008. Mimpi

224 51 11
                                    

Begitu tiba di kantornya, dan memberi isyarat pada wanita yang sejak tadi mengekorinya untuk menjauh. Dia segera masuk ke dalam ruangannya. Tapi, sebelum itu, dia menekan sesuatu di kantongnya, pulpen yang selalu ia bawa ke mana pun. Menekan tombol kecil di sana. Setelahnya, dia pun masuk ke dalam ruangannya.

Di sana, dia temukan seseorang yang tadi telah ia minta untuk datang ke kantornya. Seseorang yang berhasil membuat kepalan tangannya terkepal erat. Rahangnya pun mengerat seiring langkahnya yang terus bergerak ke arah meja kebesarannya.

"Pak Arsen," Seruan itu, bersamaan dengan tubuh itu yang bangkit, lalu berbalik. Tersenyum ke arahnya yang dibalas Arsen dengan sudut bibir terangkat tipis.

"Selamat Siang Pak Deni." Balas Arsen, tangannya terangkat. Kembali mempersilahkan tamunya untuk kembali duduk di kursinya selagi ia meletakkan tasnya di atas meja.

Tidak langsung duduk, Arsen meletakkan sebuah berkas di atas meja. Berkas yang kini kembali membuat wajah Arsen mendingin dan kaku.

"Saya yakin jika anda pasti tahu kenapa saya meminta anda untuk datang ke sini, bukan? Pak Deni?" Tekannya di akhir kalimat. Yang sayangnya bukan malah membuat pria di depannya itu terusik, pria itu malah menarik sudut bibirnya. Yang membuat kepalan tangan Arsen kian mengerat.

Tapi, demi mereda segala marah juga emosinya. Dia membiarkan kedua tangannya bertumpu di atas meja. Tetekan di sana. Tubuhnya sedikit membungkuk hingga dia bisa dengan jelas melihat bagaimana wajah itu tampak tak terpengaruh.

Menemukan wajah serius Arsen, bukannya terganggu atau terusik, Pria tua di depannya itu malah terkekeh. Dengan santai tangannya malah meraih sebuah berkas di atas meja. Membuat kedua mata Arsen mengikuti setiap pergerakan tangan itu.

"Saya tidak tahu kenapa anda mau repot-repot melakukan ini." Kedua mata itu terangkat. Balas menatap Arsen. Yang dia yakini pasti rahangnya mengerat.

"Sebagai seorang pengacara saya, yang seharusnya bertugas membela juga membantu saya. Kenapa anda mau repot-repot melakukan semua itu, Pak Arsen? Katakan, apa nominal yang saya tawarkan di awal masih belum cukup? Jika iya, saya tidak keberatan untuk menambahnya menjadi tiga kali lipat dari kesepakatan sejak awal."

Leher Arsen terasa mengerat, pun kedua matanya yang kini berubah memerah dengan emosi terasa membakar seluruh tubuhnya. Terutama saat ingatannya kembali berputar pada dua hari ini. Di mana dia menemukan ada banyak kejanggalan dari semua berkas yang kliennya berikan padanya. Jelas surat-surat tanah itu palsu.

Seolah sengaja, dia membuat Arsen masuk ke dalam jebakan pria di depannya ini.

"Memangnya apa yang bisa kami lakukan untuk melawan kalian?" Ucapan itu, masih begitu jelas Arsen dengar. Bagaimana wajah tua, juga espresi sendu membingkai wajah tua yang sudah seharusnya tidak lagi bekerja. Tapi, karna keadaan mereka, mereka masih harus bekerja dengan kerasnya.

"Para orang kaya yang dengan tega merampas hak masyarakat kecil seperti kami."

Saat itu, rasa-rasanya Arsen merasa malu karna telah datang ke sana.

"Pak Arsen, semua akan mudah jika anda bersedia untuk membantu saya. Saya bisa memberikan apa pun yang anda minta asalkan kita menang di persidangan ini."

Kami adalah pemilik tanah ini sejak awal. Tapi, karna keserakahan kalian. Kami harus merelakan semuanya. Apakah kalian tidak takut karma dari Tuhan?

"Bagaimana jika saya tidak tertarik membantu?"

Ada kekehan samar, wajah yang seolah tak tersinggung dengan apa yang Arsen katakan pada pria di depannya. "Saya dengar, anda memiliki seorang tunangan yang cantik, Pak Arsen."

STAY (Titik Henti)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang