Chapter 18

130 43 2
                                    

Matteo segera menutup telepon setelah memberikan perintah, lalu berbalik ke arah Ansel yang terlihat semakin cemas. Melihat wajah pucat pasangannya, Matteo dengan cepat menarik Ansel ke dalam pelukan, mencoba menenangkan kegelisahan yang kini membanjiri tubuhnya. "Sayang, tenang... Hema pasti ketemu. Kita punya banyak orang yang nyari dia sekarang. Jangan panik dulu, oke?" bisik Matteo lembut, meski nada suaranya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa cemas yang ia rasakan. Tangannya mengusap punggung Ansel dengan lembut, mencoba meredakan isakan yang mulai terdengar dari pasangannya.

Namun, semakin Matteo berusaha menenangkan, semakin sulit bagi Ansel untuk menghentikan tangisnya. Ketidakpastian ini membuatnya semakin terpuruk, dan bayangan buruk tentang Hema yang hilang tak bisa ia hapus dari benaknya. "Kalau sampai ada apa-apa sama dia...," ucap Ansel, kalimatnya menggantung, tak sanggup untuk ia lanjutkan.

Di tengah kegugupan dan kecemasan yang mulai menjalar ke seluruh tubuh mereka, Matteo dan Ansel mendengar suara deru mesin mobil yang sangat mereka kenali. Mobil Damian baru saja tiba di pantai.

***

Damian menghentakkan tangannya ke setir mobil dengan keras, rasa frustrasi meluap setelah kehilangan jejak Jevran yang sudah melaju di depan sana. "Sial!" makinya, rahangnya mengeras menahan amarah dan kepanikan yang semakin menyesakkan dada. Setelah mendengar penjelasan Matteo tentang Hema yang menghilang, Jevran bereaksi lebih cepat dari yang mereka bayangkan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Jevran langsung meraih kunci mobil dari tangan Matteo dan melangkah cepat meninggalkan mereka berempat. Damian, Matteo, Ansel dan Juan hanya bisa terpaku, seolah tak percaya Jevran langsung bertindak tanpa menunggu.

"Kemana dia sekarang?" gumam Damian, kepanikan mulai merayap ke dalam suaranya. Ia menatap jalanan di depannya, namun Jevran sudah hilang dari pandangan, menyisakan jejak samar dari mobilnya yang melesat cepat. Di dalam pikirannya, skenario terburuk mulai bermain, menambah tekanan di kepalanya. "Ini pasti ulah salah satu musuh keluarga kita," ucapnya setengah berbisik, mengingat semua konflik lama yang mungkin masih menyimpan dendam.

Di sisi lain, Jevran menghentikan mobilnya dengan gerakan kasar, tak mempedulikan apakah mobil Matteo sudah aman atau belum. Semua yang ada di benaknya hanya satu: menemukan Hema. Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu. Saat ia menjejakkan kaki keluar dari mobil dan memandang ke arah pantai, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya mendidih.

Di sana, di bibir pantai yang seharusnya menjadi tempat yang damai, beberapa bodyguard yang bekerja untuk mereka tergeletak tak berdaya. Tubuh-tubuh mereka bersimbah darah, bercak merah gelap yang mengerikan mencemari pasir putih pantai. Adrenalinnya melonjak. Ia berlari mendekat, matanya langsung tertuju pada salah satu bodyguard yang tampak masih sadar, meski napasnya sudah berat dan tidak teratur. Tubuh lelaki itu penuh dengan luka, dan dari perutnya, darah mengalir deras akibat tembakan yang terlihat parah.

Jevran berjongkok di samping bodyguard yang sekarat itu, wajahnya penuh dengan kegelisahan yang hampir tak bisa ia sembunyikan. "Apa yang terjadi?" Suaranya rendah namun tajam, menggambarkan ketakutan yang semakin menjalari tubuhnya. Ia ingin sekali mengguncang lelaki itu agar segera memberi jawaban, tetapi tubuh pria itu terlalu lemah untuk ditangani dengan kasar.

Dengan susah payah, bodyguard itu membuka mulutnya, namun hanya desahan pelan yang keluar, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh ombak di dekat mereka. "T-tuan.... m-mereka membawa... tuan Hema..." ucapnya terputus-putus, tubuhnya bergetar hebat akibat kehilangan darah yang begitu banyak.

Jevran merasakan amarah menggelegak di dalam dirinya. Ia mengepalkan tangannya dengan keras, rahangnya mengeras seiring dengan kepanikan yang semakin membuncah. "Kemana mereka membawanya?!" tanyanya lagi, suaranya terdengar berat dan tertekan, hampir seperti raungan. Matanya tajam menatap pria yang tergeletak di depannya, berharap ada jawaban yang bisa memberinya petunjuk.

Bodyguard itu mengangkat tangannya dengan lemah, menunjuk ke arah laut. "Ke... laut..." bisiknya pelan sebelum tangannya jatuh lemas ke samping tubuhnya yang tak lagi bergerak. Napasnya berhenti, dan matanya yang setengah terbuka menatap kosong ke langit, menandakan bahwa pria itu sudah mengembuskan napas terakhirnya.

Jevran menahan diri agar tidak berteriak marah, la menatap laut yang kini terlihat begitu mencekam, bayangan Hema yang berada dalam bahaya membuat seluruh tubuhnya kaku. Matanya menangkap sebuah jetski yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia menunduk dan melihat pistol yang terselip di balik saku bodyguard yang sudah tak bernyawa. Dengan cekatan, ia meraih pistol tersebut, memeriksanya sebentar sebelum memasukkannya ke balik jaketnya.

Tanpa berpikir panjang, Jevran segera berlari ke arah jetski, berharap itu adalah satu-satunya kesempatan untuk mengejar Hema sebelum terlambat. Tanpa membuang waktu, ia menyalakan mesin jetski, deru mesinnya menggema di udara, membawa kepanikan yang semakin mencekam.

Tanpa memedulikan bahaya, Jevran melesat di atas jetski, matanya fokus ke lautan yang luas. Di dalam hatinya, hanya ada satu hal yang ia pikirkan: menyelamatkan Hema nya, apapun yang terjadi.

***

Jevran mengendarai jetski dengan kecepatan penuh, memotong gelombang laut yang bergolak tanpa peduli pada percikan air yang membasahi pakaiannya. Angin kencang menerpa wajahnya, membuat rambut hitamnya berantakan, namun itu tak mengurangi tekadnya yang semakin membara, Ketika pandangannya menangkap sebuah pulau di kejauhan, rasa waspada semakin meningkat. Pulau itu tampak terisolasi, seperti hutan belantara yang mengambang di tengah laut, kapal asing yang terlihat mencurigakan terparkir di dekat sana.

Tanpa membuang waktu, Jevran mengarahkan jetski-nya ke arah pulau itu. Ia mendekati bibir pantai dengan gerakan cekatan, menepikan jetski dan melompat turun ke pasir pantai yang basah. Ia menatap kapal yang terparkir tak jauh darinya, mengamati setiap sudut dengan tajam, memastikan tidak ada gerakan mencurigakan yang dapat mengancam langkah berikutnya.

Namun, belum sempat ia melangkah lebih jauh, suara langkah kaki dari belakang memecah keheningan. Gerak refleksnya bekerja secepat kilat, tubuhnya berputar dengan kecepatan yang terlatih. Seorang pria besar bertato mendekatinya dengan ekspresi ganas, tangan besarnya terangkat untuk melayangkan pukulan ke arah Jevran. Tanpa ragu, Jevran menangkis serangan itu dengan lincah, tangan kirinya menangkap pergelangan pria itu, lalu dengan gerakan cepat, ia menghantamkan sikunya ke perut lawan.

Pria bertato itu terhuyung mundur, namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Jevran menyerang lagi, kali ini dengan tendangan keras yang menghantam tepat di ulu hati. Pria itu terhempas ke belakang dengan suara desahan keras, tubuhnya ambruk ke pasir, namun belum sempat ia bangkit, Jevran sudah berada di atasnya. Dengan tatapan dingin dan penuh amarah, Jevran menarik kerah pria itu dengan kasar, memaksa wajah mereka berhadapan. Tanpa basa-basi, Jevran melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajah lawannya. Pukulan keras menghantam rahang dan hidung pria itu, membuat darah segar mengucur dari wajahnya yang kini sudah lebam.

Pria itu mencoba melawan, namun kekuatannya tak sebanding dengan Jevran yang penuh amarah. Jevran melempar tubuh pria bertato itu kembali ke atas pasir, kali ini lebih kasar. Tubuh pria itu tergeletak tak berdaya, napasnya tersengal-sengal, sementara wajahnya sudah tak lagi bisa dikenali karena lebam dan darah yang mengalir. Jevran menginjak dada pria itu dengan kuat, menatapnya dengan kebencian yang mendalam. "Dimana Hema, sialan?!" Jevran menggeram, suaranya rendah dan penuh ancaman, namun pria itu hanya bisa mengerang tanpa kata.

Tak ingin membuang waktu lebih lama dengan pria tak berguna itu, Jevran melepaskan injakannya dan melangkah cepat ke arah hutan di pulau itu, bertekad menemukan Hema. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sesuatu yang kecil dan mengkilap menarik perhatiannya di atas pasir. Ia menunduk, matanya membulat saat melihat apa yang tergeletak di sana-cincin pernikahan Hema. Cincin yang selalu Hema kenakan di jarinya, kini tergeletak tak berdaya di atas pasir pantai.

Kemarahan yang sebelumnya sudah menguasai Jevran kini memuncak. Napasnya terengah, kepalan tangannya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Bangsat!" Jevran mengumpat keras, amarah dan rasa putus asanya bercampur menjadi satu. Cincin itu adalah tanda bahwa Hema memang ada di sini, namun kini berada dalam bahaya besar.

Tanpa berpikir panjang, Jevran memasukkan cincin itu ke dalam sakunya dan berlari lebih cepat ke arah hutan, matanya menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan Hema. Ketegangan semakin terasa di udara, dan Jevran tahu, waktu sedang berpacu dengan dirinya. Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan Hema-dan siapa pun yang berani menyentuhnya akan membayar mahal untuk itu.





TBC...

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang