💐
Gendis tak peduli jika ia dibenci Yasmin, bodo amat. Apalagi ia yang biayai persalinan sampai pulang ke rumah, bahkan aqiqah pun, Gendis yang biayai atas dasar sedekah ke cucu.
Seharusnya jadi urusan Daffa, tetapi karena uang Daffa tak cukup, jadilah Gendis dan Agung lagi yang biayai.
Kedua orang tua Yasmin ya petantang petenteng saja, seolah ikut terlibat. Bahkan saat acara aqiqah satu pekan setelah Yasmin melahirnya, keluarga ibunya Yasmin banyak diundang hadir.
Gendis yang peka, dengan santai memesan semua urusan aqiqah di tempat kenalannya juga. Jadi tak ada keluarga yang rewel minta jatah bungkus makanan.
Yuni, Endah, Soraya turun tangan membantu Gendis mengatur acara.
Kirana asik duduk sambil menggendong keponakannya saat acara aqiqah selesai. Di sampingnya sang kekasih hati memperhatikan sambil tersenyum.
"Buruan resmiin," celoteh Daffa, ia duduk di dekat Kirana.
"Bang Raffa dulu, lah. Masa gue lompatin Kakak sendiri." Kirana mengusap pelan pipi bayi tampan itu.
"Nggak papa kali, Raffa santai orangnya," sambung Daffa sambil menikmati es buah.
"Nggak, Bang. Gue juga masih siapin beberapa hal, kantor lagi banyak proyek. Kirana juga setuju nunggu setahun lagi." Kali ini calon adik ipar yang menyahut. Daffa manggut-manggut.
"Emang elo. Udah DP duluan. Gila lo! Amit-amit, Bang Daffa, jangan sampe anak lo ngikutin jejak buruk lo sama Yasmin. Lo pikir nggak jadi dosa turun temurun?" sindir Kirana enteng. Daffa mengangguk, sebenernya ia menyesal juga, tapi nasi sudah jadi bubur, mau gimana lagi.
"Jadi fix nih namanya Ganindra? Panggilannya siapa?" Kirana menatap Daffa.
"Maunya Yasmin itu. Gue sih pinginnya nama yang lain."
"Dih! Ya tolak lah. Milih nama anak rembukan berdua dong!" protes Kirana yang mulai BT karena kakaknya apa-apa mengalah dari Yasmin.
"Namanya bukan Ganindra, tapi ... Danaraja Anggana," sambar Gendis. Ia duduk di karpet juga. Mengusap kepala cucunya dengan sayang.
"Bu, nanti Yasmin protes, ribet Daffa nanggepinnya," keluh Daffa dengam raut wajah melas.
"Protes ke Ibu kalau berani!" bentak Gendis kesal. "Bukannya bersyukur apa-apa di bantu Ibu dan Ayah, masih bertingkah. Pak Ustadz juga udah setuju anakmu dikasih nama itu, di doain. Mana Yasmin dan keluarganya. Sibuk urusin makanan sisa yang mau dibungkus. Untung Tante Soraya ngawasin, kalau nggak sama wadah-wadahnya dibawa pulang!" celetuk Gendis yang membuat Kirana menahan tawa.
"Lagian elo, Bang. Nemu di mana sih, bini lo?! Sekalinya cinta sama cewek modelan begitu. Sorry, ya, nggak maksud hina, fakta aja." Kirana itu cuek seperti Gendis, ceplas ceplos. Daffa hanya diam, karena memang ia menahan semuanya selama ini dan pendapat keluarganya selalu benar.
***
"Ndis! Ayo cepetan!" Soraya, Endah dan Yuni sudah berdiri di depan pagar rumah Gendis.
"Iya, ya, ampun." Gendis menenteng tas kecil di tangan kanan, lalu plastik besar berisi dua dus kue-kue. Mbak Inong menutup pagar saat Gendis sudah berjalan kaki ke rumah bu Padmo, lokasi arisan bulan itu.
"Kamu bawa kue? Kan udah ada dana konsumsi, Ndis?" tegur Yuni.
"Kue doang, santai, lah, Yun. Lagian ini baru mulai lagi arisan RTnya, itung-itung ramein sama kue-kue." Gendis berjalan satu payung dengan Yuni. Arisan di rumah bu Padmo dimulai pukul dua siang, biasanya selesai pukul empat.
Rumah bu Padmo tiga gang ke belakang rumah Gendis. Bangunan bergaya nuansa Jepang karena anak perempuan bu Padmo seorang arsitek dan bekerja di Tokyo. Rumahnya asri, adem, banyak tanaman hijau. Melambangkan kekayaan.
"Ndis, nggak ada niat renov rumah jadi keren kayak punya Bu Padmo?" bisik Soraya.
"Buat apa? Anak-anakku nanti mental semua setelah nikah, rumah diisi aku sama Agung, sayang duitnya. Ujung-ujungnya bisa bikin ribut anak-anak, nggak, deh."
"Terus rumah itu nanti gimana? Dijual ke orang?" sambar Endah.
"Ya enggak, lah. Ari-ari empat anakku di tanam di halaman rumah semua, siapa yang mau nempatin nantinya, tempatin aja. Sampai kapan nggak akan dijual. Warisan anak-anak udah aku sama Agung siapin. Aman, lah," tukas Gendis diakhiri tawa.
Dari keempatnya, memang hanya Gendis yang punya anak banyak. Endah anaknya dua, Soraya satu, Yuni satu. Jadi mereka khawatir anak-anak Gendis jadi rebutan warisan.
"Assalamualaikum," ucap Endah ke pemilik rumah. Mereka melepas sandal lalu masuk ke dalam.
"Waalaikumsalam, ayo masuk. Kirain empat sekawan nggak datang," sambut bu Padmo senang.
"Datang, dong. Waktunya silaturahmi," jawab Soraya.
Suasana sudah ramai, Gendis memberikan plastik besar ke bu Padmo yang menyambut dengan sumringah. Kue jajanan pasar tapi buatan chef di tokonya, rasa premium dengan harga terjangkau.
Saling menyapa dengan bercipika cipiki di lakukan. Gendis dan kawan-kawan duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Bu Agung, denger-denger istrinya Daffa sudah lahiran, ya? Perasaan nikahnya baru enam bulan." Mulut usil bu Sukun mulai bersuara.
"Kata siapa, Bu?" balas Gendis. Soraya, Endah dan Yuni ketar ketir, Gendis emosinya sumbu pendek, tak segan menghajar siapapun.
"Denger berita aja, sih," ujar bu Sukun lalu tertawa.
Hm, minta dihajar balik, nih, batin Gendis.
"Bu Sukun, gimana kabar menantunya? Udah nggak memar lagi digebukin sama suaminya. Anak Bu Sukun, kan? Ya ampun ... kok bisa sih, mukulin istri. Di depan anaknya juga ya? Haduh ... ikut prihatin ya, Bu," sindir Gendis.
Soraya menyikut lengan Gendis, tapi Gendis masa bodo.
"Kata siapa, Bu?! Anak menantu saya baik-baik aja! Jangan fitnah, ya!" Bu Sukun sampai menunjuk-nunjuk Gendis.
"Lho, bukannya ini udah jadi konsumsi umum, sampe tukang sayur keliling aja tau, lho, Bu. Kalau nggak bener, ya santai aja responnya, Bu Sukun. Kalau benar, nasehatin anak mantunya biar rukun damai tentram berumah tangga."
Keadaan semakin panas. Gendis maju tak gentar. Semua orang mulai menikmati tontonan itu. Bu Sukun berulah lagi dengan berkata jika Kirana suka pulang malam diantar cowok.
"Oh, ya ampun. Cowok itu calon suaminya Kirana, bos perusahaan tempat Kirana kerja. Saya sama Agung udah tau kok, dan setiap Kirana pulang malam, kami di teras duduk nungguin. Bu Sukun kan nggak lihat sampai teras, cuma ngintip dari pagar kan? Nggak akurat nih, jelek-jelekin anak saya." Gendis tertawa lepas.
Bu Sukun mulai kesal, wajahnya ditekuk. Ketua arisan menyela dengan memulai acara, lalu uang setoran arisan dikumpulkan ke bendahara. Satu orang tiga ratus ribu, total yang ikut dua puluh orang.
"Bu Ketua, uang arisan saya sekalian bulan depan, ya, saya antar uangnya sore ini, lupa nggak bawa dompet," ujar Bu Sukun.
Gendis membuka tas, lalu mengambil dompet. Ia keluarkan uang tunai tiga ratus ribu. "Bu Sukun, nih, saya talangin ya. Nanti antar aja uangnya ke rumah, malam kalau perlu sekalian lihatin Kirana pulang diantar calon suaminya, jadi nggak salah informasi."
Yuni menahan tawa. Sedangkan ibu-ibu lain melongo.
"Jangan cari masalah sama saya ya, Bu Sukun. Urus keluarga masing-masing," bisik Gendis ke bu Sukun dengan tatapan tajam. Bu Sukun hanya bisa diam mematung. Ia malu sendiri tapi tetap bisa santai dan cuek cengangas cengenges.
bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
Ficción GeneralTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...