<10> "Penolakan yang kedua"

167 33 6
                                    

Hal mengejutkan terjadi, aku terkejut dengan pesan yang bang Sultan kirim beberapa saat lalu. Dia meminta ku untuk bertemu dengan mamah. Sebuah kabar yang menggembirakan bagiku, sebab dapat bertemu dengan mamah kembali.

Ini adalah hal yang ku nantikan setelah sekian lama. Bertatap muka dengan sosok yang ku rindukan. Bagaimana rupa mamah saat ini? Pasti masih cantik seperti dahulu. Ingatan anak berusia lima tahun ku menyelam pada masa lalu.

Mengingat kembali bagaimana rupa dan sifat mamah dahulu padaku. Aku selalu di manja, di sayang oleh papah dan mamah sedari kecil. Setidaknya itu lah yang ku rasa. Sampai suatu ketika, aku terbangun sendiri, tidak ada lagi mamah dan papah di sisiku.

Dan nenek memaksaku untuk pergi bersama ke kampung halamannya. Dahulu yang ku ingat, sempat menolak ajakan nenek dan tetap bersikeras menunggu kepulangan papah, mamah dan kedua abangku yang ikut mereka.

Namun nenek selalu meyakinkan ku, untuk pergi bersamanya. Dengan sedikit kebohongan, bahwa nanti papah dan mamah akan menjenguk ku di kampung. Sampai kini, aku bahkan selalu mengharapkan mereka untuk melihat kondisiku di kampung bersama nenek dan kakek.

Tapi hingga beranjak dewasa kini, aku telah melalui rasa sakit yang telahku sadari bersarang di jantung yang lemah ini. Aku sadar, bahwa mereka tidak lagi mau mengunjungi ku untuk menjemput dan tinggal bersama seperti sedia kala.

Aku harus berjuang sendiri di ruangan operasi yang dingin ketika pemasangan ring jantung yang harus bocah delapan tahun lalui. Tidak ada pelukan dari mamah, papah dan semangat dari kedua abangku. Semua rasanya hampa, hingga aku ingin menyerah saja.

Tapi, nenek selalu menatapku lembut dan mengusahakan semua hal untuk kesembuhan ku. Hingga, pada umur empat belas tahun, kakek berhasil mendapatkan donor jantung untuk ku. Dan kini, aku dapat bertahan dengan jantung orang lain yang tertanam apik di dadaku.

Semua rasa sakit itu ku lalui sendiri, bahkan tanpa dukungan mereka yang di sebut keluarga di sampingku. Namun, setitik pun aku tidak pernah berniat membenci papah atau mamah. Karena mereka masih menjadi bagian dari mimpiku juga.

Mimpi untuk kembali bersama.

"Lo hati-hati aja ya nanti kalo udah berhadapan langsung sama nyokap gue. Jaga jarak aman,"

Aku terkekeh saat bang Sultan memberikan nasehat di dalam mobil yang saat ini membawa kita ke kediamannya. Ada Kak Khair yang menyetir di kursi kemudi dan sampingannya bang Sultan yang tidak berhenti memberikan nasehat.

"Memang mamahnya Abang bakal ngamuk apa?" tebakku.

"Hei, siapa tau! Soalnya gue udah sering kena lemparan apa aja dari nyokap kalo lagi ngamuk. Jadi, baik-baik aja dah Lo!"

Aku mengangguk saja sebagai jawaban. Rasanya seperti mimpi yang akan aku raih untuk kedua kalinya. Bertemu dengan mamah adalah salah satu tujuan ku pergi ke kota juga.

"Gue kaya lagi nasehatin adek sendiri yang mau di marahin emaknya,"

Perkataan dari bang Sultan membuatku terdiam. Ada haru yang terasa saat mendengarnya. Itu adalah sebuah kebenaran. Bang Sultan memang tengah menasehati adik Abang sendiri.

Diam-diam aku tersenyum lebar, menatap penuh harap pada abangku. Aku berdoa agar pertemuan kali ini lancar, dan dengan segera kukatakan yang sebenarnya kalau aku adalah Raja Nusantara. Keluarga mereka.

Tidak sengaja, aku melirik pada Kak Khair yang tampak tidak senang menatapku. Gelagatnya beberapa kali pertemuan kemarin memang tampak mulai tidak menyukaiku. Namun harus ku pendam dalam-dalam prasangka ini, agar tidak melukai bang Sultan nanti.

Mobil kami masuk ke dalam kawasan apartemen elite. Tidak seperti apartemen yang ku tinggali, berbeda jauh dengan yang saat ini ku datangi. Bang Sultan dan mamah tinggal di sebuah gedung apartemen yang terlihat mewah.

Jangan Ajari Aku SabarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang