BAB 11-Di Bawah Langit Bandung (2)

40 2 0
                                    

follow ig aku yaaa: mirna.cle

BAB 11—Di Bawah Langit Bandung (2)

Marisela

Aku duduk dalam diam di jok motor Sagara, memperhatikan jalanan yang padat tapi tidak terasa sumpek. Langit sore mulai memerah, menciptakan kombinasi indah dengan lampu-lampu kota yang perlahan menyala. Angin sore mengibarkan rambutku, membuat rambut depanku yang terlepas dari ikatan sedikit kusut, tapi aku tak peduli. Suasana Bandung sore ini benar-benar nyaman, seolah memberikan pelarian dari semua hal yang bikin pusing beberapa minggu terakhir.

Udara Bandung memang segar, berbeda dengan hiruk-pikik Jakarta yang penuh polusi. Dulu, aku sering ke sini bersama teman-teman sekolah saat ada kompetisi antarprovinsi, tapi kali ini terasa berberda. Mungkin karena aku datang bukan sebagai atlet, tapi sekadar penonton yang mencari pelarian.

Kami terus berkendara melewati Dago, menuju arah Cihampelas. Jalanan di sini mulai lebih ramai, apalagi banyak wisatawan yang sedang mencari oleh-oleh. Toko-toko yang menjual kaos, gantungan kunci dan berbagai souvenir lokal menghiasi pinggiran jalan. Sesekali, aku melihat turis yang sibuk memilih barang, sementara beberapa asongan mencoba menjajakan dagangannya dengan ramah.

"Lo ada tempat khusus yang pengen dikunjungi?" tanya Gara tiba-tiba, suaranya terdengar di atas deru motor yang pelan-pelan menembus keramaian kota.

Aku berpikir sejenak, mengingat-ngingat tempat di Bandung yang menarik. Tapi sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal kota ini. "Gue gak terlalu tau tempat-tempat daerah Bandung."

Gara melirikku sekilas, "lo mau liat pemandangan kota dari atas bukit?"

Aku menoleh, oh! Aku pernah mendengarnya, "Dago Pakar?"

Dia mengangguk, sedikit tersenyum. "Iya, dari situ kita bisa liat Bandung dari ketinggian. Kalo... lo mau."

Aku mempertimbangkan sebentar, membayangkan dinginnya udara di bukit sambil memandang suasana kota sore ini. Aku mau, tentu saja. Tapi, kalau aku pulang semakin malam, resiko untuk dinasehati Papa akan semakin tinggi. "Lain kali aja deh, Gar. Kita pulang aja," putusku.

Gara mengangguk patuh, tanpa banyak protes. "As you wish, Baginda Ratu." Katanya, dengan nada bercanda.

Jawabannya membuatku tertawa, entah kenapa belakangan ini dia memperlakukanku dengan baik, mungkin sebagai bentuk perpisahan untuk tanggung jawabnya yang akan selesai sebentar lagi.

***

Aku turun dari motornya dengan sedikit hati-hati, aku merasakan pinggangku sakit karena selama perjalanan aku hanya bisa duduk. Seperti biasa, Gara dengan cekatan membantuku melepas helm yang menempel erat di kepalaku. Saat helm akhirnya terlepas, aku mengibaskan rambutku yang sedikit berantakan, merasakan udara malam yang sejuk menyentuh kulit wajahku,

Langit sudah gelap, dan lampu-lampu jalan mulai menyala di sepanjang jalan menuju rumahku. Suasana malam di lingkungan ini terasa damai, hampir tak ada suara kendaraan yang lalu lalang.

"Thanks," kataku sambil tersenyum tipis.

Gara balas tersenyum, "my pleasure," jawabnya, "kayaknya setelah lepas dari lom gue bakal susah dapet izin kalo mau cabut di jam pelajaran." Tambahnya dengan nada bercanda.

Aku menyipitkan mataku, berpura-pura curiga. "Jadi, lo gak suka tangan gue sembuh?" tanyaku setengah bercanda.

Dia langsung memasang wajah panik, "gak gitu juga," ujarnya buru-buru, mencoba menjelaskan. "Maksud gue, nanti gue bakal balik lagi jadi Gara yang biasa."

Aku mengerutkan kening, "emang sekarang lo jadi Gara yang luar biasa?"

Gara mendecak sebal, seolah kesal. "Ya bukan gitu juga konteksnya, Mar," katanya, suaranya terdengar pasrah. Tapi, aku tahu dia tidak serius.

"Gue seneng lo sembuh," katanya tiba-tiba setelah jeda beberapa saat, senyumannya memudar menjadi lebih tulus. "Really."

Aku mengangkat bahuku, memasang ekspresi santai "ya... lo seneng karena bebas dari gue kan?" balasku sambil sedikit menyeringai.

Dia tertawa, suaranya terdengar ringan di malam yang sepi. "Itu juga termasuk." Ujarnya pelan, sambil menundukkan kepalanya sedikit.

Aku berdecih, memutar mata dengan dramatis. "Tch, emang dasar lo ya—"

Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, dia tiba-tiba merubah raut wajahnya, tampak kikuk. "Malam, Om," katanya dengan nada lebih sopan dari biasanya, menyapa seseorang di belakangku. Dia turun dari motornya, melepas helmnya dan menghampiri Papaku untuk mencium tangan.

Aku menoleh dan langsung melihat Papa yang berjalan mendekat ke arah kami, wajahnya penuh tanda tanya. "Malam," balasnya.

"Kok jam segini baru pulang?" tanya Papa, sorot matanya bergantian melihat aku dan Gara dengan sedikit penasaran. "Kamu bawa anak saya kemana dulu?"

Aku buru-buru menjawab, berusaha meredam potensi ceramah panjang lebar yang akan meluncur dari mulut Papa. "Yaya yang minta keliling bentar, Pa," kataku cepat, berharap bisa memotong interogasi lebih lanjut.

Tapi, Papa masih tampak belum puas. Dia melipat tangan di dadanya, memandang Gara dengan alis yang sedikit terangkat, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. Sebelum situasinya semain canggung dan Gara menjadi sasaran berikutnya, aku buru-buru membuka mulut lagi, "udah ah, bentar lagi Yaya juga masuk kok, udah malem juga," kataku cepat, berusaha menciptakan alasan yang logis. "Gara juga mau pulang, kan, Gar?" aku melirik ke arah Gara, memberi isyarat supaya dia segera menjawab.

Gara menggaruk kepalanya sambil tersenyum canggung. "Iya, Om.," jawabnya dengan nada yang sedikit hati-hati. "Maaf sebelumnya, Om, kami pulang agak terlambat. Selain saya ajak keliling dulu, jalanan juga lumayan macet tadi." Si bodoh itu! Kenapa malah menjawab seperti itu?

"Udah tau macet bukannya langsung—"

Aku buru-buru melotot ke arah Papa, mencoba menghentikan sebelum ceramah itu benar-benar dimulai. "Pa!" potongku cepat dengan nada sedikit memohon, berharap bisa menghentikan eskalasi situasi. "Yaya udah pulang kan? Aman kok," lanjutku.

Papa mendesah pelan, lalu mengangguk meskipun raut wajahnya masih menampakkan kekhawatiran yang tersisa. "Ya udah," katanya akhirnya, matanya kembali menatap Gara, "langsung pulang, jangan keluyuran dulu, jangan ngebut."

"Siap, Om." Sahut Gara.

Papa masih berdiri, membuatku mendorong punggungnya pelan agar dia masuk. "Jangan lama loh ngobrolnya, Mama kamu bisa marah nanti,"

"Iyaaaa, astaga bawel banget." Keluhku.

Aku menarik napas lega begitu Papa masuk, lalu melirik ke arah Gara yang masih berdiri dengan senyum tipis di wajahnya, tampak lega tapi juga sedikit malu. "Sorry ya," ujarku pada Gara.

Gara hanya tertawa pelan, "gue udah berkali-kali ke sini, tapi kayaknya emang harus siapin mental mulu." Candanya.

"Saya bisa dengar kamu," Papa menyahut dari arah dalam, membuat Gara melotot.

"Maaf, Om." Kekehnya.

Aku tertawa, "ya udah, lo pulang sana."

Gara menaiki motornya dan kembali memasang helmnya, dia menatapku sebelum menyalakan mesin motornya. "Gue cabut dulu ya," katanya.

"Gar," panggilku, aku melipat bibirku ragu. "Kalo lo butuh bantuan buat balik sama Bella, gue bisa bantu."

Aku bisa melihat dia tersenyum tipis dari balik helm full face-nya. "Gue pamit ya, Yaya."

Dia tidak menjawab. Dan sialnya, malah meledekku dengan memanggilku seperti itu.

***

Rabu, 02 Oktober 2024 16:45


love, mirna.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Wind Beneath My WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang