<7> "Kembali bertemu Papah"

204 29 6
                                    

Keributan beberapa saat lalu membuat syuting yang akan di lakukan mundur dari jam yang di tentukan. Aku merasa menyesal dan meminta maaf pada kru yang bertugas untuk membantu konten yang akan di buat.

Karena itu, aku harus berhadapan dengan bang Kaisar seorang di dalam rumah. Mencoba memberi pembelaan atas tuduhan dari Wira sebelumnya. Ditinggal berdua dengan bang Kaisar, menjadi suatu keadaan yang ingin ku syukuri. Tidak dengan suasana menegangkan yang selalu terasa saat kami bersama.

"Jelasin kronologinya,"

Aku menatap penuh harap pada bang Kaisar setelah menjelaskan dengan sejujurnya tentang kejadian yang membuat geger. Respon dari bang Kaisar tidak dapat ku tebak, saat hanya raut wajah tanpa ekspresi yang kudapat.

Dengan tak menanggapi lagi, bang Kaisar pergi dan menyuruhku untuk menunggu di ruang tamu ini. Tanpa menjelaskan apapun lagi hingga membuat ku menelan kembali pertanyaan yang ingin kutanyakan pada bang Kaisar.

Ditinggal sendiri pada ruang tamu yang begitu besar membuatku sibuk menelisik setiap sudutnya. Memperhatikan foto besar yang terpajang apik pada salah satu dinding di sana. Ada foto papah, bang Kaisar dan Wira yang berpose formal menatap kamera.

Rasa iri dalam diriku seketika membuncah melihat hal tersebut. Bahkan beberapa jejer foto lainnya tak kutemukan jejak foto diriku satu pun. Aku melihat potret bang Kaisar dan bang Sultan pada salah satunya. Namun milikku, bahkan tidak ada jejak sama sekali.

Apa papah dan bang Kaisar benar-benar sudah melupakanku yang lahir di tengah-tengah mereka dulu?

Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arahku. Mengedarkan pandangan guna mencari asal suara, yang kutemui justru membuat detak jantungku berdebar seketika. Ternyata asal suara itu dari langkah papah, yang melewati ku begitu saja.

Bahkan menatap pun tidak, seakan aku hanya udara kosong. Sosok yang begitu tegas dan berkarisma milik papah memang tidak pernah luntur dari dahulu. Aku merindukan papah, yang dulu ku ingat pernah memelukku erat sebelum perpisahan itu terjadi.

Memandanginya dalam diam, tanpa sadar ternyata papah menghentikan langkahnya dan menatapku. Perasaanku menjadi salah tingkah, di tambah debar jantung yang tidak dapat terkontrol. Aku merasa keringat dingin seketika menetes dari pelipis.

"Saya perlu bicara sama kamu,"

Kalimat dengan nada rendah yang lama tidak kudengar mengudara dari papah. Aku terbengong sejenak, karena tidak menyangka papah mau mengajakku berbicara. Bukankah ini sebuah kesempatan yang baik. Jika papah melupakan ku, aku akan mengingatkannya. Namun jika tujuan papah mengajakku berbicara karena dia tahu aku anaknya, aku akan melepas rindu untuk itu.

"Baik, Pa— Om Septian."

"Ikut ke ruangan saya!"

Aku mengikuti langkah jenjangnya menuju ruangan yang terpisah dari ruang tamu. Dengan degup jantung yang masih bertalu-talu, mencoba mengatur napas agar dapat mengobrol dengan papah lancar tanpa hambatan. Kami memasuki sebuah ruangan kerja yang tampak tertata rapih.

Sesaat setelah masuk, papah langsung menatapku dengan sorot intimidasi. Tak pernah ku dapat sorot itu sebelumnya dari papah. Dulu papah selalu menatap dengan lembut dan kasih sayang. Kenapa saat ini, aku seperti tidak mengenali siapa orang yang ada di hadapan ku.

"Kejadian beberapa saat lalu tolong untuk tidak usah di perbesar. Saya tau jika Wira yang bersalah, dan kamu yang di tuduh. Namun, demi nama baik tolong tidak usah memperbesar lagi masalahnya. Berikan pernyataan bahwa kamu bersalah dan minta maaf. Supaya syuting yang kalian lalui kembali berjalan, bagaimana?"

Kalimat panjang dari papah terdengar amat menyakitkan untuk di terima. Awalnya aku senang papah mau memandang ku dan berbicara denganku. Ku pikir papah mengenal siapa aku, hingga mau berbicara berdua saja. Ternyata papah hanya meminta bahwa kejadian yang sebelumnya untuk di lupakan. Dengan aku yang menjadi korban atas tuduhan Wira.

Jangan Ajari Aku SabarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang