Follow ig ku lah oll @/jensyfa._ 😗
Thank youHappy reading yeoui!!
☽☾
"Kebencian yang ada di diri mereka membuat mereka susah membagi kasih sayang itu, walau hanya seujung jari. Memang dasarnya pembenci akan tetap membenci."
*****
KEADAAN antara Ayah, Kafka, dan Ehan kini terlihat canggung. Beberapa menit lalu, Kafka memaksa Ehan untuk menghampiri Ayah bersamanya untuk meminta maaf.
Awalnya Ehan menolak, tetapi pada akhirnya tarikan dari Kafka yang menarik keras lengan Ehan membuat Ehan terpaksa setuju dengan raut wajah masam.
Kini keduanya duduk di samping Ayah yang hanya fokus pada laptopnya. Mereka masuk ke dalam ruangan kerja Ayah, lalu menjelaskan sedikit tentang amarah mereka padanya kemarin dan meminta maaf, namun Ayah seakan tak peduli dan mengacuhkan mereka.
Beberapa menit mereka terdiam menunggu balasan dari Ayah. Namun nyatanya, pria tua yang memakai kacamata kotak itu tak kunjung membalas. Bahkan Ehan sampai menarik-narik lengan baju Kafka untuk meminta pergi dari sana.
Namun, tahanan dari Kafka membuat Ehan tidak bisa pergi begitu saja. Aa nya ini sepertinya akan menunggu jawaban dari Ayah.
"Lo dari tadi nggak ngomong apa-apa. Cepet bilang, jangan gue aja." bisik Kafka mendempetkan badannya pada Ehan.
"Ish kalau gue yang ngomong Ayah marah lagi. Dia selalu sinis nat– tuh, kan! Nggak mau ah!" rengek Ehan, ucapannya tergantung karena di tengah ia berbicara Ayah meliriknya dengan tajam. Ehan sampai tak mau beradu pandang dengan Ayah.
Yang kemarin malam berani bicara lantang di depan Ayah, kini nyalinya menciut hanya dengan sekali tatapan.
Ehan menarik-narik lengan baju Kafka, kemudian ia berbisik. "Lo yang ngomong lagi buru, A. Wakilin gue. Gue mau balik aja, serem anjir!" ocehnya tepat di telinga Kafka.
Kafka mencibir. "Beurangan sia! Dauh kieu weh teu wani ngomong. Kamari asa jadi orang hebat maneh ngomong kitu ka Ayah!" sungut Kafka.
("Penakut lo! Udah gini aja nggak berani ngomong. Kemarin kayak jadi orang hebat lo ngomong gitu ke Ayah")
KAMU SEDANG MEMBACA
RIFKI: 17 Tahun Bersama Abang
Fiksi RemajaAldrich Rifki Adnandi, lelaki yang hidup dengan beribu kesengsaraan, didampingi keenam kakak laki-laki yang enggan menganggap ada dirinya. Ia selalu bertanya, di manakah letak kesalahannya karena lahir dan hidup di dunia yang penuh dengan pegkhianat...