Rebutan

236 54 4
                                    

💐

"Kamu kenapa bohong sama Yasmin, Bang. Ke Bali kok bilangnya ke Surabaya. Pantesan dia minta pesenin tiket kereta." Gendis mengantar Daffa sampai ke terminal bis bandara.

"Kesel, Bu. Bu, nggak apa-apa Ibu urus bayi?" Daffa menoleh ke baby car seat di jok belakang, anaknya tidur pulas.

"Emang kamu pikir, empat anak Ibu siapa yang urus?! Sembarangan. Kamu kerja aja, fokus. Istrimu biar di rumah sendirian. Biar mikir. Itu juga kalau punya pikiran. Hati-hati, ya, Bang," pesan Gendis. Daffa menyalim lalu mencium pipi ibunya. Daffa juga mencium putranya sejenak sebelum mengambil koper di bagasi.

"Hati-hati, Nak!" teriak Gendis lalu melambaikan tangan. Ia tancap gas pulang ke rumah, sebelumnya sudah menelpon Nanda untuk belikan pampers juga sabun bayi.

"Ibumu gendeng, urus kamu nggak becus. Maaf ya, Nini harus ngomong gini," gumam Gendis tak kuasa menahan rasa kesal. Ia mengemudi dengan hati-hati karena membawa cucunya.

Di rumah, semua menyambut senang apalagi Raffa dan calon istrinya. Calon pengantin itu sedang membahas tamu undangan, siapa saja yang akan diundang nantinya karena acara sederhana saja.

"Punya mantu satu kok kelakuannya kayak gitu. Heran Ibu!" dumal Gendis setelah ganti baju dengan daster lalu menggelung rambutnya.

"Bu, sini Nanda mandiin Raja." Nanda juga riang jika keponakannya dibawa ke rumah.

"Bisa kamu?" Gendis tak yakin.

"Bisa, lah. Kak, bantuin ya," celoteh Nanda ke calon kakak iparnya, tunangan Raffa.

"Ayo!"

Keduanya lalu menuju kamar mandi. Gotong royong memandikan Raja yang tampak sering tersenyum lebar.

Agung pulang kerja, hidungnya mencium bau minyak telon. "Raja, ya, Bu?" teriaknya senang.

"Iya. Ibu culik ke sini. Emosi sama Yasmin," kesalnya sambil mengambil alih tas kerja Agung.

"Kenapa lagi dia?" Gelas berisi air putih habis diminum, melepas dahaga Agung menerjang kemacetan Jakarta.

"Raja dari pagi belum mandi. Pampers penuh nggak tau dari jam berapa nggak diganti. Pas Ibu mau ganti, selangkangannya lecet merah. Raja nangis karena perih. Udah gitu, Yah ... Daffa sama Yasmin ribut karena Yasmin minta ikut dinas Daffa. Ibu pusinggg ...! Jadi Ibu bawa Raja ke sini."

Raffa menggeleng pelan, ia duduk di meja makan sambil minum kopi sore.

"Bu! Raja di sini aja! Kita yang urus. Biarin si Yasmin mau kerja, kek! Guling-gulingan doang di rumah, kek! Kasihan anak ini nggak diurus!" teriak Nanda dari dalam kamar mandi.

"Gimana, Yah?" tatap Gendis ke suaminya yang setuju.

"Yasmin nggak bisa urus anak. Biar dia suruh kerja, asal Daffa izinin, itu juga kalau orang tuanya Yasmin kasih izin, harus semua setuju biar nggak ribut, Bu." Agung mencoba bijak. Akan tetapi Gendis tak akan mundur, ia akan bicara dengan Yasmin jika menantunya itu nanti datang ke rumah.

Benar saja, hari kedua Yasmin datang. Gendis menyambut seorang diri karena semua anggota keluarga sibuk bekerja juga Nanda sekolah.

"Duduk," perintah Gendis. Keduanya duduk di ruang tamu.

"Raja mana, Bu?" Yasmin melongok ke arah bagian dalam rumah.

"Tidur. Baru minum susu juga. Kamu nggak telaten susui, berat badan Raja kurang dari seharusnya." Dengan judes Gendis menjabarkan hasil pemeriksaan Raja di rumah sakit pagi tadi.

"Bukan nggak telaten, Bu, tapi asi Yasmin sedikit, Yasmin--"

"Diam kamu. Gimana nggak sedikit. Asupan makanmu ngaco, kamu juga jorok, mana mau bau nyusu kalau bonding Ibunya juga jarang."

Yasmin menghela napas panjang, ia meremas tali tasnya. "Bu, sebenernya kenapa Ibu benci sekali sama Yasmin, Bu? Semenjak Yasmin pacaran sama Daffa, Ibu nggak ramah. Yasmin tau Ibu pura-pura selama ini."

Dengan berani Yasmin menegur Gendis.

"Kamu harusnya tau kenapa bisa begitu. Kamu sudah dewasa, sudah bisa berpikir." Gendis enggan menjelaskan. Biar Yasmin berpikir.

"Apa Ibu mau menguasai Raja?" lirik sinis Yasmin.

"Maksudnya?" tekan Gendis.

"Raja anak Yasmin, Bu. Hak Yasmin mau urus dia seperti apa? Ibu cuma neneknya, Ibu terlalu dalam campuri semua hal di rumah tangga Yasmin. Yasmin tertekan, Bu! Apa Ibu nggak bisa jaga jarak dengan kami?! Kenapa Ibu mau rebut Raja dari Yasmin!" Air mata Yasmin luruh.

Gendis masih diam. Membiarkan menantunya meluapkan emosi.

"Ibu selalu salahin Yasmin ini dan itu. Makanya Yasmin kesal. Yasmin cuekin Ibu sekalian!" sambungnya.

"Udah? Ada lagi?" Gendis melipat kedua tangan di depan dada. Yasmin menghapus air matanya dengan punggung tangan.

"Ibu gantian mau bicara. Dengerin Ibu baik-baik," jedanya.

"Pertama. Kamu hamil duluan. Itu Ibu salahin kalian berdua. Kedua, kamu seenaknya sama Daffa. Anak Ibu yang berusaha keras bertanggung jawab untuk istri dan anak tapi istrinya seenaknya sendiri bertingkah. Ibu membesarkan Daffa bukan untuk kamu injak seenaknya, Yasmin. Ketiga, kalau kamu nggak sanggup urus Raja. Biar Ibu yang urus di sini. Silakan kamu kerja, punya uang, senangi diri kamu sendiri."

Yasmin menganga, "Ibu mau pisahin Yasmin dengan Raja?!" tekannya kaget.

"Nggak! Ibu cuma mau urus Raja. Kalau kamu kangen, kamu ke sini, jemput hari jumat, hari minggu antar ke sini lagi. Kamu bisa bebas di rumah, mau berantakan kek, mau kotor, kek. Asal Raja terurus sama Ibu." Gendis benar-benar bicara dengan tegas.

"Nggak, Bu. Lebih baik orang tua Yasmin yang urus Raja di rumah sementara Yasmin kerja." Yasmin bermuka masam.

"Oh, nggak bisa. Ibu kamu sibuk dengan dagangannya, Ayahmu juga, apa bisa tinggalin usahanya buat Raja? Ibu nggak yakin. Ini pilihan gampang, jangan kamu persulit." Gendis terus memaksa secara tak langsung.

"Hah, Ibu benar-benar," gerutu Yasmin. "Jangan salahkan Yasmin kita nggak akur, Bu. Ibu membangun tembok tinggi untuk Yasmin. Ibu rebut Raja, Ibu--"

"Heh! Diam kamu! Sekali lagi kamu bilang Ibu rebut Raja. Ibu tatar kamu lebih gila dari sekarang. Ibu nggak takut orang tua kamu tau! Udah dikasih hidup enak, nggak bersyukur. Nggak nurut suami, anak diurus seenaknya, mau kemana arah rumah tangga kalian?! Hey Yasmin. Jangan sampai kamu makin bertingkah atau Ibu akan membuat kamu cerai dengan Daffa!" bentak Gendis.

"Ibu juga tidak peduli warga di sini gunjing kami karena Raja ada di sini. Ibu masa bodo! Bisa beralasan. Asal kamu ... kamu Yasmin, bisa rasakan apa yang Ibu kasih supaya kamu belajar."

Diam-diam Inong merekam, ia lalu kirim video ke Daffa. Semua dilakukan atas perintah Daffa yang tau Raja pasti ditahan Gendis di sana.

Di Bali, Daffa yang sedang menjalankan tugas hanya bisa bersandar lemah menatap langit setelah melihat video yang dikirim Inong.

Seketika hatinya sakit, ia marah dengan Yasmin. "Apa gue kuwalat sama Ibu? Rumah tangga gue jadi begini? Bego lo Daf ... kecewain orang tua jadi susah hidup looo!"

Daffa bermonolog sendiri. Ia masukkan ponsel ke saku celana kerja lantas kembali berjalan masuk ke ruangannya.

bersambung,

Mertua masa gini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang