Syukuran = berbagi

761 82 5
                                    

💐

"BURUAAANNN!" teriak Gendis, wanita berusia lima puluh tahun berdiri berkacak pinggang di ruang tamu rumah dengan empat kamar.

"Ya ampun, Bu ... sabarrrr!" balas Nanda, anak keempatnya yang masih SMA kelas dua.

Grabak grubuk heboh di dalam  rumah pasti terdengar setiap harinya. Tanpa terkecuali!

"Bu, santai sedikit, lah," bisik Agung, suaminya sembari menepuk bahu Gendis.

"Ssstt! Diem, kamu, Yah! Anak-anak kalau nggak diteriakin leletttt kayak siput! Kamu ke mobil duluan aja," perintah Gendis.

"Pake mobil yang mana, Bu?" Agung menghadap ke gandungan kunci kendaraan tergantung rapi.

"Truk pasir aja!" sahutnya enteng masih menatap empat anaknya yang mondar mandir, ada yang ambil sepatu, dandan tipis-tipis di meja makan, minum kopi sambil sisiran. Rame pokoknya rameee!

Agung hanya bisa tertawa pelan lantas berjalan ke garasi setelah membawa kunci.

"Abang Daffa! Mana topi toganya! Buruan itu kopi habisin! Yang mau wisuda geraknya lambat banget! Hih!" kesal Gendis seraya menghampiri Daffa yang kembali meneguk kopinya.

"Tau, lama banget lo, Bang?" sambar Raffa, adiknya yang sudah siap dengan batik lengan panjang.

"Bu, ayo!" panggil Nanda dan Kirana, anak keempat dan tiga yang sudah berdiri di teras rumah.

Daffa bangkit dari duduknya, ia ambil topi toga di dalam kamarnya. Raffa bersiap mengunci pintu rumah dan pagar.

"Raf! Kuncinya kasih ke satpam, Mbak Inong nanti dateng jam sembilan." Gendis membuka pintu depan mobil.

"Iya, Bu. Bang! Bantuin itu Ibu naik, awas buntut kebayanya nyangkut!" Raffa memberi peringatan. Daffa bergumam, ia bantu Gendis masuk ke dalam mobil juga merapikan kebaya ibunya.

Mobil alpart hitam akhirnya melaju di jalan tol. Sepanjang jalan sampai lokasi wisuda, Daffa sibuk bicara di telepon dengan kekasihnya. Kirana dan Nanda sampai bosan, jika Raffa ia tidur karena semalam habis rapat acara RT sampai jam sebelas malam.

"Udah dulu kali, Bang ... di sana Yasmin juga dateng, kan?" sindir Gendis.

Daffa memberitau Yasmin, lantas menyudahi obrolan di ponsel. "Iya, Bu. Bentar doang," sahutnya santai.

"Sebentar palamu benjut! Udah dua puluh tiga menit kamu ngobrol?!" celoteh Gendis sambil menunjukkan stopwatch ponselnya.

"Kamu itung, Bu?" Agung takjub.

"Iya, lah! Itu kuping Daffa apa nggak demam?" Gendis akan selalu sewot jika ada hal yang tak sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan berdasarkan rapat paripurna kelurga.

"Bu, gitu-gitu calon mantu, jangan galak-galak, lah?" sahut Daffa santai. Gendis menoleh ke belakang, Agung menatap dari spion tengah, Kirana dan Nanda saling menatap. Untuk Raffa, maaf, masih pules.

"Maksudnya?" tekan Daffa.

"Target Abang, setelah kerja setahun, mau lamar dia, Bu. Pacaran sama Yasmin udah dua tahun, cocok, mau apa lagi, kan?" Daffa senyam senyum puas.

"Ibu tanya sama kamu, Bang. Pertama, kamu kerja masih baru empat bulan dengan gaji lima juta. Kedua, masih kontrak enam bulan, belum tentu kamu diangkat jadi pegawai tetap. Ketiga, nggak ada ya kamu nikahin Yasmin kerjaan kamu belum tetap. Jangan bikin malu keluarga kita!" pelotot Gendis.

"Bu ... rejeki bisa ngalir sambil ibadah menikah, Bu ...," rengek Daffa.

"Betul, Bang. Masalahnya ini kamu ... kamu lho ... Daffa anak Ibu dan Ayah yang leletnyaaaa super! Berangkat kerja kalau nggak bareng Ayah bisa bedug dzuhur kamu sampe. Setiap hari Ibu bekalin makanan sama snack ngalahin cucunya Wanda yang udah SD kelas satu! Nggak pake ... nggak pake! Nikah lima tahun lagi. Umurmu pas dua enam!"

Mertua masa gini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang