💐
Gendis berjalan mondar mandir di depan ketiga temannya. Mereka berkumpul di toko roti milik Gendis.
"Jelek namaku di komplek jadinya," gumam Gendis seraya berpikir bagaimana memperbaiki nama keluarganya.
"Udah, lah. Kaya setiap rumah nggak ada boroknya. Tenang, lah, Ndis," sahut Soraya.
Yuni miris, tapi memang sepandai bangkai terkubur pasti tercium juga baunya.
"Ndis, yang penting Daffa udah proses cerai. Raja diambil alih hak asuhnya dan Yasmin, kapok karena nggak dapat apapun dari Daffa. Itu aja udah paling penting." Yuni memberikan penilaian karena ia juga yang menemani Gendis ke pengadilan bersama pengacara.
"Ini udah sidang ke dua, tapi Yasmin masih mau minta harta gono gini. Harta apaan? Dari awal nikah aku yang sokong!" Emosi Gendis terpantik. Ia berkacak pinggang. Tiga temannya memperhatikan sambil duduk, malas menangkan nenek-nenek sumbu pendek.
"Permisi, Bu Gendis," sela salah satu karyawan.
"Ya, ada apa, Wan?" Gendis menoleh ke Wawan.
"Bu, calon karyawan baru sudah datang. Yang buat gantiin Widya sama Surya. Mau wawancara sekarang atau nanti, Bu?"
Gendis baru ingat. Ia baru memecat dua karyawan sebelumnya karena ketahuan memakai uang dan pacaran!
Gendis sebal jika ada yang mencuri. Oke kah, kalau pacaran, siapa yang larang perasaan orang tapi ... plus mencuri, oh tidak tedeng aling-aling, detik itu Gendis pecat sambil menunjukkan barang bukti!
"Sekarang aja, bawa ke sini aja, Wan. Saya duduk di pojok sana."
"Baik, Bu." Wawan turun ke lantai satu. Gendis meninggalkan tiga temannya.
"Yun, kamu udah lewatin rumah Laras belum?" bisik Soraya.
"Udah, Aya. Waktu kemarin sama pagi tadi joging. Endah juga udah, ya, Ndah," tukas Yuni berbisik.
"Iya, udah. Aku sama suamiku miris lihatnya. Rumahnya kayak udah banyak yang harus di renov. Cuma gimana, kan? Laras janda, anak-anaknya juga berjuang sendiri. Dari warga bisa nggak ya kalau bantu?" Endah mencoba memberi ide.
"Susah kalau warga nggak setuju semua. Gini aja, kita ke rumah Laras, ngobrol-ngobrol biasa aja sambil lihatin kondisi rumahnya, kalau emang mau bantu, kita cari warga yang mau aja dan nggak ember mulutnya kayak si sukun. Nyumbang lima puluh ribu, siarannya satu RW. Nggilani," tutur Soraya seraya bergidik ngeri.
"Yaudah boleh. Aku kemarin lihat Laras ke tukang sayur, sengaja ikutin diem-diem, pas dia mau pulang aku jalan, sok aja kayak baru dateng. Tak tegur, kan, habis belanja apa, Ras? Nah Laras umpetin belanjaannya di samping badannya sambil bilang kalau beli bumbu dapur aja, Yun. Terus dia buru-buru pulang."
"Kamu tanya ke tukang sayur, nggak?" Soraya mencecar.
Yuni mengangguk, raut wajahnya langsung sedih. "Laras beli tempe satu papan sama telor lima biji. Kata tukang sayurnya, tiga hari sekali Laras belanja. Nggak kayak dulu, setiap hari belanja dan pasti di atas seratus ribuan."
Soraya mendesah sedih, Endah juga menatap nanar. Tak lama dua calon karyawan datang memakai baju hitam putih. Yuni menepuk-nepuk bahu Soraya.
"Aisyah, itu Aisyah," bisik Yuni. Endah dan Soraya menatap ke arah dua calon karyawan yang akan wawancara dengan Gendis.
"Beneran? Kok kurus banget?" bisik Endah sedih. Ketiganya langsung mengarah ke Gendis yang membaca resume dua orang tadi. Tanpa senyuman, sangat serius. Dasar Gendis, memang cetakannya judes mau gimana lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
General FictionTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...