[07.] Masih Menjadi Harapan

10 3 0
                                    


“Lo tau dimana rumah Naila?” tanya Domino gamblang.

Namun Arvi menggelengkan kepala “Enggak, dia baru pindah bulan lalu. Gue masih belum dikasih tau pasti dimana rumahnya,”

“Pindah?” beo Domino.

“Iya, Dia udah nggak tinggal sama orang tuanya. Dia tinggal sendiri. Kalo nggak salah di daerah Kemayoran deh,” tutur Arvi menjelaskan. Bagaimana bisa seorang Naila menolak cowok seperti Domino. Dia baik, itu yang Arvi lihat “Ehh sorry Dom, gue duluan yaa. 15 menit lagi Volly udah mau mulai, gue harus ganti baju.” Arvi langsung berlari cepat ke kamar mandi setelah melihat jam dipergelangan tangannya menunjukkan pukul 14.30

🍒🍒🍒🍒🍒

Tangan Olina meraba laci meja yang berada di dalam kamar milik sang ayah, berusaha mencari selembar kertas foto atau apapun yang bisa menjadi petunjuk untuk Olina mengetahui tentang orang tuanya dulu. Olina sebelumnya pernah menyusuri salah satu ruangan dimana tempat ayahnya selalu bekerja. Namun nihil, dia tidak menemukan apapun disana. Laci dimeja atau lemari nakas di ruangan sebelumnya tidak ada apapun yang berkaitan dengan sang ibu.

“Sumpah nggak ada petunjuk apapun? Lalu gue lahir dari mana kalo jejak ibu bersih seperti ini?”

Olina sudah dewasa ia berhak tau, siapa ibunya. Apakah ayahnya Tuan Alexander benar-benar membersihkan semua hal yang berhubungan dengan ibu kandungnya?

Please, Olin udah selalu ngerti semuanya dari dulu.” Olina menyerah dengan semua usahanya untuk mencari sesuatu yang sangat ia ingin tahu. Olina bersandar pada nakas dan menutup muka kecilnya dengan kedua telapak tangan mungil milik gadis tersebut. Frustasi. Itulah yang Olin rasakan saat ini.

“Tapi kenapa Ayah nggak pernah ngerti Olin,” sambungnya lagi.

Olina menyelinap keluar setelah mengusap jejak-jejak air mata dipipinya yang sempat lolos lalu memakai tudung hoodie yang ia kenakan saat ini.

Disinilah Olina sekarang, depan salah satu minimarket di daerah Jakarta pusat, dijarinya terselip sebatang rokok yang tinggal setengah dan dimejanya terdapat dua bungkus pop mie  yang sedang ia tunggu kematangan—nya serta sebungkus rokok yang sudah berkurang 3 batang dan tidak lupa kopi instan dengan logo yang sama seperti tempat yang sedang ia singgahi, ada juga beberapa camilan pelengkap lainnya diatas sana.

“Permisi mbak, boleh saya duduk disini? kursinya cuma depan mbak yang kosong,” suara laki-laki asing yang meminta izin agar bisa duduk dikursi kosong dihadapannya.

Olina mengangguk kepalanya sebagai jawaban, “Iya silahkan pak,” lalu gadis tersebut membereskan makanan miliknya kedalam tote bag yang sekalian ia beli tadi, Olina menggabungkan dua cup mie yang belum sempat ia santap. Olina gadis tersebut lalu melangkahkan kakinya dengan cepat menuju mobil cantik miliknya. Olina terus menghembuskan asap putih dari dalam mulutnya. Ia akan menghabiskan satu batang yang ia pegang sebelum lanjut untuk pulang.

Brukk...

Ceroboh itulah yang terjadi kepadanya saat ini.

“Maaf mas, saya nggak sengaja,” Olina merutuki dirinya, ia berjongkok dan memunguti beberapa camilannya yang jatuh. Pop mie yang semula dia pegang juga jatuh, dan sudah berhamburan. Olina tidak menghiraukan tangannya yang terkena air panas dari mie—nya.

“Nggak dimana-mana, selalu ngerepotin,”

Olina menengok secara spontan ke arah sumber suara yang memakinya.

Domino! itu lelaki tersebut. Sedang apa laki-laki ini di daerah sini?

Olina benar-benar tidak mengenalinya karena cowok tersebut memakai topi beserta masker berwarna hitam yang menutupi wajahnya.

Destiny GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang