SEORANG wanita dengan mengenakan rok di bawah lutut dengan kaos pendek yang terpasang pas sekali dengan tubuhnya, rambutnya yang ia jepit menggunakan jedai tak mengganggu dirinya yang tengah menyapu halaman rumah besar yang hanya diiai olehnya dan juga majikannya.
Ia merupakan seorang ART di rumah ini. Setiap harinya ia habiskan waktunta untuk mengerjakan pekerjaan rumah di rumah besar ini. Majikannya pergi bekerja dari pagi hingga malam, tak ada waktu untuk tinggal di rumah lebih lama. Sedangkan putri dari majikannya pergi kuliah di tempat lain dan merantau.
Anak tunggal dari majikannya itu ia suruh pergi merantau ke kota lain. Dan atas persetujuan orang tuanya juga, ia pergi merantau dan memulai kuliah di kota Bogor.
Ya, Gisela. Dan ART ini adalah Dena.
Bukan tanpa alasan Dena meminta Gisela untuk pergi kuliah di Bogor. Saat itu, ia sampai memohon hingga berlinang airmata agar Gisela mau kuliah di sana. Dena meminta anak dari majikannya kuliah seraya mencari keberadaan anaknya, Ifki.
Dena berpikir jika permohonannya ini sangat tidak pantas, apalagi pada anak majikannya. Namun, karena hubungannya dengan keluarga ini sudah sangat dekat, orang tua Gisela mengizinkan asalan Gisela yang bisa menjaga diri.
Dena berterima kasih akan itu. Bagi majikannya, itu bukan masalah besar, karena mereka tahu apa yang Dena rasakan karena jauh dari anak satu-satunya. Bagi mereka, anak adalah suatu kekuatan juga dari orang tua. Apalagi setelah mereka tahu jika Dena bekerja untuk menghidupi anaknya yang sekarang entah ada di mana.
Beberapa hari setelah Dena menitipkan Ifki pada Bunda dan Ayah, Dena pergi meninggalkan kota Bogor dengan berat hati. Ia juga menahan semua rasa malu dan penyesalan. Karena kesalahannya di masa lalu itu, ia dan orang tuanya putus hubungan karena mereka tak sanggup menahan malu atas apa yang Dena buat. Sekarang, entah bagaimana kabar orang tuanya. Dena hanya ingin tahu kabar anaknya.
Setiap hari, Dena bertanya pada Gisela melalui WhatsApp. Setiap kali bertanya, hatinya berharap besar bahwa Gisela telah menemukan keberadaan anaknya. Namun, nihil. Gisela belum memberinya kabar baik.
Rasa rindu Dena pada sang putra sangat lah besar. Ia ingin memeluknya, ingin mencium keningnya, Dena ingin memberikan semua yang ia punya sekarang pada sang putra. Karena ia memeluk putranya pun hanya sebentar waktu itu.
Tubuh kecil anaknya yang ia peluk ketika hujan di depan rumah Eril, dengan derai air mata yang tak kunjung berhenti membasahi pipinya. Itu terakhir kali Dena memeluknya.
Tiap malam, ia selalu menangis. Gumaman kecil terdengar lirih dari bibirnya seraya memeluk foto bayi Ifki. Tak heran jika pagi-pagi matanya selalu sembab.
"Aldrich... Mama kangen, Nak" lirihan itu yang selalu ia keluarkan. Memanggil-manggil nama Ifki dengan hati yang sakit.
"Den,"
Panggilan itu membuat Dena menoleh cepat. Kegiatan menyapunya terhenti sejenak ketika melihat ibu majikannya datang menghampirinya dengan pakaian rapi.
"Iya, Bu." jawab Dena seraya mengukir senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIFKI: 17 Tahun Bersama Abang
Teen FictionAldrich Rifki Adnandi, lelaki yang hidup dengan beribu kesengsaraan, didampingi keenam kakak laki-laki yang enggan menganggap ada dirinya. Ia selalu bertanya, di manakah letak kesalahannya karena lahir dan hidup di dunia yang penuh dengan pegkhianat...