Chapter 5

187 36 1
                                    


Jam menunjukkan pukul satu dini hari ketika Hema akhirnya melangkahkan kakinya memasuki rumah yang ia tinggali bersama neneknya. Udara dingin malam hari masih menggantung di udara, membuatnya mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya. Wajahnya tampak lelah setelah bekerja seharian, tapi kelelahan itu segera berubah menjadi keterkejutan saat matanya menangkap sesuatu yang tak biasa di ruang tamu.

Di atas meja ruang tamu yang biasanya kosong, kini terdapat beberapa paperbag berwarna putih, tersusun rapi dengan logo yang sangat familiar dan mewah. Hema berhenti di ambang pintu, matanya membelalak lebar saat mengenali logo yang tertera di sana. "Prada..." gumamnya pelan, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ragu-ragu, Hema berjalan mendekat dan mengulurkan tangannya untuk meraih salah satu paperbag. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuhnya, seolah benda itu terlalu berharga untuk disentuh. Dia membuka perlahan dan menarik keluar isinya, sebuah baju hangat berwarna abu-abu yang terasa lembut di tangannya. Keningnya berkerut, matanya tidak bisa lepas dari logo mewah yang tersemat pada label pakaian itu. Ia tahu pasti, harga baju ini tentu tidak main-main. "Bagaimana bisa ada barang-barang semahal ini di sini?" pikirnya bingung.

Masih diliputi rasa penasaran, Hema melangkah ke dapur, berharap neneknya bisa memberikan jawaban atas semua ini. Namun keterkejutannya belum berakhir. Di meja makan, Hema melihat jajaran makanan mahal yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Piring-piring mewah tertata rapi dengan makanan yang hanya bisa ia bayangkan ada di restoran berbintang lima atau hotel mewah. Mata Hema mengerjap tak percaya. "Apa-apaan ini...?" bisiknya pelan.

"Kau sudah pulang?" Suara lembut dan penuh kehangatan sang nenek tiba-tiba terdengar dari belakangnya, membuat Hema sedikit tersentak. Ia menoleh cepat dan mendapati neneknya, Lee Jiha, berdiri di dekat pintu dapur, tersenyum lembut seperti biasanya.

"Nenek..." Hema berusaha mengumpulkan kata-katanya. "Ini semua...?" Tangan Hema menunjuk ke arah paperbag dan makanan di meja makan. "Apa yang terjadi?"

Neneknya melangkah mendekat dengan tenang, membantu Hema melepaskan jaket tebalnya sambil tersenyum. "Itu dari pemuda tampan yang nenek ceritakan padamu waktu itu," ujar neneknya lembut, sambil melipat jaket Hema dengan telaten.

Hema terdiam sejenak, mencoba mengingat cerita neneknya beberapa hari yang lalu. "Dia... datang kemari lagi?" tanya Hema, masih bingung. Ingatannya kembali pada kejadian ketika neneknya mendapatkan luka gores di lengan kanannya beberapa hari lalu. Saat itu, Hema sangat panik ketika pulang dari bekerja dan melihat neneknya terluka. Namun, neneknya dengan tenang mengatakan bahwa itu hanya kecelakaan kecil. Dia juga bercerita bahwa seorang pemuda yang membawanya berobat dan bahkan mengantarnya pulang dengan selamat.

Melihat kebingungan cucunya, Lee Jiha tersenyum lembut, seolah sudah mengantisipasi reaksi Hema. "Ya, dia kembali hari ini," jawabnya pelan sambil duduk di kursi dekat meja makan. "Nenek meminta dia untuk sering mengunjungi nenek jika dia punya waktu luang, dan dia menepati janjinya hari ini. Dia pemuda yang baik dan sopan. Tapi dia tidak tahu nenek punya cucu," lanjut neneknya dengan tawa kecil yang penuh kasih sayang.

Hema menatap neneknya dengan kening berkerut. "Dia tidak tahu... nenek punya cucu?" tanya Hema, suaranya terdengar samar, tapi ada kekaguman dalam nada suaranya. Pemuda itu membeli barang-barang mewah dan makanan mahal hanya untuk neneknya? "Jadi... semua ini... dia beli untuk nenek?"

Neneknya mengangguk, tersenyum hangat sambil mengelus tangan Hema dengan penuh kelembutan. "Itulah sebabnya dia hanya membeli beberapa pakaian hangat untuk nenek kenakan, dan makanan ini, dia bilang ini hadiah kecil agar nenek tidak kelelahan memasak," jelasnya sambil memandang meja makan yang dipenuhi makanan-makanan lezat.

"Dia pasti orang yang sangat kaya," gumam Hema dalam hati, pandangannya kembali tertuju pada barang-barang mewah di sekelilingnya. Makanan di atas meja bahkan tampak seperti hidangan dari restoran berbintang lima yang hanya pernah dilihatnya di televisi. Siapa sebenarnya pemuda itu?

Neneknya seakan bisa membaca pikiran Hema. "Nenek akan memperkenalkan kalian nanti saat dia datang kembali. Dia sangat sopan. Nenek yakin kau akan suka padanya," ujarnya dengan tawa kecil. "Sekarang, ayo bersihkan dirimu, makanlah sedikit, lalu segera tidur. Kau pasti lelah."

Hema tersenyum tipis, meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang pemuda misterius itu. Siapa dia sebenarnya, dan mengapa dia begitu peduli pada neneknya? Tapi untuk saat ini, Hema memutuskan mengikuti saran neneknya. Ia meraih lengan neneknya dengan lembut dan berkata, "Baik, Nek. Terima kasih sudah menungguku." Sambil berjalan menuju kamar mandi, Hema tidak bisa mengusir bayangan tentang pemuda itu dari pikirannya. Lelaki kaya misterius yang tampaknya begitu peduli pada neneknya.

***

Ansel berdiri di samping halte bus yang berada tidak jauh dari kampus mereka. Malam itu terasa dingin, dan lampu-lampu jalan yang redup menambah suasana sepi di sekitar halte. Sesekali, Ansel melirik jam tangannya, memastikan bahwa ia tidak terlambat. Ia tidak perlu menunggu lama, karena dari kejauhan, suara raungan mesin motor mulai terdengar, disertai bayangan dua mobil Jeep hitam yang melaju pelan tepat di belakang motor yang dikenalnya-motor Matteo.

Kening Ansel berkerut heran ketika melihat iring-iringan mobil mewah itu. Saat Matteo berhenti tepat di sampingnya dan membuka helm, Ansel hanya bisa menatap bingung. "Sorry lama," ucap Matteo sambil menepuk bahu Ansel singkat, wajahnya tampak sedikit lesu setelah melepas helmnya.

Ansel hanya mengangguk santai, meski rasa ingin tahunya belum sepenuhnya terjawab. "Santai, gue juga baru sampai," jawabnya ringan, meski pandangannya masih terus tertuju pada dua mobil Jeep yang kini berhenti tidak jauh dari mereka, sekitar beberapa meter di belakang.

Matteo, yang menyadari arah pandangan Ansel, menghela napas dalam. "Itu... bodyguard," jelas Matteo, suaranya terdengar agak berat, seolah ada keengganan yang ia pendam. "Suruhan orang tua gue," lanjutnya, mencoba memberikan penjelasan meski wajahnya tampak sedikit masam. "Jujur aja, gue enggak suka," Matteo menghela napas panjang, suaranya rendah. "Rasanya gue kayak dikekang. Sorry kalau lo jadi enggak nyaman juga."

Mendengar itu, Ansel justru tertawa kecil. "Gue sih fine-fine aja," jawabnya sambil menepuk pundak Matteo ringan. "Orang tua lo pasti punya alasan kan ngelakuin itu. Mungkin mereka Cuma khawatir sama lo. Enggak apa-apa, gue ngerti kok."

Meski begitu, Matteo tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Iya, gue ngerti mereka sayang sama gue, tapi..." Matteo berhenti sejenak, menatap jalan kosong di depannya, suaranya semakin pelan. "Kadang gue ngerasa kayak burung di dalam sangkar. Enggak bisa bebas ke mana-mana tanpa mereka ngikutin gue."

Ansel hanya diam mendengarkan, tetapi ada pemikiran yang perlahan-lahan terlintas di benaknya, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepala Ansel, dan senyum kecil mulai terbit di bibirnya. Dengan nada penuh semangat, Ansel mencondongkan tubuh sedikit ke arah Matteo, berbisik pelan, "Lo bisa ngebut kan bawa motornya?"

Matteo tampak sedikit bingung mendengar pertanyaan itu, tapi tetap mengangguk yakin. "Ya, bisa lah," jawabnya singkat, meski rasa penasaran mulai menggelayuti pikirannya.

Ansel menyeringai, matanya berkilat penuh rencana. "Kalau gitu, ikutin gue. Kita bisa lewat jalan tikus yang enggak bisa dilewatin mobil-mobil gede," ujarnya penuh antusias sambil mengenakan helmnya kembali.

Matteo menatap Ansel sejenak, terkejut dengan ide spontan itu, tapi kemudian tanpa berpikir dua kali, Matteo mengikuti langkah Ansel, mengenakan kembali helmnya, menyalakan mesin motor, dan bersiap untuk mengikutinya dari belakang.

Mereka melaju di jalan yang sepi, suara deru motor memecah kesunyian malam. Ansel yang berada di depan mempercepat lajunya, melewati jalan-jalan sempit di sekitar area kampus, membuat Matteo harus mengikuti dengan cermat setiap manuver yang dilakukannya. Matteo terkagum-kagum melihat cara Ansel membawa motornya. Gerakan Ansel begitu lincah, seperti sudah sangat terbiasa dengan jalanan ini. Setiap tikungan dan belokan dilalui dengan kecepatan yang tepat, membuatnya berhasil menyalip beberapa kendaraan lain dengan mudah.

Senyum lebar tak bisa disembunyikan dari wajah Matteo. Bukan hanya karena adrenalin yang memacu, tetapi juga karena pandangannya yang sesekali melirik kaca spion. Tidak ada lagi jejak dua mobil Jeep hitam yang tadi mengikutinya. Para bodyguard tidak mampu mengikuti mereka di jalanan kecil ini, dan itu membuat Matteo merasa bebas.

Ansel terus memimpin, semakin cepat, menavigasi setiap tikungan dengan presisi yang menakjubkan. Matteo tetap di belakangnya, merasakan angin malam menerpa wajahnya, sementara beban pengawalan yang selama ini menghantuinya terasa hilang. Sekarang hanya ada dia, Ansel, dan kebebasan yang menyertainya di sepanjang jalan malam ini.



TBC...

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang