BAB 10-Di Bawah Langit Bandung

8 4 0
                                    

happy reading gais

BAB 10—Di Bawah Langit Bandung

Sagara

Hari ini gue mengantar Marisela ke kota Bandung, tepatnya menuju salah satu universitas yang menjadi salah satu venue utama pelaksanaan PON Jawa Barat XIX. Tepat satu minggu berlalu, berdasarkan kesepakatan dengan Marisela, ini adalah minggu terakhir gue membantu dia. Selama itu pula, gue berusaha bersikap baik, melakukan semua yang dia inginkan agar semuanya cepat selesai, setelah ini, gue akan menyelesaikan semua kesalahpahaman gue bersama Bella.

Udara pagi masih sejuk dan langit sedikit mendung namun terasa segar. Di sepanjang jalan, poster-poster besar PON dengan maskot dan logo terlihat di berbagai sudut kota, menyambut kami seakan Bandung sedang berpesta.

Setibanya di sana, gue melihat kampus itu ramai dipenuhi orang-orang—atlet dengan seragam berwarna-warni yang sibuk berlatih, para ofisial bergegas ke sana-sini, dan suporter yang antusias berkumpul di sekitar kolam renang. Dari kejauhan, terdengar suara peluit memecah udara, disusul sorakan meriah dari para penonton yang berdiri di tribun.

Gue duduk di salah satu kursi penonton yang kosong, di bawah tribun yang mulai terisi. Pandangan gue menyapu seluruh kolam renang yang mulai ramai denagn para atlet yang melakukan pemanasan. Marisela beranjak pergi menghampiri seseorang di ujung kolam, seorang cewek yang gue gak kenal. Dia terlihat berbincang singkat, mungkin itu rekan setimnya.

Gue mengalihkan pandangan, menarik napas panjang, mencoba menikmati suasana kompetisi ini. Riuh suara penonton sesekali terdengar, menggema di seluruh area kolam renang. Tiba-tiba suara dari pengeras suara mengumumkan sesuatu, menambah intensitas suasana. "Para atlet loncat indah, silahkan bersiap di platform." Terdengar lantang, membuat para penonton bersorak.

Marisela kini berlari kecil ke arah kursi penonton untuk kembali duduk di samping gue. Napasnya sedikit tersengal, tapi dia tersenyum tipis. Gue bisa lihat matanya kembali memandang ke arah kolam dengan tatapan penuh kenangan dan, mungkin, sedikit kepedihan yang tersimpan di sana. Gue hanya bisa diam, nggak mau ganggu pikirannya.

Masih teringat jelas di benak gue—kurang lebih dua bulan yang lalu, sebelum semuanya berubah. Marisela adalah salah satu atlet cabor air loncat indah andalan tim, yang sering digaungkan setiap berdampingan dengan siswa atau siswi berprestasi. Dia lumayan terkenal di sekolah kami karena sempat meraih medali emas pada kompetisi tahun lalu, dengan membawa nama sekolah dan perwakilan Ibu Kota Jakarta

Suara peluit terdengar, di susul dengan suara lantang dari arah pengeras suara. "Ronde pertama, untuk final papan tiga meter putri, loncat pertama dari DKI Jakarta Regita Maharani," Pandangan gue kini sepenuhnya fokus memperhatikan atlet yang sedang berdiri di platform yang berketinggian 3 meter itu, dia adalah cewek yang tadi Marisela ajak berbincang. Gue bisa melihat cewek itu menarik napas, berjalan menuju ujung platform dan membalikkan badannya membelakangi kolam, kedua tangannya terentang, siap untuk melakukan lompatan dan detik selanjutnya tubuhnya melesat dari platform, terjun ke udara dengan putaran yang begitu sempurna. Di tengah lompatan, dia berputar sekali, dua kali, lalu mengubah posisi tubuhnya menjadi lurus sempurna sebelum akhirnya meluncur masuk air.

"Lo..." gue melirik ke arah Marisela, "juga bisa ngelakuin itu?"

Marisela melirik ke arah gue, samar-samar gue mendengarkan nilai-nilai dari juri disebutkan lewat pengeras suara, "muka lo kok pucet banget? Lo sakit?" dia bukannya menjawab pertanyaan gue, malah balik bertanya.

Gue menggeleng pelan, "gue cuma ngeri liat manusia lompat terus muter-muter badannya kaya gitu, takut kalo kepalanya nanti kepentok atau salah pendaratan."

Marisela tertawa renyah, "ada tahapan-tahapan lain sebelum kita siap melakukan loncat kayak gitu, Gar. Semuanya terlatih dan diajari bertahap. Nggak langsung muter-muter di udara kayak yang lo liat tadi." Dia menambahkan dengan senyum kecil yang entah kenapa membuat gue merasa aneh. Dia tersenyum, ke arah gue? bahkan sambil menatap gue, maksud gue—sejak kapan dia kayak begini?

***

"Apa yang membuat lo masuk jadi tim loncat indah?" tanya gue, sambil menyuap makanan yang disajikan di depan gue. Kami beru aja selesai nonton pertandingan, dan perut gue udah mulai keroncongan. Gue mencoba untuk membuka percakapan untuk sedikit mengurangi rasa hening di antara kami.

"Tiba-tiba banget lo nanya kaya gitu," jawabnya dengan heran. Suaranya terdengar sedikit tertahan karena dia siuk mengunyah makanannya.

Gue melihat rambut panjang Marisela terus-terusan jatuh ke depan, menghalangi wajahnya, apalagi pas dia mau menyuap makanan. Dia berkali-kali mencoba membenarkan rambutnya, tapi percuma, jatuh lagi, jatuh lagi. Tanpa pikir panjang, gue menggeser badan sedikit lebih dekat dan dengan lembut memegang rambutnya, menyingkirkan dari wajahnya.

"Lo bawa iket rambut gak?" tanya gue, sedikit berharap biar gue gak harus terus memegangi rambutnya kayak gini.

Marisela menggeleng pelan, sambil fokus ke piringnya. "Nggak ada, lo sementara kayak gitu aja dulu," jawabnya sambil senyum kecil, enteng banget seolah dia memang sengaja nyuruh gue jadi 'iket rambut dadakan'.

Gue mendengus kesal, tau begini tadi gue biarin aja dia. "Nyusahin banget lo," keluh gue, walaupun nggak benar-benar marah. Gue nahan rambutnya dengan tangan yang satu, sementara tangan yang lain masih sibuk menyuap makanan gue sendiri.

Dia cuma nyengir, tampak puas dengan keputusannya untuk membuat gue sibuk. "Gak ada alasan khusus, gue cuma penasaran sama lompat dari ketinggian." Katanya, menjawab pertanyaan gue tadi.

Gue mengangkat alis, "apa yang bikin lo penasaran?" gue bertanya lagi, kali ini lebih tertarik sama jawabannya.

Marisela melirik gue, "lo jadi reporter dadakan apa gimana, sih?"

"Timbang jawab doang, ribet amat lo." Cibir gue, meski sebenarnya gue masih pengen tau lebih lanjut.

Di tengah obrolan kami ini, gue melihat seorang waiter lewat di depan meja kami. tanpa pikir panjang, gue manggil, "Mas," sambil ngangkat tangan sedikit, "boleh minta karet gelang?"

Waiter itu berhenti dan mengerutkan alis, jelas heran, tapi tetap profesional. "Karet gelang, Mas?" dia balik bertanya buat memastikan.

Marisela melirik gue dengan ekspresi setengah kesal, lalu menyikut pelan perut gue. "Gak usah, Mas," ucapnya buru-buru, sambil melirik ke waiter yang masih berdiri bingung. Gue bisa lihat dia merasa sedikit malu dengan permintaan gue barusan.

Tapi gue cuek. "Mau satu aja ya, Mas," gue balas, mengabaikan protes kecil Marisela. Niat gue baik, biar rambutnya gak jatuh terus pas lagi makan.

Waiter itu hanya mengangguk, dia tetap pergi ke belakang tanpa komentar lebih lanjut.

Marisela mendesah pelan, "serius banget lo, Gar?"

Gue nyengir sambil mengangkat bahu, "biar gak ngerepotin gue terus-terusan." Jawab gue santai.

Tak lama kemudian, waiter tadi balik lagi. di tangannya ada satu karet gelang berwarna cokelat. "Ini, Mas," katanya, menyerahkan karet gelang itu sambil tersenyum.

"Makasih, mas," gue ambil karet gelangnya sambil tersenyum.

Selepas Mas waiter tadi pergi, gue langsung bergerak untuk duduk di belakang Marisela, mengambil sejumput rambutnya untuk gue ikat jadi kuncir kuda. "Nah, sekarang lo udah aman." Kata gue sambil nyengir lebar, puas dengan hasil kerja gue.

"Thanks," gumamnya, gue menjawab dengan anggukan singkat.

"Abis ini mau langsung balik?" tanya gue, mencoba mencari tau apa dia masih punya rencana lain.

Marisela mengangkat bahunya dengan santai, "Bebas," jawabnya tanpa terlalu mikir, "tugas lo udah selesai, jadi sekarang terserah lo aja."

Gue berpikir sejenak, mencari opsi lain. "Mau muter di kota sebentar? Bandung sore-sore gini biasanya enak buat jalan-jalan," tawar gue.

Dia melirik keluar jendela, melihat langit yang mulai berubah warna menuju senja. "Boleh juga," katanya.

***

Selasa, 01 Oktober 2024 13:19

love, mirna.

The Wind Beneath My WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang