BAB 9-Sebuah Ajakan

11 4 0
                                    

BAB 9—Sebuah Ajakan

Marisela

"Hai," Geo menyapaku dengan senyum lebar, napasnya masih terdengar berat setelah menyelesaikan pertandingan. Dengan santai, dia menyandarkan dagunya di atas pagar pembatas yang memisahkan lapangan dari kursi penonton. Butiran keringat di dahinya berkilauan di bawah lampu yang mulai meredup, menambah kesan maskulinnya setelah bermain.

"Hai," balasku pelan, sedikit kikuk. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat, tidak terbiasa menerima perhatian langsung darinya. Rasanya seperti ada yang berbeda di udara saat dia menatapku dengan tatapan lelah namun penuh ketertarikan.

"Kesini sama siapa?" tanyanya, suaranya tenang namun menyelidik.

Aku tertawa kecil, berusaha menyembunyikan gugupku. "Kebetulan gue masih punya ojek gratis," jawabku dengan nada bercanda, berharap bisa membua suasana sedikit lebih ringan. Iya, si bodoh Gara membawaku kesini tanpa mengatakan apa-apa, dia hanya bilang akan mengantarku ke rumah setelah membawa keponakannya tadi, tapi dia malah berbelok dan membawaku ke lapangan ini. Tapi, sedikitnya aku berterima kasih, dengan begitu aku bisa melihat Geo bertanding di lapangan.

Geo tertawa renyah, suaranya mengalir lembut di antara suasana sekitar yang ramai tapi terasa lebih intim saat itu. "Ojek gratis ya," katanya, mengulang sambil tersenyum.

Dengan gerakan lincah, dia mulai meloncati pagar, tubuhnya yang tinggi dan atletis bergerak dengan begitu mudah. Kini dia tepat berada di hadapanku. "Nanti lain kali," ujarnya, menundukkan sedikit kepalanya agar bisa menatap mataku dari dekat, "gue bisa jadi ojek gratis lo." Ada nada jahil dalam suaranya, namun tatapannya serius, membuatku bingung apakah dia benar-benar bercanda atau menawarkan sesuatu yang lebih.

Aku tertawa kecil, mencoba meresponnya dengan santai, "Ok, noted." Jawabku, "by the way, selamat atas kemenangannya ya," tambahku dengan senyum kecil.

"Thanks," ucapnya, dia sudah duduk di sampingku. Matanya kini melirik ke arah tanganku yang sudah tidak terbungkus dengan gips lagi.

"Oh, ini udah sembuh kok," kataku cepat sebelum dia sempat bertanya, mengangkat tanganku sedikit untuk menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja. "Mungkin butuh waktu beberapa minggu lagi buat pulih,"

Dia mengangguk, tapi tetap menatap tanganku sejenak. "Good to hear," katanya, senyumnya kembali muncul lebih lebar. Lalu, tanpa ragu, dia menambahkan, "since your hand's all better now... how about you let me hold it while we grab dinner sometime?"

Aku tertawa mendengar ucapannya, "lo gak cuma jago main di lapangan, ternyata jago gombal receh juga ya?"

Namun, alih-alih tertawa atau tersipu, wajahnya tetap serius, sorot matanya tajam, tapi lembut, "gue gak gombal," katanya, "itu sebuah ajakan, Marisela."

***

Geo pergi setelah mengucapkan hal itu, bertepatan dengan itu aku mendapati Gara yang menghampiriku dengan wajah yang muram. Tidak ada aura senang karena kemenangan pertandingan yang sudah terjadi sore ini. Dia... terlihat marah. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, dimana aku mendapati Bella yang pergi meninggalkan area lapangan dengan wajah yang memerah.

Apa terjadi sesuatu? Pikiranku mulai bertanya-tanya.

"Ayo pulang," katanya, menarik pergelangan tangan kiriku, membuatku terkejut.

Aku mencoba melawan sedikit dengan menyuarakan protes, "lo anter Bella aja, gue bisa pulang sen—"

Namun, dia memotongku dengan cepat, suaranya terdengar berat dan lelah, "gue males debat, Mar." Raut wajahnya tak menunjukkan niat untuk berbicara lebih panjang. "Kita pulang sekarang."

The Wind Beneath My WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang