016. Amarah

271 64 13
                                    

Marisa memutar tubuhnya begitu mobil yang dikendarai Arsen melaju dengan kencangnya. Berlalu hingga kini dia hanya bisa berlari ke arah sebuah taksi yang terparkir tidak jauh dari tempat berdirinya tadi.

"Pak tolong ikuti mobil itu, ya." Ucapnya yang langsung diikuti oleh supir taksi dengan patuh. Sesekali ia akan menatap jam di pergelangan tangannya. Jika mengingat jadwal pria itu, seharusnya dia tidak memiliki jam sidang hari ini. Yang menandakan pria itu pasti akan kembali ke kantor.

Tapi, Marisa jelas tahu jika jalan yang kini diambil oleh pria itu bukan menuju ke kantor firma Papanya. Membuat Marisa merasa sangat penasaran ke mana pria itu akan pergi.

"Jangan terlalu dekat, ya, Pak. Kalau bisa jaga jarak." Pesannya, yang lagi-lagi dituruti dengan patuh oleh super taksi. Sampai mereka tiba di sebuah bangunan yang tidak besar.

Bangunan yang kini membuat Marisa membuka kaca mobilnya dan menatap ke arah mobil Arsen yang kini masuk ke dalam perkarangan gedung itu.

Perjalanan yang hampir memakan waktu satu jam itu, berhasil membuat Marisa mengetahui satu hal akan tujuan pria itu. Walau dia belum tahu dengan jelas apa tujuan pria itu datang ke tempat itu saat ini. Dan demi mengetahui hal apa yang ingin pria itu lakukan, sepertinya Marisa harus menunggu di sana dalam waktu yang lama.

****

Begitu Arsen turun dari mobilnya, dia langsung menemukan seseorang yang kini melangkah mendekat ke arahnya dengan senyum lebarnya.

"Sen, gue mimpi apa nih tiba-tiba dapat kabar lo butuh bantuan gue." Seru Fredi salah satu teman Arsen semasa kuliah. Yang kini bekerja di sebuah firma hukum swasta.

Arsen menjabat tangan itu tanpa canggung, menepuk lengan atas salah satu temannya itu dengan bibir sedikit tertarik. "Ngomong di dalem gimana?"

"Boleh-boleh. Ayo masuk."

"Wih, gue serius nih. Masih nggak percaya pengacara kondang kayak lo mau repot-repot hubungi gue dan minta bantuan." Seru Fredi, mempersilahkan Arsen duduk. Yang tanpa canggung sedikit pun, Arsen duduk di sampingnya.

Suasana ruangan yang sederhana, di tambah keadaan yang apa adanya, mendadak membuat Fredi awalnya merasa sanksi jika teman kuliahnya itu akan nyaman duduk di sana lebih lama. Namun nyatanya semua pemikiran itu terpatahkan saat dengan santai temannya itu sama sekali tidak terpengaruh dengan di mana dia berada saat ini.

"Ada apa nih?" Tanyanya lagi. Membuat Arsen pun pada akhirnya mengeluarkan sebuah berkas dari dalam tasnya.

"Gue mau minta tolong buat lo bantu gue urus kasus ini bisa?"

Fredi sempat mengernyitkan kening heran, namun dia tetap menerima uluran berkas itu. Membacanya sesaat sebelum menoleh ke arah Arsen. Beberapa kali ia melakukan itu. Sampai.

"Ini bukannya kasus yang lagi rame itu, ya?"

Arsen mengangguk membenarkan. "Gue awalnya yang handel kasus itu di firma gue. Lo pasti tahu siapa orangnya, kan?"

Tak butuh waktu lama bagi Fredi untuk mengangguk setuju. Hingga wajah herannya kini kian terpantri jelas. "Ini maksudnya gue harus lawan lo di pengadilan gitu?"

"Nggak lah." Geleng Arsen. "Itu berkas salah satu pihak penuntut."

"Gila." Pekik Fredi. Terkejut. Berkas di tangannya bahkan hampir saja jatuh mendengar itu.

"Lo nggak-"

"Nggak lah." Seru Arsen sebelum Fredi mengungkapkan tuduhannya.

"Gue udah nggak ambil kasus pihak tertuntut. Karna itu gue urus berkas pihak penuntut itu. Jadi nggak ada istilah yang lo pikirin sekarang." Tambahnya lagi. Yang seketika membuat Fredi menghela nafas lega. Hampir saja dia berpikir jika temannya itu melakukan pengkhianatan pada kliennya. Dan jika semua itu terbongkar, bisa tamat semua karier temannya itu.

STAY (Titik Henti)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang