9
Sudah terhitung seminggu berlalu sejak hari di mana Atana bertemu dengan Adid di acara reuni itu.
Ya, Atana memang menghitung hari-hari itu, bahkan kini niatnya untuk belajar harus terhenti hanya karena matanya terus terpaku pada lingkaran klender yang ia tulis di meja belajarnya."Udah seminggu loh Did" gumam Atana sambil tersenyum pahit "Gua kira setelah ketemu di reuni, lo bakal langsung kepelet sama kecantikan gua ini" lanjutnya, berusaha menguatkan hati dengan kepercayaan diri yang terasa dibuat-buat. Ada sedikit harapan di dalam nada bicaranya, meski Atana tahu, perasaannya mungkin hanya bertepuk sebelah tangan.
Atana melirik malas ke ponsel sementara yang dipinjamkan oleh Abangnya. Ponsel itu bukan miliknya, melainkan hanya alat bantu setelah ponselnya sendiri raib entah di mana.
Atana sudah coba kembali ke lokasi itu untuk mencarinya, tapi tak ada hasil. Ponsel itu hilang, mungkin sudah diambil orang. Meski hanya ponsel kentang, seperti yang biasa dia sebut, tetap saja ada sedikit rasa kehilangan.
Bukan karena harga atau model ponselnya, melainkan karena apa yang ada di dalamnya—terutama satu hal penting: nomor Adid.
Atana tertawa kecil, menanggapi suara hatinya yang menyumpahi orang yang mengambil ponselnya agar tidak memiliki pasangan seumur hidup, karena kenyataan bahwa nomor Adid kini mungkin hilang selamanya.
Atana menghela napas panjang, merasa bosan dengan segala pikiran yang berputar di kepalanya. Tanpa banyak berpikir lagi, Atana memilih bangkit dari kursi belajarnya dan berjalan keluar kamar. Mungkin apa yang ia butuhkan sekarang adalah sedikit hiburan, atau lebih tepatnya, makanan.
Karena tak ada yang bisa mengembalikan semangatnya lebih cepat daripada makanan. Atana membuka pintu kulkas dengan gerakan malas, matanya menyapu isinya dengan harapan menemukan sesuatu yang bisa mengisi perut dan pikirannya yang resah.
Pandangannya tertuju pada sebuah kotak susu coklat yang entah milik siapa—tapi saat ini Atana tidak peduli. Tanpa ragu, ia meraih kotak susu itu dan menutup kulkas dengan satu sentakan ringan, seolah dunia sedang mengizinkannya untuk mengambil hak milik yang bukan miliknya.
Dengan langkah malas, Atana kembali menyeret kakinya ke ruang tamu dan mendudukkan diri di sofa. Tak lama, kedua kakinya pun ia angkat, duduk dalam posisi yang jauh dari elegan, seakan mencerminkan betapa acak-acakan suasana hatinya saat ini.
ia memegang remote TV, menekan tombol-tombolnya tanpa minat hanya sekadar iseng, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenyataan yang mengganggunya.
Sambil menyesap susu kotak yang terasa sedikit lebih manis dari yang ia bayangkan, namun sialnya pikirannya tetap melayang kembali ke Adid. Bahkan tayangan acak yang lewat di layar TV tidak mampu mengusir bayangan pria itu dari pikirannya. Kenya Atana dipelet Adid deh wkwk
Setiap adegan yang muncul hanya mengingatkannya pada percakapan-percakapan singkat mereka, senyuman yang dilempar Adid, dan tatapan yang mungkin hanya Atana yang menganggapnya lebih berarti dari sekadar basa-basi.
"Duh, Did... kenapa lo masih ada di pikiran gua terus? " Atana bergumam lirih pada dirinya sendiri, merasakan perasaan tidak nyaman yang makin menguasainya.
Atana mengacak-ngacak rambutnya dengan frustasi. Jika ada yang melihatnya saat ini, mungkin sudah ada yang berpikir ia sedang kehilangan akal. Sialnya, dugaan itu tak lama lagi akan terbukti benar, karena suara yang paling dia benci—suara yang selalu menguji batas kesabarannya—tiba-tiba terdengar di telinganya.
"Woi kenapa lo kegitu, kayak orang gila? " Suara Bayu--Abangnya, terdengar dengan nada yang jauh dari santai. Dia selalu punya bakat untuk muncul di saat yang paling tidak diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WE FALL in love
Teen Fictionketika kita jatuh cinta maka kita harus siap dengan dua kemungkinan. Entah terbalas atau bertepuk sebelah tangan. Selama 8 tahun Atana memendam rasa sukanya kepada pria yang ia temui di bangku SMP. Adid Raharja pria dengan segala hal konyolnya dan k...