AYAH menaruh sisir yang sebelumnya ia gunakan untuk merapikan rambutnya. Ayah melihat dirinya di depan cermin, tetapi mata Ayah tak menatap dirinya sendiri di cermin itu, melainkan ia melihat Bunda yang sedang merapikan tempat tidur lewat pantulan cermin itu.
Hari sudah senin kembali, mereka mulai beraktivitas seperti biasa. Seperti Ayah yang sudah siap untuk bekerja hari ini. Dengan keadaan kamar yang masih gelap, Ayah berjalan menuju saklar lampu yang terletak di dinding samping pintu.
Ctak!
Ayah menekan saklar lampu itu dan membuat lampu itu menyala kembali menerangi kamar. Bunda yang sedang melipat selimut yang besar itu tertoreh sekejap menatap Ayah yang melempar senyum tipis padanya.
Kemudian, Ayah berjalan menghampiri Bunda di ujung kamar sana. Ia meraih ujung selimut itu dari tangan Bunda, lalu mereka lipat berdua.
"Kamu tuh, kalau lagi beresin ini nyalain dulu lampunya" kata Ayah.
Bunda mencibir kecil. "Ada kamu yang peka, kenapa harus aku?" tanya Bunda seraya terkekeh kecil. Ayah ikut tertawa mendengar respon Bunda.
Setelah keduanya selesai membereskan kamar, mereka berdiri berhadapan di sana. Maniknya saling bertemu satu sama lain. Mata Ayah yang ketika tersenyum akan menunjukkan keriputnya itu, menatap Bunda sangat dalam. Wajah cantik Bunda membuatnya tak bisa lepas memandang ke arah lain.
Alis Bunda terangkat heran melihat tatapan Ayah. Ia mengusap kasar wajah Ayah agar mengalihkan pandangan darinya.
"Kamu nih kenapa sih?" tanya Bunda.
Ayah terkekeh. Tangannya yang besar memegang kedua pipi Bunda, lalu ia mengecup singkat kening Bunda. "Aku berangkat kerja dulu. Kamu jagain anak-anak, ya." kata Ayah.
"Kan dari dulu juga aku jagain, Yah" balas Bunda menggeleng pelan.
Lagi-lagi Ayah terkekeh. "Ifki gimana, Bun? Kamu cek keadaannya? Semalam aku nggak sempet tengok dia karena sibuk urusin dokumen kantor." tanya Ayah.
Tadi malam Ayah masih sibuk. Hendak menjenguk Ifki pun tidak sempat karena setelah menyelesaikan kerjaannya matanya terlalu berat dan langsung pergi ke kamar untuk tidur.
Bunda tersenyum simpul. "Udah baikan kok dia," jawab Bunda. "Tapi, Yah–"
Mendengar Bunda menggantungkan kalimatnya itu membuat dahi Ayah mengerut heran. Kepalanya miring menunggu lanjutan dari Bunda yang seperti bingung hendak memulai.
"Ifki bilang ke aku katanya dia mau ketemu Mamanya" ucap Bunda setelah lama terdiam.
Ayah terkejut dengan pernyataan Bunda. Tangannya yang tadinya memegang lengan Bunda, kini terlepas. Ia menatap Bunda yang mengangguk-angguk meyakinkan dirinya.
"Kamu udah jelasin tentang Dena ke dia? Soal Dena yang akan ambil Ifki setelah ia umur tujuh belas tahun udah kamu ceritain, Bun?" tanya Ayah.
"Belum, Yah," jawab Bunda menggeleng kuat. "Aku belum ceritain apa-apa soal Dena. Tapi tiba-tiba dia minta pengen ketemu Mamanya. Aku nggak tau kenapa dia bisa mikir sampai ke situ."
KAMU SEDANG MEMBACA
RIFKI: 17 Tahun Bersama Abang
Novela JuvenilAldrich Rifki Adnandi, lelaki yang hidup dengan beribu kesengsaraan, didampingi keenam kakak laki-laki yang enggan menganggap ada dirinya. Ia selalu bertanya, di manakah letak kesalahannya karena lahir dan hidup di dunia yang penuh dengan pegkhianat...