyum puas menghiasi wajahnya. Dia mengambil sendok kayu, mengaduk perlahan. Sup buatan Liliana kini memiliki "bahan istimewa."

****

Di dalam sel penjara yang dingin dan suram, Hera duduk dengan punggung bersandar pada dinding berlumut. Keheningan penjara malam itu terasa mencekam, hanya terdengar tetesan air yang jatuh dari pipa bocor di sudut ruangan. Lampu remang-remang menggantung di atas, memberikan cahaya yang nyaris tak berfungsi.

Hera memejamkan mata, mencoba melupakan sejenak rasa penyesalan dan penderitaan yang mengekangnya. Namun, sesuatu mengganggunya. Firasat buruk mulai merayap dalam dadanya. Rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan, seolah-olah ada beban yang menekan hatinya lebih berat dari biasanya. Bayangan wajah mungil Ana, anak kecil yang selalu ia jaga, mulai menghantui pikirannya.

“Ana…” gumamnya lirih.

Dadanya semakin berat, dan perasaannya tak tenang. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Tangannya gemetar, dan jantungnya berdetak semakin cepat. Suhu tubuhnya mendadak dingin, seiring dengan munculnya firasat yang semakin jelas di benaknya—Ana telah tiada.

Hera mencoba menenangkan diri, mencoba menyangkal apa yang dirasakannya. Namun, insting keibuannya berteriak lebih keras. Ada rasa kehilangan yang menusuk, sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Ia meremas keras kedua tangannya, menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah. Air mata mengalir di pipinya tanpa ia sadari, hatinya terasa hancur seketika.

“Ana…” kali ini suaranya lebih pelan, lebih penuh kesedihan, seolah memanggil sosok yang takkan pernah bisa kembali.

Di sudut sel penjara, Hera merasakan kehampaan yang mendalam. Firasat itu menjadi semakin kuat—sesuatu yang mengerikan telah terjadi pada anaknya, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Terpenjara oleh besi dan dosa-dosanya, Hera hanya bisa merasakan rasa sakit yang semakin mengiris di dalam dada, kesadaran bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang takkan pernah bisa ia dapatkan kembali.

---

Nyx berlari secepat mungkin, napasnya terengah-engah, sementara Vermouth mengikuti di belakangnya. Jalanan malam itu sunyi, hanya terdengar langkah kaki mereka yang tergesa. Nyx merasakan ketakutan yang menusuk, firasat buruk yang tak bisa ia abaikan. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: Ana harus selamat.

DRAMA [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang