<15> "Kenyataan yang terucap"

135 36 6
                                    

Ada jadwal yang harus di hadiri pagi ini. Kembali melakukan syuting tempo hari yang harus pending sebab sesuatu hal. Termasuk kesalahan ku yang tumbang pada hari itu.

Hari ini aku kembali bertemu dengan bang Kaisar. Melihatnya lagi membuatku terpikir kejadian kemarin. Perbincangan antara aku dan bang Sultan yang masih menyisakan rasa sakit sampai saat ini.

Kalau aku berbicara jujur pada bang Kaisar apa responnya akan sama seperti bang Sultan yang menolak ku. Memikirkan itu membuatku ketakutan. Kembali merasakan penolakan menjadikanku mengurungkan niat untuk berbicara jujur.

Terlebih mengingat ucapan papah untuk tutup mulut dan tidak memberitahu siapa pun tentang identitas ku yang sebenarnya. Termasuk pada bang Kaisar yang hingga kini belum menyadari aku adalah adiknya.

Kemana ingatan bang Kaisar pergi? Apa sebegitu tidak jelas kah wajah dan identitas ku untuk mengingatkannya pada adik bungsunya yang dulu?

"Kali ini tolong jangan buat ulah!" bang Kaisar tiba-tiba berucap demikian kala kami akan melakukan take action untuk sebuah adegan.

Ku tatap wajahnya yang berpaling, enggan memandangku. Ucapannya seakan di berikan pada angin lalu, yang tidak jelas siapa. Namun merasa bahwa perkataan yang di berikan bang Kaisar adalah untuk ku sebab kejadian sebelumnya, membuatku mengangguk paham.

"Akan saya usahakan,"

Proses syuting kembali berjalan lancar, tidak ada kendala seperti sebelumnya. Tubuhku memang belum terlalu sehat seperti sedia kala. Namun masih cukup kuat untuk berdiri lama dan melakukan adegan di depan kamera.

Aku melihat sosok Wira yang berdiri tak jauh dari bang Kaisar. Anak itu masih saja mengekori kakaku, seakan takut aku berbicara jujur. Sekali memandang saja aku tahu, Wira sangat obsesi dengan bang Kaisar dan keluarga ku.

Dia tidak menginginkan fakta aku adalah anak dari seorang Septian Wijaya terungkap. Jika seperti itu, mungkin publik akan membandingkan aku yang merupakan anak kandung dan Wira yang hanya anak tiri.

Pandangan kami tidak sengaja bertemu, ku pikir Wira akan melengos seperti biasa. Tidak menganggap ku ada atau total mengabaikan. Tetapi anak itu tiba-tiba berjalan mendekati ku yang saat ini tengah beristirahat.

Kini berdiri di hadapanku dengan wajah sombongnya, yang sungguh membuatku muak melihat hal itu. "Ada apa?" tanyaku malas.

Wira bersedekap menghadap ke arahku. Wajah angkuhnya masih sama seperti pertana kita bertemu. Pasti dia merasa memiliki segalanya, sebab keluarga ku kini ada di sisinya. Wajah anak itu sungguh amat menyebalkan jika di lihat lama-lama.

"Setelah projek ini, berhenti mengganggu Bang Kaisar! Seperti yang dia peringatkan sama Lo!"

Aku berdiri dari duduk, berhadapan dengannya yang memiliki tinggi yang hampir menyamai ku. Ku tatap dalam-dalam iris matanya yang masih terlihat angkuh.

"Itu di luar wewenang gue, semua jadwal yang gue miliki udah di atur sama manager. Lo ngga berhak memaksa, kalo memang takdir terus mempertemukan gue dan Bang Kaisar dalam satu projek,"

Aku dapat melihat perlahan wajah anak itu memerah dengan tangan yang terkepal. Gampang sekali terpancing emosi seperti adik bang Rudy. Remaja seusianya memang sedang dalam emosi yang tidak stabil.

"Gue, akan lakuin apapun, untuk menjauhkan Lo dari bang Kaisar!"

"Silahkan kalau Lo bisa, Wira. Tapi kalo Tuhan berkehendak bahwa gue yang berstatus adik kandungnya, untuk selalu berada di sisi bang Kaisar. Lo bisa apa?"

Wira benar-benar terlihat semakin terpancing emosinya. Aku tidak mengerti kenapa dia gampang sekali tersulut hanya dengan kata-kata. Namun, tindakan yang tidak ku sangka, benar-benar membuat ku terkejut akan sosok adik tiri bang Kaisar ini.

Jangan Ajari Aku SabarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang