Chapter 1

208 38 0
                                    

Suara ketukan sepatu kulit Jevran bergema di sepanjang lantai marmer yang dingin dan mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit ruangan megah. Setiap langkahnya terasa mantap, meski raut wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan yang terpendam. Seolah setiap orang di rumah besar itu tahu betapa ia sedang menahan diri.

Para pelayan yang tadinya berlalu-lalang di lantai bawah seketika membeku. Masing-masing dari mereka dengan cepat membungkukkan badan, menyapa dengan sopan kepada sosok yang baru saja menuruni tangga. Seorang pelayan muda, dengan mata penuh kekaguman, berbisik pelan kepada rekannya yang berdiri di sebelahnya. "Astaga, tuan muda Jevran sangat tampan," gumamnya dengan nada kagum. Wajahnya memerah, tak mampu menyembunyikan kekagumannya.

Pelayan lain yang mendengar itu mengangguk setuju, matanya juga terpaku pada Jevran. "Iya, hanya melihatnya dari jauh saja sudah membuat jantungku berdetak lebih kencang." Kedua pelayan muda itu terus berbisik di antara diri mereka sendiri, terlalu terpesona untuk memperhatikan keadaan sekitarnya. Mereka tak menyadari bahwa sosok wanita tua, yang dikenal sebagai kepala pelayan, Bi Inah, telah memperhatikan tingkah laku mereka dari kejauhan. Dengan langkah tegas, Bi Inah mendekati mereka, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang jelas.

Tanpa sepatah kata pun, Bi Inah menjulurkan tangannya dan menarik telinga kedua pelayan muda itu secara bergantian, membuat mereka terperanjat. "Akh! Bibi!" salah satu dari mereka meringis kesakitan.

"Apa yang kalian lakukan? Cepat kembali ke dapur dan selesaikan pekerjaan kalian!" Bi Inah menegur dengan nada tegas. Ia menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan, seolah tak habis pikir dengan tingkah laku pelayan-pelayan muda itu, ia berbalik dan mengarahkan pandangan tajam ke arah mereka sebelum melangkah pergi, meninggalkan kedua pelayan muda yang kini merasa malu dan salah tingkah.

Sementara itu, di sisi lain ruangan, Jevran tampak mengernyit kesal. Raut wajahnya semakin menunjukkan tanda-tanda frustrasi, dengan rahangnya yang semakin mengeras. Ketika ia mendekati dua lelaki bertubuh besar yang mengenakan setelan jas hitam, mereka langsung menundukkan kepala dengan rasa hormat, meskipun tubuh kekar mereka terlihat tegang di bawah tatapan dingin Jevran. "Minggir," perintah Jevran dengan nada tajam, matanya menusuk ke arah mereka berdua.

Salah satu dari mereka, dengan ragu, mengangkat kepala sedikit dan menjawab dengan suara rendah namun hormat, "Maafkan kami, Tuan Muda. Tuan dan Nyonya besar telah memerintahkan kami untuk selalu mendampingi Anda ke mana pun Anda pergi."

Mendengar hal itu, raut wajah Jevran berubah semakin gelap. Amarah yang sejak tadi berusaha ia kendalikan kini tampak mulai mendidih di dalam dirinya. Ia memicingkan matanya, menatap kedua bodyguard itu dengan lebih tajam, seolah ingin menembus keberanian mereka hanya dengan pandangan. "Aku tidak peduli apa yang mereka perintahkan," ucapnya pelan namun penuh ancaman. Suaranya sedingin es, menusuk tepat ke inti hati mereka. "Ini hidupku. Aku berhak punya privasi."

Kedua pria itu tampak semakin gelisah, tapi mereka tidak berani membantah perintah Jevran. Mereka hanya berdiri di tempat, menunggu instruksi lebih lanjut.

Jevran melangkah mendekat, mengurangi jarak antara dirinya dan kedua bodyguard itu. Rahangnya semakin mengeras saat ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih rendah, namun lebih mengancam. "Jika aku mendengar satu langkah pun mendekat ke arahku, aku akan menganggap itu sebagai persetujuan bahwa kalian rela kehilangan nyawa di tanganku saat ini juga."

Pernyataan itu, meski tidak diucapkan dengan nada tinggi, cukup untuk membuat kedua bodyguard besar itu pucat. Dengan segera, mereka menunduk lebih dalam dan bergeser ke samping, membuka jalan untuk Jevran.

***

Bugatti La Voiture Noire berwarna hitam mengkilap itu terparkir dengan elegan di depan sebuah swalayan 24 jam yang sepi. Udara malam terasa dingin, dan lampu jalan memberikan cahaya temaram pada kendaraan mewah tersebut. Jevran turun dari mobil, menyembunyikan sebagian wajahnya di balik topi hitam yang dikenakannya. Kakinya melangkah mantap menuju pintu otomatis swalayan, yang terbuka begitu ia mendekat.

Di dalam, ia langsung meraih sekaleng soda dari rak pendingin tanpa membuang banyak waktu. Langkahnya ringan menuju kasir, dan dengan cepat ia menyelesaikan pembayaran. Semua berjalan biasa saja, hingga saat ia keluar dari swalayan, sebuah teriakan memecah kesunyian. "Hei, nak! Awas!"

Suara panik itu membuat Jevran langsung berbalik. Hanya sepersekian detik sebelum ia menyadari seorang pria bertopeng meluncurkan serangan dengan pisau terhunus ke arahnya. Refleksnya tajam-Jevran menangkis serangan itu dengan tangannya, memutar pergelangan tangan penyerang hingga pisau hampir terlepas. Rasa panas mengalir di nadinya, amarahnya membara dalam sekejap.

Tanpa berpikir panjang, Jevran membalas dengan serangan cepat. Pukulan keras mendarat di wajah penyerang, diikuti dengan tendangan bertubi-tubi yang membuat sosok bertopeng itu terdorong ke belakang. Napas Jevran terengah, tetapi ia tidak berhenti. Tangannya dengan gesit bergerak, siap untuk merobek topeng yang menutupi identitas penyerangnya. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Asap tebal dan putih tiba-tiba mengelilingi mereka. Asap itu menyelimuti area dengan cepat, menghalangi pandangan Jevran yang sudah penuh kewaspadaan. Ia mundur selangkah, mencoba mengibaskan asap dari wajahnya dengan tangan, tapi tak ada gunanya. "Sialan!" umpatnya dalam hati. Matanya berusaha fokus, namun kabut putih itu terus menutupi segalanya.

Di tengah kekacauan itu, matanya melebar ketika melihat wanita tua yang tadi memperingatkannya kini terduduk di atas aspal. Lengan wanita tua itu berlumuran darah, tampak memerah di bawah sinar lampu jalan yang redup. "Nenek!" seru Jevran, suaranya bergetar antara cemas dan marah. Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekati wanita tua itu, kepanikannya semakin meningkat.

Jevran berlutut di samping wanita tua yang kini gemetaran dan tampak kesakitan. "Nenek, apa yang terjadi?" tanyanya, meskipun jelas ia sudah melihat luka mengerikan di lengan wanita itu. Asap masih menyelimuti mereka, tetapi Jevran berusaha fokus pada korban di depannya. Tangannya bergetar saat ia mengeluarkan ponselnya dari saku, jari-jarinya bergerak cepat mencari nomor darurat. Detik-detik berlalu dengan cepat, namun terasa lambat dalam suasana tegang itu.

Jevran menoleh ke belakang, berharap bisa melihat penyerangnya, tapi sosok pria bertopeng itu sudah menghilang di balik kabut. Asap yang muncul tiba-tiba sama misteriusnya dengan kepergian si penyerang. Keheningan kembali menyelimuti malam, hanya menyisakan suara pelan desahan napas wanita tua yang terluka di depannya.

***

Jevran baru saja melangkah keluar dari mobil ketika seseorang tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya, menghentikan langkahnya seketika. Dengan cepat, tatapan dingin Jevran jatuh pada sosok yang tak diundangnya itu-seorang pemuda dengan senyum lebar terpampang di wajahnya. Mata pemuda itu besar dan tampak berbinar penuh harap, seolah-olah pertemuan mereka adalah momen yang sudah ia tunggu-tunggu.

"Hai, gue boleh kenalan sama Lo enggak?" tanya pemuda itu dengan nada riang, menyertai kalimatnya dengan uluran tangan yang penuh keyakinan. Namun, Jevran hanya melirik sekilas tangan yang terulur itu, nyaris tanpa ekspresi. Tanpa sepatah kata, ia kembali melangkahkan kakinya, sepenuhnya mengabaikan keberadaan pemuda itu. Sikap acuh tak acuhnya begitu kentara, seakan perkenalan tadi hanyalah hembusan angin yang tak layak diperhatikan.

Pemuda itu, yang tak menyerah dengan mudah, langsung melangkah maju lagi, tak ingin dilewatkan begitu saja. "Gue Hema Adrian Pratama, kakak tingkat Lo semester 5! Panggil aja Hema!" serunya lantang dari belakang, berusaha menarik perhatian Jevran yang tetap tak menoleh sama sekali. Langkah kaki Jevran justru semakin cepat, menjauh tanpa sedikitpun memberi respon.

Sambil melihat punggung Jevran yang semakin menjauh, Hema menghela napas panjang, lalu mendengus pelan. "Serius? Gue diginiin," meski demikian, ia tak tampak patah semangat. Dengan cepat, ia merapatkan jaketnya dan menyemangati dirinya sendiri. "Sabar, Hema, nggak apa-apa. Lo pasti bisa. Ini baru awal," bisiknya pelan, seolah memberi dorongan kecil kepada dirinya sendiri untuk tidak menyerah.

Hema tetap berdiri di tempatnya, menatap arah Jevran yang kini hampir menghilang di tengah keramaian. Sinar matahari sore menyinari wajahnya yang masih dipenuhi harapan, meskipun pertemuan pertama mereka tidak berjalan sesuai ekspektasi. Namun, di balik sikap tenangnya, Hema yakin bahwa suatu hari nanti, dia akan berhasil membuka pintu komunikasi dengan Jevran-entah bagaimanapun caranya.





TBC...

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang