08: DAN LAGI

379 45 4
                                    

⚠️Mohon untuk dibaca dulu!!!⚠️

Temen-temen, sebelumnya mohon maaf banget apabila ada banyak typo disetiap paragrafnya. Aku akan benerin kalau sempet baca ulang ceritanya. Mohon maaf apabila mengganggu dalam proses membaca, ya.

Dan karena cerita ini berlatarkan Kota Bogor, jika aku tuliskan dialog dalam bahasa Sunda itu termasuk bukan Sunda halus ya, guys🙏🏻 jujur, aku orang Sunda tapi belum begitu paham Sunda halus itu kayak gimana, hehe. Jadi, aku tuliskan agak kasar nggak apa-apa, ya? Jangan dicontoh apabila kurang baik.

Atau mungkin temen-temen di sini ada orang Sunda asli, boleh diperbaiki penulisanku, ya!

Okay, happy reading oll!! Jangan lupa sambil dengerin playlist yang sudah aku kasih di chapter sebelumnya!

Okay, happy reading oll!! Jangan lupa sambil dengerin playlist yang sudah aku kasih di chapter sebelumnya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

SINAR matahari perlahan demi perlahan berhasil masuk lewat celah-celah jendela yang sudah dibuka lebar oleh Bunda. Hangatnya sinar matahari itu, berhasil menyorot sempurna pada wajah Bunda yang sedang sibuk membereskan setiap sudut rumahnya sendirian.

Debu-debu terlihat berterbangan di udara, terlihat sangat jelas karena Bunda yang menyapu lantai, menepuk-nepuk sofa dan membersihkan meja menggunakan kemoceng yang berada digenggamannya saat ini.

Hari ini adalah hari dimana Bunda membersihkan semuanya sendiri. Sementara yang lain, sibuk dengan sekolah, kuliah, dan pekerjaannya. Walaupun ada Ehan yang kuliah siang, tetap saja Ehan hanya bisa membantu setengahnya. Selebihnya, Bunda kerjakan sendiri.

Bunda merupakan ibu rumah tangga biasa, yang tinggal di rumah saja setiap harinya. Keluar rumah pun juga hanya seperlunya saja. Ia tidak memiliki pekerjaan atau usaha seperti beberapa teman-temannya yang lain.

Sesekali Bunda mengelap keringat dipelipisnya seraya menghela napas berat. Kemoceng yang ada ditangannya belum ia lepas sedari tadi.

Bunda menarik celana leging-nya ke atas hingga seatas dengkul. Sesekali Bunda membenarkan ikat rambutnya yang lama-lama mengendor karena pergerakkannya selama membersihkan rumah.

Kakinya berjalan menuju ruang tengah, dimana terletak sebua tv, beberapa sofa dan meja, serta ada sebuah album foto yang terletak di bawah meja, bingkai foto yang terletak di meja sebagai hiasan. Bunda mulai membersihkan debu-debu yang ada disana. Tak lupa tanaman hias yang ada diujung meja.

Ketika sedang asik dengan lihainya tangannya membersihkan meja itu, pada akhirnya matanya menatap sebuah bingkai foto yang kini ada dihadapannya.

Senyum tipis kini terukir dibibir Bunda. Tangannya meraih bingkai itu, bingkai foto yang berisi ketujuh putra kesayangannya. Ah, ralat! Keenam putra kesayangannya.

Senyum lebar yang tergambar difoto itu membuat senyum Bunda melebar, kemudian disusul ketawa kecil setelah melihat senyum anak bungsunya, Seano dan Jeano.

RIFKI: 17 Tahun Bersama AbangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang