Geger satu RT

335 81 7
                                    

💐

Rumah Gendis mendadak ramai dengan kumpulnya semua anggota keluarga. Baik dari pihak Daffa maupun Yasmin.

Ya, akhirnya Gendis tak sabar mau menyidang semua yang terlibat.

Selang dua bulan setelah pernikahan Raffa hal itu terjadi. Kenapa menunggu selama itu? Karena Gendis mau lihat sejauh mana usaha anak dan menantunya memperjuangkan keutuhan rumah tangga.

"Sekarang begini aja. Saya sebagai mertuanya Yasmin juga minta maaf kalau dibilang terlalu ikut campur urusan rumah tangga mereka, tapi ... seandainya ... seandainya posisi Daffa jadi anak Ibu dan diperlakukan begini. Apa Ibu terima?!" tekan Gendis.

"Bu Gendis, kita sebaiknya nggak perlu terlalu dalam mencampuri. Kapan anak-anak bisa paham apa itu rumah tangga kalau apa-apa didikte orang tua!" Ibunya Yasmin coba mengutarakan pendapat.

"Oh, nggak bisa," ujar Gendis dengan telunjuk menggarah ke besannya.

"Daffa sudah sibuk kerja, ya. Capek dijalan juga karena berangkat pun naik motor. Daffa belum punya mobil. Bisa aja sih, saya dan Ayahnya belikan, tapi saya nggak mau. Biar ada usaha Daffa juga. Nggak semua dari kami. Bu ... gini, ya, coba pikir." Gendis mengetuk pinggir keningnya.

"Tugas istri itu apa kalau bukan melayani suami dalam arti luas, bukan perkara ranjang doang, ya. Cuma di sini, Yasmin nggak melakukan itu, ya, Bu. Saya sering sidak ke rumah. Berantakan. Jorok. Bau. Baju kotor di mana-mana. Raja belum dimandiin sampai sore. Selangkangan Raja lecet. Apa maksudnya Bu Besaaannn ...," greget Gendis.

"Maaf Bu, boleh saya coba bertanya ke anak-anak?" sela ayahnya Yasmin tenang.

"Silakan," tukas Gendis sambil mengatur emosinya. Dadanya sudah kembang kempis.

"Daffa, Yasmin. Kalian maunya seperti apa? Di sini ada Raja yang pasti jadi korban jika kalian pisah. Apa nggak repot harus rebutan hak asuh nantinya? Tolong pikirkan dengan kepala dingin." Tatapan ayah Yasmin begitu memohon.

Daffa menatap Raja yang digendong Kirana, tertidur pulas.

"Daffa--"

"Yasmin mau tetap cerai, Yah. Yasmin mau berkarir. Hak asuh Raja biar sama Daffa. Yasmin--"

"Yasmin!" bentak Daffa. Yasmin segera menoleh. "Kamu tega sama Raja, hah?!" Kedua mata Daffa memerah, bibirnya bergetar pelan. "Dia belum ada setahun. Kamu--"

"Cerai aja udah, lah! Emang lo licik ya, Min!" tegur Kirana emosi. "Gue bakal jamin Raja bahagia di sini tanpa Ibunya! Sana lo berkarir jadi MUA atau apapun yang lo mau. Raja nggak bakal tau lo Ibunya. Puas lo!" bentak Kirana.

Ayah dan Ibu Yasmin tampak lemas. Hanya bisa bersandar lemah. Daffa beranjak, ia tak bisa ada di sana lama-lama. Dengan cepat menggunakan sepeda motornya ia pergi. Nanda menelpon Raffa, supaya cari Daffa karena takut hal buruk terjadi.

"Hahhh, mimpi apa saya semalam. Sampai ada jalan cerita keluarga saya begini. Nama tercoreng, makin menjadi lagi karena Daffa cerai. Yasmin, hey ...," panggil Gendis kesal. Yasmin menatap sinis Gendis.

"Saya yang akan urus perceraian kalian. Saya punya teman pengacara. Kamu cukup tunggu akta cerai kalian keluar. Hak asuh Raja full sama Daffa."

Yasmin melengos. Hal itu membuat ayahnya miris dengan sikap putrinya.

"Bu Gendis, Yasmin bisa kan tetap tinggal di rumah sekarang. Sayang rumah itu sudah disewakan untuk waktu yang lama. Nggak mungkin juga Yasmin boyongan pindah langsung ke rumah kami. Apa kata tetangga." Tanpa rasa bersalah, besannya berkata seperti itu.

"Oh, silakan. Tinggali sampai masa sewanya habis. Nikmati sepuas hati kalian. Saya minta dengan hormat, silakan pulang, saya harus menenangkan Daffa. Saya mau cari dia." Gendis dan Agung sudah berdiri. Sementara Kirana membawa Raja ke kamarnya.

"Nda, gimana? Bang Raffa udah bisa di telepon?" Kirana menyelimuti tubuh Raja.

"Udah, Kak. Bang Raffa udah tau Bang Daffa kemana. Ih, aku kesel banget sama Yasmin!" Nanda sudah mengepalkan tangan.

Di luar, mendadak terjadi keributan. Nanda dan Kirana segera berlari keluar rumah. Terlihat Yasmin sedang memaki Gendis. Terjadi adu mulut tak terelakkan.

Bu Sukun bahkan sudah ada di depan rumah, disusul tetangga lainnya.

"Ini mertua jahat! Suka ikut campur rumah tangga anaknya sampai saya harus diceraikan Daffa demi dia!" tunjuk Yasmin.

Baru saja Gendis hendak menyanggah. Nanda sudah mendekat lalu menjambak rambut Yasmin.

"Baek-baek lo ya kalau ngomong. Jangan lo hina Ibu gue yang udah bantuin lo kuntil!" teriak Nanda.

Yasmin menjerit, mencoba melepaskan diri tapi cengkraman di rambut Yasmin sangat kencang.

"Apa?! Mau hina apa lagi, lo!" bentak Nanda.

"Nanda udah, Nak," bujuk ibunya Yasmin. Nanda melepas dengan kasar.

"Bu! Didik mulut anaknya supaya nggak keluarin kalimat sampah! Kalian udah bikin keluarga saya jadi tontonan tetangga. Puas, hah!" Nanda melotot ke Yasmin yang terlihat acak-acakan. "Gue lihat lo di sekitar keluarga gue. Jangan harap gue kasih lo hidup tenang!" Nanda mendorong Yasmin hingga jatuh.

"Bubar!" teriak Agung. Yuni, Soraya dan Endah berlari mendekat tergopoh-gopoh dengan napas ngosngosan.

"Gendis, ayo," ajak ketiganya sambil merangkul Gendis. Gara-gara itu, geger satu RT. Gendis bisa saja stres, ia begitu menjaga nama baik keluarganya selama ini tapi hancur sudah.

***

"Bang, udah, Bang ... lo jangan down begini." Raffa merangkul bahu Daffa yang masih menangis.

"Gue sayang banget sama Yasmin, Raf. Gue cinta. Selama ini berarti dia nggak tulus sama gue," isak Daffa.

"Bang,udah ... berarti dia bukan jodoh lo. Tetap berpikir jernih, Bang. Karir lo lagi naik, pikirin masa depan Raja aja. Jodoh lo bakal dateng sendiri nanti. Manusia pasti pernah gagal, tapi harus bangkit. Oke Bang." Raffa terus mencoba menguatkan Daffa.

"Gue malu sama Ibu." Air mata kembali jatuh. Raffa menjauhkan tangan dari merangkul Daffa. "Gue salah sama Ibu, Raf. Pernikahan gue nggak seharusnya dijalani begini. Gue bego," lirih Daffa sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

"Lambat laun, lo bakal lupa sama ini semua, kok, Bang. Lo mau tau ujian gue nggak, Bang?"

Raffa tersenyum.

"Lo kenapa?" Daffa mendadak penasaran. Di parkiran paling atas gedung kantor Daffa, mereka berbicara.

"Adinda," jeda Raffa seraya tersenyum tipis. "Dia ada kista di ovarium dan harus operasi. Satu harus diangkat. Kemungkinan kita punya anak, kecil."

Daffa menganga, "Raf ...," bisiknya.

Raffa tersenyum. "Baru dua bulan gue nikah. Iseng periksa karena Adinda kalau datang bulan pasti melilit banget, ternyata ada sakit."

"Raf, Ibu perlu tau."

"Iya, niatnya habis dari sini gue mau bahas sama Ibu, tapi lagi pusing sama lo, Bang. Nanti aja. Jangan bikin Ibu kaget lagi."

"Raf, gue ikut sedih." Daffa berlinang air mata sedangkan Raffa hanya menganggukkan kepala.

bersambung,

Mertua masa gini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang