"Jangan pernah berkata pada publik, bahwa kamu adalah Raja, anak dari Septian Wijaya!"Perkataan papah yang di ucapkan membuatku merasakan sakit yang menghujam langsung pada jantungku. Nyeri dan perih terasa bersamaan, sedikit membuat sesak sampai air mata ingin mengalir. Perkataan itu begitu menyakitkan untuk di dengar dari mulut papah ku sendiri.
Aku menatap papah yang baru saja mengucapkan kata-kata se-menyakitkan itu. Tak terasa ada air mata yang jatuh dari kelopak mataku. Buru-buru ku hapus, tak mau terlihat lemah walau hati ini terus berdenyut karena rasa sakit. Rasanya terluka sekali saat papah menyuruhku tutup mulut soal kebenaran status ku.
"Apa Papah tidak menganggap aku ada?" tanyaku lirih dengan nada tercekat menahan tangis.
"Tidak usah mendrama Raja. Turuti kata-kata saya jika mau karirmu tetap jalan. Kalau perlu, jangan mendekati keluarga saya lagi."
"Aku juga keluarga Papah—"
Aku tidak tahan lagi untuk menahan rasa sakit ini, sampai air mata dengan seenaknya keluar berbondong-bodong. Rasanya sesak saat menahannya, terlebih kata-kata papah sangat menusuk sampai sakit itu tertoreh dalam di hati.
"—kenapa Papah tidak mau mengakui? Raja anak Papah, kan? Raja bungsu Papah dan Mamah yang kalian lahirkan dua puluh tahun lalu. Selama ini— selama ini Raja menunggu kalian menjemput. Tapi, kenapa tidak menjemput ku?"
Aku menatap penuh harap pada jawaban yang akan papah berikan. Mencari harapan terkahir dari alasan yang akan di berikan oleh mereka yang meninggalkan ku sendiri. Tanpa menjenguk atau menanyakan kabar sampai selama ini. Setidak penting itukah hadirku?
"Saya bilang pada kamu untuk bersikap seperti biasa Raja. Jangan membuat hubungan kita terbongkar, atau karirmu akan selesai bahkan saat kamu masih merintis."
Papah pergi begitu saja dari ruang kerja, meninggalkan ku yang masih mematung dengan air mata yang tidak berhenti keluar. Jawaban papah benar-benar seperti sebuah pukulan telak padaku yang masih mengharap kasihnya.
Memberiku jawaban yang menyakitkan atas ketidakhadiran mereka dalam hidupku selama ini. Yakni, tidak lagi menganggap ku pernah ada di antara mereka belasan tahun lalu. Hadir ku seperti masa lalu yang enggan di ingat. Di buang bagaikan sebuah kenangan menyakitkan.
Bukankah itu terasa menyakitkan?
Aku melangkah gontai keluar dari dalam ruang kerja papah. Di depan pintu, terdapat Wira yang seperti akan pergi menghindar. Sebelum itu, dirinya menatap ku dengan tajam seakan aku adalah seseorang yang dia benci. Apa dia mendengar percakapan sebelumnya?
"Wira—
"Tutup mulut Lo! Dan jangan bilang ke Bang Kaisar apapun kalo nyawa Lo masih mau selamat! Ngerti!?" ancam Wira tiba-tiba. Membuat ku sadar, bahwa anak itu telah mengetahui rahasia ku.
Selepas mengancam, Wira pergi begitu saja. Aku segera menghapus jejak air mata yang tersisa. Mulai berpura-pura baik-baik saja sebab syuting konten akan di mulai. Ingat perkataan papah agar identitas ku tidak boleh di ketahui. Aku harus menutup mulut dengan kenyataan yang ada walau itu terasa sakit.
Berada di sekitar keluarga kandung ku sendiri, namun terpaksa asing adalah sebuah perasaan yang menyakitkan. Melihat keluarga mu sendiri bahkan lebih dekat kepada mereka yang bukan siapa-siapa di banding aku yang jelas-jelas keluarganya.
"Tolong jangan buang-buang waktu gue yang berharga. Cepat selesaikan syuting ini!" ucapan dari bang Kaisar setelah aku baru saja menghadap padanya setelah menghilang.
Aku mengangguk kecil sambil mencuri pandang pada kakakku. Ternyata sudah banyak waktu yang terbuang antara kami berdua. Wajah yang dahulu sangat lembut dan teduh untuk di tatap, kini tampak tegas dan dingin tak tersentuh. Sebanyak apa perubahan dalam hidup bang Kaisar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ajari Aku Sabar
FanfictionSeperti apa rasanya hidup saat tidak di anggap keluarga mu sendiri? Raja Nusantara merasakannya. Dia yang tidak di perhatikan keluarganya. Di buang dan di abaikan bagai tidak pernah terlahir. Tangisnya tidak terdengar, sakitnya tidak terlihat. Semua...