PROLOG

330 39 2
                                    

Tantangan ini sederhana, namun membawa ketegangan yang tidak main-main. Mereka harus mendekati keturunan keluarga Atmadja, keluarga yang tidak hanya kaya raya dan berpengaruh, tetapi juga memiliki reputasi sebagai individu dengan pesona yang sulit ditolak. Dalam dunia sosial mereka, keluarga Atmadja adalah bintang. Setiap langkah mereka diamati, setiap senyuman mereka memikat. Dan kini, mereka, Hema, Ansel, dan Juan harus mendekati tiga lelaki kebanggaan keluarga tersebut-sebuah tantangan yang lebih sulit dari yang bisa dibayangkan.

Untuk memastikan tantangan ini berlangsung adil, Denis, si pencetus ide gila berkedok mengusir kebosanan di jeda mata kuliah ini, memutuskan menggunakan aplikasi Wheel of Names di Google.

"Biar adil, kita pakai ini aja. Nggak ada yang bisa protes kalau udah ada keputusan," ucapnya dengan penuh semangat, jemarinya yang cekatan dengan cepat mengetikkan nama-nama anggota keluarga Atmadja yang akan menjadi target mereka, kemudian memutarnya.

Hema yang duduk di sebelah Denis, tiba-tiba merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Jantungnya berdegup kencang saat roda di layar terus berputar, setiap detik seakan memperlambat waktu. "Putaran pertama buat Hema," ujar Denis dengan nada semangat, ia tampak tak sabar menunggu hasilnya. Mata mereka semua tertuju pada layar ponsel Denis saat roda berputar cepat.

Roda berhenti. Saat nama itu muncul di layar, mata Hema langsung membelalak. Nama yang terpampang jelas di layar, Jevran Nathaniel Atmadja.

"Sial," gumam Hema dengan frustrasi, jari-jarinya menyentuh dahinya seolah mencoba meringankan ketegangan yang tiba-tiba menyerangnya. "Kenapa harus dia?" batinnya. Dari semua pilihan anggota keluarga Atmadja, kenapa harus Jevran, si bungsu yang terkenal paling dingin dan tak terjangkau?

Jevran Nathaniel Atmadja, tak hanya menjadi misteri bagi lingkaran sosial mereka, tetapi juga baginya. Berbeda dengan dua kakaknya, Damian dan Matteo, yang dikenal ramah dan supel, Jevran adalah kebalikan sempurna-pendiam, tenang, dan tak pernah memperlihatkan ekspresi yang berlebihan. Banyak yang menjulukinya sebagai 'kulkas berjalan' karena sikapnya yang dingin dan tak tersentuh, seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri yang tak terjamah oleh orang lain.

"Bukannya dia udah punya cewek?" tanya Hema, mencoba mencari alasan untuk menghindari tantangan ini. Jevran sering terlihat bersama seorang perempuan cantik bernama Cassie-seorang gadis yang katanya adalah sahabatnya sejak kecil. Rumor tentang kedekatan mereka sudah cukup untuk membuat orang lain enggan mendekati Jevran. Jika dia memang sudah punya hubungan dengan Cassie, bukankah usaha mendekatinya hanya akan menjadi omong kosong?

"Cassie maksud lo? Mereka Cuma sahabatan dari kecil. Gas aja, Hem. Jangan bilang lo mau nyerah sebelum mulai," ujar Denis dengan nada menggoda yang membuat Hema melotot ke arah kearahnya dengan pandangan marah.

"Gue? Nyerah? Yang bener aja! Liat aja, gue pasti bisa bikin si kulkas berjalan itu jatuh cinta sama gue," tantang Hema dengan tekad yang menyala di matanya. Ia tahu, ucapan itu tak hanya untuk meyakinkan teman-temannya, tetapi juga dirinya sendiri. Di balik kata-kata penuh percaya diri itu, Hema sadar tantangan ini tidak semudah yang ia katakan.

Hema tahu betul siapa Jevran Nathaniel Atmadja. Bukan hanya sekadar bungsu dari keluarga kaya raya yang terkenal, tapi juga seseorang yang seolah dikelilingi oleh dinding tak kasat mata-tak ada yang bisa menembus sikap dinginnya. Lelaki itu tak pernah terlihat peduli pada hal-hal kecil, apalagi yang menyangkut masalah hati dan cinta.

Jika putaran pertama diberikan kepada Hema, maka putaran kedua akan menjadi target Ansel. Ansel, yang sejak tadi tampak lebih tenang, perlahan menarik senyum tipis di sudut bibirnya. "Kalo Jevran udah sama Hema," ujar Ansel dengan nada santai, "Berarti tinggal kakak-kakaknya aja. Jadi, enggak masalah sih mau Damian atau Matteo." Ia mengangkat bahunya seolah itu bukan hal yang besar. "Ya meskipun gue tau enggak bakal gampang juga, tapi gue yakin enggak akan sesulit Hema. Iya, kan, Ju?" Ansel melirik ke arah Juan, yang hanya mengangguk setuju sambil tersenyum simpul.

Hema, yang mendengar itu, hanya bisa mendengus kesal. "Sialan," gumamnya pelan, cukup keras untuk didengar oleh yang lain. Kata-katanya membuat Ansel, Juan, dan Denis terkekeh puas. Mereka tahu, meskipun Hema adalah sosok yang tangguh, mendekati Jevran bukanlah hal yang bisa dianggap enteng.

Denis, yang sejak awal memimpin permainan ini, kembali menarik perhatian mereka. "Oke, lanjut! Ayo kita lihat siapa target Ansel." Dengan senyum misterius di wajahnya, Denis mengarahkan jari telunjuknya ke ponsel, siap untuk memutar roda nama yang tersisa.

Semua mata tertuju pada layar ponsel Denis, menunggu dengan jantung berdebar siapa nama yang akan keluar untuk Ansel. Putaran roda virtual itu seolah bergerak lebih lambat, membuat ketegangan di udara semakin terasa. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti menit, roda itu berhenti, dan nama Matteo Alexander Atmadja muncul di layar.

Senyum miring terbit di wajah Denis. "Matteo!" serunya, melirik ke arah Ansel yang masih terlihat santai. "Gue rasa lo bakal punya tantangan menarik, Sel."

Ansel, bukannya terkejut atau gugup, malah tampak lebih rileks. Ia tersenyum sambil mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada percaya diri, "Matteo? Oke, gue siap. Berarti Damian di lo ya, Ju?"

Juan mengangguk, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi puas. "Boleh deh, Damian. Meskipun dia enggak gampang juga," ujarnya terkekeh kecil.

Sementara Ansel dan Juan tampak santai menerima tantangan itu, Hema diam-diam mulai merasa gelisah. Meski dari luar ia tampak tenang, pikirannya sudah mulai berlarian ke segala arah. Bayangan tentang Jevran, sosok yang terkenal sebagai pria paling sulit didekati di kampus, kini terus menghantui pikirannya. Semua orang tahu betapa dinginnya Jevran, seolah-olah ia memiliki tembok tebal yang memisahkan dirinya dari orang-orang di sekitarnya. Hema tidak hanya harus mendekatinya, tapi juga harus membuatnya jatuh cinta-tugas yang terasa nyaris mustahil.

Namun, di balik rasa gentar itu, ada rasa penasaran yang terus menggelitik Hema. Mungkin awalnya ini hanya sebuah permainan bodoh di antara teman-temannya-tantangan biasa yang tak punya makna besar. Tapi semakin Hema memikirkannya, semakin ia merasa tertantang. Semakin ia merasa ingin membuktikan bahwa Jevran Nathaniel Atmadja, si enigma tak tersentuh itu, bisa luluh di tangannya. Dia bukan seseorang yang mudah menyerah.

Dengan tekad yang semakin menguat, Hema berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan mundur. Jevran mungkin terlihat seperti sosok yang dingin dan tak peduli, tapi Hema percaya bahwa setiap orang punya celah. Setiap orang punya sisi lembut yang bisa ditemukan, dan ia akan menemukan cara untuk membuka sisi itu.

Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan atau seberapa sulit perjalanan ini, Hema yakin bahwa ia akan berhasil. Di saat yang tepat, ia akan membuat Jevran Nathaniel Atmadja, si 'kulkas berjalan', tak hanya memperhatikannya, tetapi juga jatuh cinta padanya. Dan ketika saat itu tiba, ia akan membuktikan pada semua orang-terutama dirinya sendiri-bahwa tidak ada yang mustahil jika ia benar-benar berusaha. Tantangan ini akan ia menangkan, dan ia tak akan membiarkan apa pun menghalangi jalannya.

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang