Assalamualaikum
Sebelum membaca ada baiknya tinggalkan jejak kalian dengan vote dan komen ya readers tercinta 💗
Jangan jadi readers silent juga ya 🫶🏻☺️
Happy Reading!
••••
Di taman TK yang sepi, Gavriel duduk di bangku kayu, memangku Alvaro yang asyik menikmati es krim cokelatnya. Sambil mengelus rambut lembut anaknya, Gavriel merasa hatinya terenyuh. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa anak kecil yang kini ada di pangkuannya adalah darah dagingnya sendiri, anak yang dulu tidak dia terima. Sesak di dadanya semakin terasa ketika memikirkan masa lalu—bagaimana ia meninggalkan Zayna yang sedang mengandung anaknya.
"Alvaro, ayah nggak nyangka kamu udah sebesar ini," ucap Gavriel pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Alvaro menoleh, dengan tatapan polos yang selalu membuat hati Gavriel meleleh. "Ayah tau nggak? Alvalo tiap malam beldoa sama Allah, agal Ayah cepat pulang, dan Alvaro bisa ngelasain punya Ayah sepelti teman-teman lainnya," kata bocah kecil itu sambil menggerak-gerakkan sendok es krimnya dengan antusias.
Perkataan Alvaro seperti petir yang menyambar hati Gavriel. Doa yang polos dan tulus itu mengiris hatinya yang sudah lama dihantui penyesalan. "Maafin Ayah ya, Alvaro," ucap Gavriel dengan suara serak. "Selama ini Ayah nggak pulang-pulang."
"Tidak apa-apa Ayah. Sekarang Allah sudah mengabulkan doa Alvalo, akhirnya Ayah pulang," ucap anak itu polos.
Mendengar kejujuran Alvaro yang polos itu, hati Gavriel terasa tercabik-cabik. Setiap kata yang terucap dari bibir kecil anaknya semakin menusuk dalam, terlebih saat Alvaro menyebut nama Tuhannya. Gavriel tersadar, ia dan Zayna berada di jalan yang berbeda, bahkan Alvaro pun tumbuh dalam keyakinan yang tak sama dengannya. Namun, alih-alih menuntut, Gavriel tak pernah ingin memaksakan anaknya untuk mengikuti keyakinannya. Justru, di tengah kepedihan itu, ia bersyukur. Anaknya tumbuh dalam naungan agama yang baik, dengan bimbingan Zayna yang penuh kasih.
"Alvaro..." Gavriel menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata di tengah rasa bersalah yang terus mendera. "Nanti kamu jangan beri tahu Bunda dulu ya kalau Ayah sudah pulang."
Alvaro langsung berhenti menyendok es krimnya dan memandang Gavriel dengan bingung. "Kenapa, Ayah? Bunda pasti senang kalau Ayah udah pulang! Pokoknya Alvalo mau Ayah sama Bunda ketemu!"
Tatapan polos Alvaro membuat hati Gavriel semakin perih. "Ayah tahu," gumamnya pelan, "Ayah juga pengen ketemu Bunda. Tapi Ayah mau bikin kejutan dulu. Kamu harus bantu Ayah, ya. Jangan sampai Bunda tahu dulu."
Alvaro tampak ragu sejenak, namun akhirnya ia tersenyum dan mengangguk antusias. "Alvalo siap bantu Ayah!" teriaknya penuh semangat.
Gavriel tersenyum, meski hatinya masih terasa berat. Mereka pun menautkan kelingking, seolah menandai janji rahasia antara ayah dan anak.
••••
Sementara itu, di tempat lain, Zayna mendapat telepon dari Bu Nanik, wali kelas Alvaro. "Bu Zayna, saya ingin memberitahukan bahwa tadi ada sedikit masalah di sekolah," suara Bu Nanik terdengar lembut namun tegas.
Zayna, yang sedang sibuk di toko kuenya, langsung merasakan jantungnya berdegup kencang. "Masalah apa, Bu Nanik? Apa Alvaro baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran.
"Alvaro baik-baik saja, Bu. Tapi tadi dia terlibat pertengkaran dengan salah satu temannya," jawab Bu Nanik.
Tanpa berpikir panjang, Zayna langsung mengatur Adiba untuk menjaga toko kuenya dan segera bergegas menuju sekolah Alvaro. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia selalu berusaha mendidik Alvaro agar menjadi anak yang baik dan tidak mudah terprovokasi, tapi ini bukan pertama kalinya Alvaro bertengkar di sekolah.
Setibanya di gerbang sekolah, Zayna melihat Alvaro berdiri dengan wajah murung di samping Bu Nanik. Langsung saja ia menghampiri anaknya dan menangkup pipinya. "Kamu berantem sama siapa?" tanyanya, dengan nada yang menggabungkan kekhawatiran dan kemarahan.
"Alvaro bertengkar dengan Denis, Bu Zayna. Denis mengejek Alvaro tidak punya Ayah, jadi mereka bertengkar," Bu Nanik menjelaskan dengan tenang, seakan sudah terbiasa menangani masalah seperti ini.
Zayna terdiam sejenak. Perasaan sakit dan perih menyelusup ke dalam hatinya mendengar alasan pertengkaran Alvaro. Ia tahu bahwa Alvaro sering merasa berbeda karena tidak pernah punya sosok ayah yang hadir di sisinya, tapi mendengar bahwa ejekan itu menjadi alasan pertengkaran membuatnya merasa bersalah. Bagaimanapun, ia sudah berusaha menjadi ibu sekaligus ayah untuk Alvaro, namun tetap saja ada kekosongan yang tidak bisa ia isi.
Alvaro, yang sejak tadi merasa bersalah, mencoba memberikan penjelasan. "Lagipula tadi Alvalo ket—" ucap Alvaro, hampir keceplosan menceritakan soal pertemuannya dengan Gavriel, tapi segera menutup mulutnya sendiri.
Zayna menatap Alvaro dengan curiga. "Apa, sayang? Kamu mau bilang apa tadi?" tanyanya penuh penasaran.
"Habisnya Denis mulai duluan, Nda! Denis ngejek Alvalo nggak punya Ayah, padahal Bunda bilang Ayah kelja," jawab Alvaro, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Zayna menghela napas panjang, lalu berjongkok di hadapan Alvaro. "Dengar ya, sayang. Nggak semua hal bisa diselesaikan dengan berantem. Kalau ada yang mengejek kamu, kamu harus belajar bicara baik-baik. Jangan ikut marah," nasihatnya sambil memeluk erat anaknya.
Di kejauhan, di balik pagar sekolah, Gavriel mengamati adegan itu dari tempat persembunyiannya. Melihat Zayna yang kini berbeda dari dulu membuat hatinya semakin berat. Zayna yang dulu dikenal ceria dan sering mengenakan pakaian modis kini berubah menjadi wanita anggun dengan pakaian syar’i. Penampilannya mencerminkan kedewasaan dan keteguhan yang baru. Gavriel merasa dirinya begitu kecil dibandingkan Zayna yang telah mampu bertahan dan membesarkan anak mereka dengan begitu tegar.
"Dia telah berubah. Maaf, Zayna," bisik Gavriel pada dirinya sendiri, penuh penyesalan. "Maaf juga aku belum bisa berani menemui kamu secara langsung. Aku terlalu pengecut... tapi aku rindu kamu."
••••
Setelah mengurus masalah di sekolah, Zayna membawa Alvaro pulang. Sepanjang perjalanan, Alvaro tampak lebih diam dari biasanya. Zayna merasakan ada yang disembunyikan oleh anaknya, namun ia tak ingin memaksanya untuk bercerita. Mungkin Alvaro masih memikirkan pertengkarannya dengan Denis, atau mungkin ia terlalu lelah setelah seharian di sekolah.
Saat mereka sampai di rumah, Zayna menyuruh Alvaro untuk langsung membersihkan diri. Sementara itu, ia masuk ke dapur dan memandangi pesanan-pesanan kue yang masih harus ia selesaikan dan dibawa ke tokonya yang berada di samping rumah. Pikiran Zayna kembali melayang ke kata-kata Alvaro tadi tentang ayahnya yang 'sedang kerja'. Ia berbohong pada Alvaro, menciptakan ilusi bahwa ayahnya hanya bekerja di luar kota agar Alvaro tidak merasa terlalu kehilangan. Namun, kebohongan itu kini terasa semakin berat.
Setelah menyelesaikan beberapa pesanan kue, Zayna duduk sendirian di meja makan, merasakan keheningan yang menghantui. Ia teringat masa-masa bersama Gavriel, saat mereka jatuh cinta. Semua terasa begitu indah, sampai akhirnya Gavriel meninggalkannya bahkan disaat Zayna hamil. Keputusan Gavriel untuk pergi adalah luka terdalam yang pernah Zayna rasakan, tapi demi Alvaro, ia mencoba untuk tetap kuat.
Tiba-tiba, suara Alvaro memecah keheningan. "Bunda, nanti kalau Alvalo ketemu Ayah, Ayah bakal tinggal sama kita, kan?" tanyanya polos, berdiri di ambang pintu kamar tidurnya.
Zayna tersenyum getir. "Kita lihat nanti ya, sayang. Sekarang kamu tidur siang dulu ya!" jawabnya sambil menahan air mata yang hampir tumpah.
Zayna merenung lebih lama dari biasanya. Ia tahu bahwa suatu saat nanti, kebenaran tentang Gavriel harus diceritakan pada Alvaro. Tapi apakah Gavriel akan benar-benar kembali? Apakah ia siap menerima sosok pria yang dulu menghancurkan hatinya kembali ke dalam hidup mereka? Apalagi mereka berbeda.
••••
TBC
Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca cerita ini 😊
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Different Religions (On Going)
Fiksi RemajaCinta beda agama Kehilangan kesuciannya Hamil Di usir keluarga Itu semua di alami oleh gadis cantik bernama Zayna Marsell Hanara yang kehilangan kesuciannya karena jebakan yang di lakukan oleh teman dari pacar beda agamanya. Sialnya cowok yang bern...