BAB 8-Jurang Perpisahan

8 4 0
                                    

BAB 8—Jurang Perpisahan

Sagara

"Buset, abis nyebur dimana lo?" Rafta bertanya heran ketika mendapati rambut gue yang basah.

"Berisik lo, gue mau ganti baju dulu," jawab gue sambil melangkah cepat ke arah loker. Rasa air dingin dari air kolam cetek yang baru saja gue terjuni masih terasa di kulit. Suasana lapangan basket hari ini cukup ramai, dengan suara tawa dan teriakkan teman-teman yang sedang bersiap-siap untuk pertandingan. Kali ini, kami tanding di kandang lawan, yang dimana biasanya tekanan lebih terasa di bandingkan dengan bermain di kandang sendiri.

Kalau bukan gara-gara Marisela, gue mungkin gak akan basah kuyup begini. Saat dia memutuskan untuk lompat dari ketinggian 5 meter, insting gue langsung bergerak. Beruntung gue bisa menarik mundur dengan syarat konyol dari dia.

Begitu sampai di loker, gue mengeringkan rambut gue yang masih basah dengan handuk kecil. Setelah itu gue mengganti baju dengan kaos tim kebanggaan kami, lengkap dengan nomor punggung yang menjadi identitas di lapangan. Nomor punggung gue itu 88, bukan tanpa alasan, itu adalah simbol keberuntungan gue. Begitu kaos gue terpasang, gue merasakan semangat dan kepercayaan diri kembali mengalir.

Sebelum masuk ke lapangan, biasanya kami melakukan pemanasan. Pertama, gue mulai dengan stretching untuk memastikan otot-otot tubuh siap bergerak. Menarik napas dalam-dalam, gue melatih konsentrasi dengan beberapa gerakan dasar, mulai dari lompatan kecil hingga dribble bola. Di sisi lain, gue bisa melihat teman-teman gue yang lain sudah mulai berlatih lay-up. Suara bola memantul di lantai, dan aroma keringat campur semangat bikin perut gue bergetar.

Setelah itu, kami melakukan sesi pemanasan bersama, berlari mengelilingi lapangan sambil berteriak satu sama lain, menciptakan ikatan yang lebih kuat di antara kami. "Siap, tim?" teriak kapten kami, Geo, yang berlari paling depan.

Kami serentak menjawab, "Siap!" suasana lapangan dipenuhi semangat dan energi positif.

"Bella gak lo ajak kesini?" gue mendengar suara Satrio yang sedang berlari di belakang gue.

"Gue aj—" Bella! Astaga, gue lupa jemput dia, sialan!

Gue berhenti mendadak, menimbulkan bunyi gedebuk yang sangat kuat karena Satrio menghantam punggung gue, teman-teman gue yang lain ikut kena getahnya dan mereka langsung melayangkan protes kepada gue.

"Lo kenapa sih?" Satrio bertanya sambil berkacak pinggang.

Gue mulai lemas ketika gue mengedarkan pandangan gue ke kursi penonton dan mendapati Marisela sedang duduk di sana. Sialan!

"Jangan bilang lo lupa, Gar?"

"Bunuh gue sekarang juga, Sat," ucap gue ketika gue melihat si cantik jelita yang akan gue jemput kini muncul memasuki kursi penonton.

***

"Bel, aku minta maaf, aku beneran—"

"Lupa?" Bella memotong dengan nada sinis, suaranya penuh emosi. Tatapannya tajam, dan gue bisa melihat betapa antusiasnya dia menonton pertandingan gue lewat penampilannya saat ini. Dia bahkan dengan sengaja menempelkan stiker huruf G di kedua pipinya, menandakan dukungannya, tapi di balik semua itu, gue bisa merasakan amarahnya.

Selama bermain di lapangan, hati gue berdebar-debar. Rasanya seperti ada laser yang menembus tubuh gue lewat tatapan matanya. Di tengah sorak-sorai tim dan sorakan penonton, ada rasa bersalah yang menghantui gue. Gue mengutuk diri sendiri karena lupa menjemput Bella, padahal itu adalah janji yang udah jelas-jelas gue buat. Meskipun tim kami memnang dan semua teman-teman gue bersorak gembira, nyatanya semua itu tidak ada artinya saat gue harus menghadapi kemarahan Bella, yang jelas-jelas kecewa dengan perbuatan gue sendiri.

"Bel, aku—"

"Kamu kesini bareng Sela, dan aku nungguin kamu di rumah, Gar," katanya, nada suaranya mencerminkan rasa sakit hati. Raut sedih di wajahnya begitu kental. "Menurut kamu, itu adil gak untuk aku yang statusnya pacar kamu?"

"Aku minta maaf," akhirnya yang gue bisa ucapkan hanya itu, semua penjelasan tertahan di lidah gue. Rasanya seperti ada batu besar yang menghalangi semua kata-kata yang ingin gue sampaikan.

"Jangan-jangan alasan kamu buat jeput Aira itu, sebenernya buat jemput Sela?" tanyanya, matanya menyipit, penuh kecurigaan.

"Astaga, Bel, apa sih yang kamu pikirin?" Gue merasa terjebak, terhimpit oleh asumsi yang tidak adil.

"Harusnya aku yang tanya kaya gitu," jawabnya, suaranya semakin meninggi. "Apa sih yang kamu pikirin, Gara?"

Saat itu, semua suara di sekeliling gue seolah menghilang. Hanya ada kami berdua, terjebak dalam ketegangan yang memuncak. Di dalam diri gue, ada campuran rasa bersalah, kebingungan, dan sedikit kemarahan karena merasa dituduh tanpa bukti. Namun, di sisi lain, gue tahu dia berhak merasa terluka.

Gue menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi semuanya terasa sia-sia. Melihat Bella seperti ini membuat hati gue remuk.

"Bohong kalo aku gak cemburu," gue bisa melihat dia mulai terisak, "dari awal kamu jadi tangan kanan Marisela, pikiran aku selalu dipenuhi sama prasangka buruk sama kamu." Lanjutnya.

Gue merasakan berat di dada. Gue sangat mengerti, bodohnya gue, karena selalu merasa Bella akan menerimanya dengan baik. Dia selalu bisa memahami sisi buruk dari kehadiran Marisela di hidup gue.

"Maaf," gue hanya bisa mengucap satu kata itu untuk saat in, sebuah pengakuan yang terasa sangat kecil untuk menutupi perasaan bersalah yang membanjiri hati gue.

"Hati aku selalu ngelak dengan bilang," dia menjeda ucapannya, mengusap air matanya yang sangat ingin gue hapus sedari tadi, tapi tangan gue hanya diam. "Gara gak akan kaya gitu, Gara gak akan aneh-aneh, Gara cowok yang baik, tapi sayangnya dia terlalu baik."

Aku brengsek, kamu yang baik, Bel. Hati gue bahkan menyanggahnya, merasa tak layak mendapatkan semua kebaikan yang dia miliki.

"Gar," dia memanggil gue pelan setelah mencoba menetralkan suaranya yang sempat serak tadi. Ada getar ketidakpastian di dalam suaranya, dan itu membuat gue semakin tidak nyaman. "Aku pengen pikiran aku tenang, aku gak mau berprasangka buruk lagi sama kamu."

Gue mencoba menyelami matanya, melihat kedalaman kesedihan dan kebingungan yang berputar di dalamnya. Kini, mata Bella mulai terlihat menebal karena air mata yang tak kunjung surut. Rasanya seperti ada pusaran badai yang tak terduga, menggulung semua harapan yang ada. "Kita putus aja ya?"

"Bel?"

Kata-kata itu menembus hati gue seperti jarum tajam. Perasaannya jelas, dan meskipun gue ingin membela diri, semua alasan yang ada terasa hampa. Gue berdiri di ambang jurang, melihat ke bawah dan merasakan ketidakpastian yang mengerikan. Jika kami putus, semua yang kami bangun, semua kenangan indah, akan lenyap begitu saja.

"Sampai tugas kamu jadi tangan Sela selesai, kamu bisa ngeliat hati kamu lebih jauh, seberapa besar Sela berpengaruh dalam hidup kamu," ucapnya.

"Bel, ini gak lebih dari sekadar tanggung jawab," ujar gue, berusaha meyakinkan diri dan dia sekaligus.

Bella mengangguk, "iya, tapi yang aku liat lebih dari sekadar itu, Gar." Kata-katanya seperti palu yang menghantam batok kepala gue, menyadarkan bahwa selama ini dia merasa tidak nyaman atas apa yang gue lakukan.

Gue menghela napas kecil, menepuk lutut gue dan mulai berdiri. "Aku antar kamu pulang," kata gue, "pikiran kamu kayanya butuh lebih dari istirahat."

Bella ikut berdiri, dia menggelengkan kepalanya hingga ikatan rambutnya ikut bergoyang. "Aku pulang sendiri, kamu anter aja Marisela pulang."

***

Senin, 30 September 2024


love, mirna.

The Wind Beneath My WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang