Kondisi Laras dan Adinda

65 24 3
                                    

💐

"Udah siap? Kita nggak akan kelihatan mencurigakan, kan?" bisik Soraya takut apa yang mereka lakukan membuat Laras tersinggung.

"Nggak. Udah, yuk! Kita pemanasan dulu," ajak Yuni. Mereka berdua akan jogging pagi, Gendis dan Endah menyusul karena masih asa urusan di rumah.

Jalan kaki dengan ritme pelan dilakukan, menyapa tetangga-tetangga sebelum menuju ke arah rumah Laras.

Dari semua rumah, memang rumah yang Laras tinggali terlalu mencolok dengan kondisi yang cukup miris.

Satu kali putaran dilakukan Yuni dan Soraya sambil memata-matai, lantas mereka ke arah lapangan RT. Di sana sudah ada Endah dan Gendis yang juga memakai baju olahraga training warna pink.

"Laras di rumah, kan?" lirih Endah.

"Ada, tadi kedengeran lagi cuci baju. Ada air ngalir dari arah selokan, bau pewangi juga," jawab Yuni.

"Yaudah, yok. Inget, kalau ditanya bilang kita habis muterin komplek dari setengah jam lalu," ujar Gendis. Keempatnya berjalan ke arah rumah Laras.

Bangunan dua tingkat itu terlihat sudah mengelupas cat temboknya, pagar juga mulai berkarat, plafon ada yang copot-copot, terlihat kotor dan kumuh.

"Ras, Larasss!" panggil Endah.

"Assalamualaikum, Laras," sambung Yuni.

"Waalaikumsalam!" sahutnya dari dalam. Laras keluar dengan pakaian yang basah bagian bawah. Daster kembang-kembang warna hijau itu terlihat sudah kusut. "Lho, kalian ... ada apa pagi-pagi ke sini?" Laras membuka gembok pagar lalu ia mengajak teman-temannya masuk.

Akan tetapi ia lupa, rumahnya begitu pengap. Bau kayu lapuk belum lagi kondisi cat yang pudar.

"Udah lama nggak masuk ke rumahmu, Ras, lagi ngapain?" Soraya melepaskan sepatu.

"Aya, pakai aja sepatunya," pinta Laras tak enak hati.

"Ya jangan, lah. Kamu lagi ngapain, Ras?" Soraya masuk ke dalam, duduk di ruang tamu yang sofanya juga sudah usang. Demi menghormati Laras, ia duduk saja pun Gendis, Yuni dan Endah.

"Lagi cuci baju. Sebentar aku buatin minuman, ya." Laras beranjak, ia berjalan ke dapur. Ke empat wanita tadi saling menatap sedih. Rumah itu benar-benar harus direnovasi, jika tidak ada dana, dijual saja lalu Laras beli rumah agak kecil di daerah lain.

Pikir keempat wanita itu. Padahal kenyataannya tak semudah usul. Banyak pertimbangannya.

"Ayo di minum teh hangatnya, capek kalian jogging, kan?" Laras menyuguhkan empat cangkir berisi teh hangat, di letakkan di depan teman-temannya.

"Ras, ngapain repot-repot, sih." Gendis menegur.

"Nggak repot sama sekali. Oh iya, bayar iuran sampah, ke siapa, ya?" Laras duduk memangku nampan.

"Ke sekuriti, setiap tanggal tiga nagih keliling," sahut Endah.

"Oh gitu. Aku mau bayar sama bulan lalu. Baru sempet sekarang. Sampai lupa, mau sarapan apa? Kayaknya tukang bubur sebentar lagi lewat." Laras berdiri. Gendis menarik tangan Laras supaya duduk kembali.

"Nggak usah repot-repot, Ras. Aisyah udah cerita kerja di tempatku?" Gendis mulai membuka obrolan.

"Udah, Ndis. Makasih udah terima dia, ya. Maaf repotin," ujar Laras yang memang tak enakan orangnya.

"Repot apaan. Aku aja tau itu Aisyah waktu wawancara kemarin. Dia ngelamar sendiri. Kamu apa kabar? Kok kurusan, sih?" Gendis mengusap lengan Laras.

Laras tersenyum tipis, ia berkata jika memang mulai mengurangi makan malam karena faktor usia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mertua masa gini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang