Marisela
Jakarta, 2016
Surga duniaku di sekolah adalah atap, tempat yang terpencil dimana aku bisa melarikan diri dari kekacauan di bawah sana. Menatap hamparan langit biru yang luas dengan angin sepoi-sepoi yang membelai lembut kulitku yang terbuka. Hari ini cuaca begitu bersahabat, sinar matahari yang dimoderasi oleh awan tipis, menciptakan suasana yang sempurna bagiku untuk merebahkan diri di atas matras dan menikmati udara segar selama jam istirahat.
Aku menutup mataku, menikmati sapuan angin di kulitku dengan hidmat, mencoba menyerap energi positif yang akan masuk ke dalam tubuhku, memberikan kesempatan untuk bernapas lega dari hiruk-pikuk kehidupan sekolah. Tapi sayangnya semua itu kurang sempurna karena tangan kananku tak bisa ku gunakan sebagai bantalan kepalaku akibat gips sialan ini.
"Nih," suara seorang laki-laki masuk ke dalam telingaku, mengusik ketenangan yang sudah kubangun sejak tadi. Dengan malas aku membuka mata dan mendapati sebuah botol minuman tepat di depan mataku.
"Balik lagi, lo salah ambil," ucapku menyingkirkan botol itu dari pandanganku, kembali membenamkan diri keindahan langit biru yang menawarkan ketenangan di antara keramaian sekolah.
Aku dapat mendengar suara kesalnya yang tertahan, tapi aku tidak peduli, aku sudah membencinya bahkan hanya dengan mendengarkan namanya saja.
"Salah apalagi sih? Udah bener kan minuman yang warna pink?" tanyanya, rautnya terlihat begitu frustasi, seperti bocah yang sedang merengek karena tak dibolehkan bermain oleh ibunya.
Aku mendudukkan diriku dan balik menatapnya dengan kesal, "itu rasa raspberry, bukan strawberry. Lo selain buta warna juga gak bisa baca?"
Seolah tak terima dengan ucapanku, dia kembali membuka suaranya, "sama-sama berry kan? Tinggal minum aja ribet banget."
Aku menahan diriku untuk tidak melemparkannya sumpah serapah saat ini, di ujung lidahku bahkan sudah ada makian yang ku tahan kuat-kuat demi kewarasan hidupku, aku memilih untuk menatapnya dengan tajam, "balik lagi gak? Bawain gue minuman yang bener."
Dia mendengus, "ini udah ketiga kalinya gue balik lagi, gue bukan babu lo ya Marisela." Mendengar dia menekan namaku membuatku marah. Tapi, jangan tunjukkan itu Marisela, kataku pada diriku sendiri, ada kata yang ampuh yang akan membuatnya menuruti semua mauku.
"Saya bersedia bertanggung jawab atas kesalahan yang saya lakukan, om, saya juga akan menjaga Marisela sampai dia sembuh.." Ucapku mengulang kata-katanya beberapa minggu yang lalu. Aku sangat ingat betul, aku bahkan memintanya untuk mengulang kalimat itu agar bisa kurekam.
"Gue ingat itu dengan jelas, Sagara." Ucapku penuh penekanan.
Kalimat itu keluar ketika aku di rumah sakit, dia berkata dengan jelas di depan Papaku sebagai pertanggung jawabannya. Aku malas membahas ini, tapi kalian juga harus tahu bagaimana kronologinya. Ini semua berawal dari dua minggu yang lalu..
Flashback On
Aku terbangun dari tidurku dengan rasa sakit di seluruh tubuhku, aku sudah tidur selama beberapa menit setelah dokter pergi meninggalkanku dengan balutan gips di lengan kananku, kini hanya tinggal menunggu Mama yang sedang mengambil obat, setelah itu aku akan pulang ke rumah. Aku mengalami patah tulang, tentunya itu adalah kabar buruk yang ingin kutangisi kalau saja Mama tidak datang dengan kresek putih di tangannya. Aku meringsek untuk duduk dengan susah payah, kepalaku sakit bukan main, tapi untungnya dokter mengatakan itu bukan masalah yang serius. Tapi, meskipun begitu aku harus menerima kenyataan kalau tangan kananku patah tulang dan tidak bisa apa-apa selama beberapa minggu atau beberapa bulan ke depan. Sedih? Tentu saja. Dua bulan lagi aku harus mengikuti PON Jabar untuk mewakili cabang olahraga air Loncat Indah, tapi sepertinya Tuhan hanya ingin membiarkanku menjadi penonton saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wind Beneath My Wings
Ficção AdolescenteTerlibat dalam kecelakaan tragis yang membuat tangannya patah, Marisela harus menerima kenyataan pahit; dia terpaksa mundur dari kejuaraan olahraga loncat indah yang selama ini menjadi mimpinya. Kejadian itu bukan hanya menghancurkan fisiknya, tapi...