012. Keinginan yang tidak berarti apa-apa

363 53 14
                                    

Tap

Satu anak panah seketika menancap di papan drat board yang seketika membuat tatapan Arsen kian menajam juga lurus. Ia kembali memegang ujung anak panah. Melemparnya kembali ke papan dart boart yang lagi-lagi berhasil menancap dengan tepat.

Tapi bukannya puas dengan hasilnya, desissan kesal ia keluarkan hingga kini tangannya berhasil berkali-kali menghunuskan anak panah di papan dart boart.

Ketukan pintulah yang berhasil menarik perhatian Arsen, dia menoleh, menemukan cengiran sahabatnya lengkap dengan wajah tak bersalahnya.

"Gue kira lo nggak di kantor." Seru Marcel, masuk ke dalam ruangan sahabatnya lebih dalam. Kadua tangannya terlipat, perhatiannya kini tertuju ke arah sahabatnya yang sibuk mencabuti anak panah dari papan dart board.

"Gimana masalah lo sama Rachella?"

Gerakan tangan Arsen yang mencabuti anak panah terhenti, kepalanya menoleh ke arah Marcel yang menatapnya penuh penasaran.

Mendapatkan tatapan tajam sahabatnya, Marcel pun berdehem. Tubuhnya berputar dan duduk di sofa. "Kalian gue perhatiin dari tadi kayak orang lagi ribut." Jelasnya.

Arsen sama sekali tidak menjawab, karna kini perhatiannya kembali tertuju ke arah papan dart board. Mencabuti anak panah dengan pandangan lurus.

"Diem berarti udah kelar nggak, sih?"

"Sejak kapan lo deket sama Rachella?" Arsen kembali memutar kepalanya, kakinya bergerak menjauh dan mendekat pada Marcel yang kini duduk di sofa dengan punggung bersandar santai.

"Lo nanya gini nggak lagi cemburu buta terus berpikiran macam-macam, kan?"

Satu anak panah nyaris saja mengenai kepala Marcel kalau saja dia tidak dengan gesit menghindar. Semua itu ulah Arsen yang mengarahkan anak panah di tangannya ke arah pria itu. Membuat Marcel pun melotot.

"Anjing, lo mau gue laporin ke polisi karna tindakan kekerasan?" Serunya heboh. Yang sayangnya tidak membuat Arsen peduli. "Bangsat, untung gue buru-buru ngehindar. Kalau nggak, mau jadi apa muka gue." Serunya lagi, mengecek keadaan wajahnya lewat layar ponselnya yang mati. Kedua matanya sesekali melototi Arsen yang berdecak sinis.

Pria itu bahkan kini duduk dengan santai di sofa dengan kedua tangan terlipat di dada. Bersandar dengan santai dengan kaki bertumpu di kakinya yang lain. Cara duduk dengan ciri khasnya yang angkuh.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Apa?" Tanya Marcel polos. "Owh, soal deket Rachella?" Tambahnya, begitu Arsen menatapnya tajam. Seakan ingin membunuhnya detik ini juga.

"Ya, gimana, ya, gue hampir tiap hari dikasih makan sama dia. Di bawain bekel terus-Anjing, Sel, Gue becanda!" teriak Marcel heboh begitu Arsen mengangkat tangannya dan bersiap kembali melempar anak panahnya ke arahnya.

"Astaga, mati aja lah lo! Gue becanda juga."

Arsen hanya memasang tampang datarnya, membuat Marcel nyengir dan mengangkat tangannya ke atas. Tanda menyerah.

"Nggak, gue cuman ketemu pas habis meeting sama dia. Kebetulan dia mau makan, ya udah karna gue tiap hari dikasih bekel. Nggak ada salahnya lah, neraktir dia. Itung-itung balas budi."

Arsen mendengus sinis, wajahnya terlihat jengah dengan apa yang baru saja dia dengar itu. Hingga kembali membuat marcel tersenyum jail. "Kenapa? Jangan bilang lo cemburu karna Rachella mau makan sama gue?"

"Mati aja lo!" Sinis Arsen, melempar bantal sofa pada Marcel, yang langsung pria itu tangkap dengan gelak tawa membahana. Terlihat sekali jika dia begitu puas karna telah menggoda sahabatnya itu.

STAY (Titik Henti)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang