23 : Men In Love

2.8K 144 16
                                    

Mobil hitam metalik itu melaju menjauhi mansion dengan mulus, suaranya memecah keheningan malam yang sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil hitam metalik itu melaju menjauhi mansion dengan mulus, suaranya memecah keheningan malam yang sepi. Lampu belakangnya memudar di balik pepohonan, meninggalkan bayangan panjang di jalan setapak menuju gerbang besar. Waktu nyaris menunjukkan tengah malam, mungkin sekitar pukul sepuluh, saat udara malam semakin menggigit, membawa embusan angin dingin yang menusuk hingga ke tulang.

Namun, di taman belakang yang luas, Eleanor tetap tak bergeming. Ia berdiri di antara bunga-bunga yang mulai layu, memandangi bulan yang menggantung di langit gelap. Gaun tidurnya yang tipis melambai pelan tertiup angin, namun dinginnya udara tak ia hiraukan. Tubuhnya mulai menggigil, namun Eleanor tak berniat bergerak ke dalam rumah. Ia seperti terperangkap dalam pikirannya sendiri, tenggelam dalam suasana sunyi yang terasa begitu akrab dan mencekik.

Katakanlah bahwa ini terlalu menyakitkan untuk diabaikan. Setiap kali Eleanor mengingatnya, hatinya terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Rasa sesak itu datang tanpa peringatan, mencengkeram dadanya dengan kuat, seolah-olah tidak ingin melepaskan. Wanita itu tahu perasaan itu tidak seharusnya menguasainya, namun ia tak bisa menampik fakta bahwa ia diliputi cemburu buta.

Pemandangan Albert yang tersenyum pada wanita itu berulang kali terputar dalam benaknya, menciptakan luka yang semakin dalam setiap kali teringat. Ada kehangatan di dalam senyum itu, kehangatan yang tak pernah ia rasakan. Sementara dirinya, tak sekalipun ia pernah menerima senyuman yang tulus dan hangat seperti itu dari Albert. Setiap kata yang terlontar dari mulut suaminya selalu terdengar dingin dan datar, seolah-olah ia adalah orang asing yang kebetulan berada di sisinya.

Eleanor memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam semilir angin malam yang membelai lembut wajahnya. Anakan rambutnya beterbangan mengikuti arah angin, menambah kesan rapuh yang menyelimuti sosoknya. Ada kedamaian singkat dalam sepi itu, meskipun dinginnya malam mulai meresap hingga ke kulit.

Namun, ketenangan itu perlahan buyar ketika telinganya menangkap suara langkah kaki yang tegap, mendekat ke arahnya dari kejauhan. Setiap langkah terdengar jelas di antara keheningan taman, semakin dekat, hingga ia hampir bisa merasakan getarannya di tanah di bawah kakinya.

Eleanor tetap memejamkan mata, namun jantungnya berdetak lebih cepat, merasakan kehadiran yang tak asing baginya. Dia tahu siapa yang datang mendekat, bahkan sebelum lelaki itu berhenti di sampingnya. Kehadirannya selalu dapat dirasakan—berat, tegas, dan penuh dengan sesuatu yang sulit diuraikan oleh kata-kata.

“Kau yang melakukannya?”

Itu bukan pertanyaan, tapi lebih gertakan dengan sindiran kejam yang membuat Eleanor tahu jika Albert sedang marah. Tidak, yang Eleanor tahu lelaki itu akan selalu marah dan tidak suka dengan keberadaannya. Itu mutlak dan tidak ada siapapun yang bisa mengelak. “Eleanor.”

Eleanor mendongakkan kepalanya, menatap siluet Albert yang menjulang di sampingnya. Cahaya bulan yang redup memantulkan bayangan samar pada wajahnya, membuat sosok Albert tampak dingin dan tak terjangkau. Dengan usaha yang keras, Eleanor mencoba menyusun senyum di bibirnya, berusaha menampilkan sebersit kehangatan yang masih tersisa di hatinya. Senyum itu terasa sedikit getir, namun ia berharap setidaknya bisa mencairkan jarak di antara mereka, meskipun hanya sekejap.

Men In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang