25 : Men In Love

3.2K 203 8
                                    

Tolong tinggalkan jejak(⁠◕⁠ᴗ⁠◕⁠✿)

Tolong tinggalkan jejak(⁠◕⁠ᴗ⁠◕⁠✿)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Albert, Perutku sakit.”

Albert menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, sebuah kebiasaan yang sering muncul saat dia merasa bingung atau tak sabar. Di hadapannya, Eleanor terus merengek, suaranya memenuhi ruangan tanpa henti. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Eleanor membuat kepalanya semakin berat, seakan suara itu menggema di dalam kepalanya, menciptakan rasa pusing yang tak tertahankan.

Lelaki itu menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak kehilangan kesabaran. Dia melirik Eleanor yang duduk di hadapannya dengan raut wajah yang penuh keluhan, seperti anak kecil yang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Rengekan itu, yang awalnya hanya terdengar mengganggu, kini berubah menjadi deretan kalimat yang berputar-putar di kepalanya, membuatnya ingin segera menghentikan percakapan yang seolah tak ada habisnya ini.

Meski begitu, Albert tahu bahwa dia harus mendengarkan, meskipun kepalanya mulai berdenyut karena kebisingan yang diciptakan Eleanor. Entah apa yang lebih menyakitkan baginya, mendengar rengekan itu atau rasa bersalah yang menyeruak karena perasaan enggan yang muncul dalam dirinya.

Sejak kepulangan dari pertemuan dengan klien tadi Eleanor benar-benar membuatnya pusing. Dia mengeluhkan banyak hal, mulai dari cuaca yang cukup panas, AC yang tidak menyala, kakinya yang keram, kemudian perutnya yang tiba-tiba sakit. Beruntungnya dia saat bertemu dengan kliennya, Eleanor bersikap seperti wanita terhormat. Tidak seperti sekarang ini.

Dan sekarang.

Dengan tak tahu malu, Eleanor meletakkan kakinya di atas paha Albert, gerakan yang begitu tiba-tiba hingga membuat alis Albert sedikit terangkat. Namun, dia tidak langsung bereaksi, hanya mengalihkan pandangannya sesaat ke arah Eleanor sebelum kembali fokus pada tab yang ada di tangannya. Matanya terus menelusuri layar, memeriksa pergerakan pasar saham dengan serius, seolah-olah tidak terganggu oleh sikap Eleanor yang menyandarkan kakinya begitu saja.

Bagi Albert, mungkin ini hanyalah kebiasaan Eleanor yang tak lagi mengejutkannya—sikap spontan yang sering muncul tanpa mempertimbangkan situasi. Namun, kehadiran kaki Eleanor di pangkuannya menambah sedikit beban pada tubuhnya yang sudah lelah. Sementara jarinya terus menggeser layar, pikirannya tetap fokus pada angka-angka yang bergerak cepat di pasar saham, mencari peluang di antara fluktuasi grafik yang rumit.

“Kau bahkan sibuk hingga akhir pekan Albert, peluk aku dan luangkan waktumu,” Eleanor mengguncang lengan Albert. Sebenarnya dia merasa jika dirinya seperti seorang jalang kelas kakap yang butuh belaian. Seperti perempuan binal. Tapi, jika dirinya diam saja, sedangkan Julius selalu memantau pergerakannya lewat pelayan, sudah dipastikan bahwa perceraian itu akan dipersulit nanti.

Albert menghela napas panjang, sebuah desahan berat yang menunjukkan kelelahan yang sudah mencapai puncaknya. Tanpa banyak kata, dia tiba-tiba menghentakkan tangannya, menurunkan kaki Eleanor dari pangkuannya dengan gerakan yang tegas. Kakinya terhempas ke lantai, membuat Eleanor tersentak, matanya membelalak penuh keterkejutan.

Men In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang