Chapter 2

160 37 0
                                    

Matteo mengernyit ketika sebuah kaleng soda tiba-tiba disodorkan tepat di depan wajahnya. Ia mendongak, matanya bertemu dengan pemuda yang berdiri di depannya, mengulurkan sekaleng soda sambil tersenyum.

"Buat gue?" tanya Matteo, suaranya terdengar setengah ragu. Meski begitu, tangannya tetap terulur, menerima kaleng soda tersebut.

"Iya, siapa lagi selain lo yang duduk di sini," balas pemuda itu sambil ikut duduk di samping Matteo, gerakannya santai namun penuh percaya diri. Matteo menatap pemuda itu dengan sedikit kebingungan. Melihat ekspresi bingung Matteo, pemuda tersebut hanya terkekeh kecil, seolah menikmati kebingungan itu. "Gue Ansel Evander Pradipta. Lo bisa panggil gue Ansel," katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Matteo, yang merasa sedikit terhibur oleh keceriaan Ansel, menyambut uluran tangan itu dengan hangat.

"Matteo Alexander Atmadja," balas Matteo memperkenalkan diri, menyebutkan nama lengkapnya yang membuat Ansel mengangguk pelan seolah-olah sudah tahu sebelumnya.

"Gue tahu kok. Siapa sih yang nggak tahu Lo?" ujar Ansel dengan nada sedikit bercanda, membuat Matteo terkekeh pelan.

"Gue terkenal Cuma gara-gara marga keluarga aja," Matteo menambahkan, menyesap sedikit soda yang baru saja diterimanya. Ia memang sudah terbiasa dengan perhatian berlebih karena nama keluarganya yang besar.

Ansel tersenyum tipis mendengar pernyataan Matteo, lalu, hampir seperti bisikan yang samar, dia berkata, "Lo cakep juga sih."

"Heum? Lo bilang apa tadi?" Matteo menoleh ke arahnya dengan dahi sedikit berkerut, tak yakin mendengar ucapan Ansel yang begitu pelan.

Ansel hanya menggeleng kecil, masih dengan senyuman yang sama terbit di bibirnya. "Nggak, nggak. Nggak ada apa-apa." Ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan sebelum Matteo bisa bertanya lebih lanjut. "Lo anak motor ya? Gue sering lihat lo bawa motor ke kampus. Di antara saudara-saudara lo yang lain, Cuma lo yang sering kelihatan bawa motor."

Matteo mengangkat bahu. "Enggak juga, tapi gue emang suka sama motor. Buat gue, motor lebih simple aja," jawabnya dengan santai sambil meneguk sodanya, merasa percakapan mereka mulai nyaman.

Ansel mengangguk, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia tertarik pada topik itu. "Kalau lo suka motor, bisa dong ikut gue ke arena balapan? Gue sering nongkrong di sana. Seru, loh," ujar Ansel dengan nada santai, tapi ada kilatan antusiasme di matanya.

Ucapan Ansel langsung membuat Matteo tersedak sodanya. "Lo... anak motor?" tanya Matteo, ekspresinya dipenuhi ketidakpercayaan. Wajah pemuda di sampingnya yang terlihat terlalu rapi dan manis sepertinya tidak cocok dengan bayangan Matteo tentang dunia motor.

Ansel tertawa kecil melihat reaksi kaget Matteo. "Nggak kelihatan ya? Gue emang terlalu manis buat jadi anak motor sih," ucapnya percaya diri, senyum jahil muncul di wajahnya. Matteo hanya mendengus pelan, menggelengkan kepala sambil menahan senyum.

"So... mau ikut atau...." Ansel kembali menantang, menatap Matteo dengan pandangan penuh harap.

Tanpa menunggu Ansel menyelesaikan kalimatnya, Matteo langsung menjawab. "Boleh deh," katanya, sedikit tersenyum, merasa tertarik dengan ajakan itu meski awalnya ragu. Tanpa Matteo sadari, Ansel tampak sangat puas dengan keberhasilannya mengajak Matteo masuk ke dunianya.

***

Tepuk tangan menggema di seluruh taman yang terletak di samping Fakultas Bisnis. Juan baru saja menyelesaikan lagunya dengan penuh penghayatan, dan ketika ia membungkuk singkat untuk menyampaikan terima kasih kepada para pendengar yang kebetulan mendengarnya bernyanyi, senyumnya merekah.

Senyum tipis itu semakin melebar saat ia mendengar bisikan-bisikan kagum dari para mahasiswa di sekitarnya. Mereka jelas terpesona oleh keindahan suara yang baru saja mengalun. Di dalam hati, Juan merasa bangga dan saat ia hendak melangkah pergi tiba-tiba, suara lantang memecah suasana tenang. "Tunggu!" Seorang pemuda berdiri di belakang Juan, menciptakan keheningan yang hampir mencekam. Semua orang seolah menahan napas, dan bisikan kagum yang sebelumnya ditujukan untuk Juan dengan cepat berubah menjadi riuh ketika orang-orang menyadari bahwa Damian Valentino Atmadja, berada di sana, berdiri beberapa langkah di belakang Juan.

Juan berbalik, menatap Damian dengan tatapan bertanya-tanya. "Ya?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.

"Gue enggak mau basa-basi," Damian menjawab, langsung mengarahkan pandangannya yang tajam kepada Juan. "Jujur aja, suara lo bagus banget, dan gue tertarik untuk minta lo gabung ke grup band gue, kalau lo mau," Tanpa ragu, Damian langsung menyampaikan maksudnya.

Juan terdiam, berusaha keras menahan sudut bibirnya agar tidak terangkat menjadi senyuman lebar. Dalam pikirannya, ia sedang mencerna tawaran itu. "Dapet apa gue?" tanyanya, mengangkat alisnya sambil menunggu jawaban.

Damian mengangguk, sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. "Whatever you want," balasnya pelan, matanya yang tajam menatap Juan seolah menunggu jawaban yang pasti.

"Sialan, cakep banget anjing," Juan membatin, hatinya berdebar melihat senyuman menawan yang terpancar di wajah Damian. Ia lantas menggeleng pelan, menyadarkan diri dari pemikiran liar yang melintas di benaknya. "Oke, gue mau," ujarnya tanpa ragu, dan mendengar jawabannya, Damian tampak sangat puas, senyumnya semakin lebar.

"Ini, nomer telepon gue," Damian mengatakan sambil menyerahkan sebuah kartu nama dengan gestur santai namun penuh perhatian. "Lo bisa tanya apa aja yang perlu lo tanyain. Gue tunggu di ruang vokal fakultas bisnis besok, jam 1 siang," ujarnya dengan nada percaya diri sebelum melangkah pergi, meninggalkan Juan dan kerumunan yang masih terpesona.

Juan memandangi kartu nama di tangannya. "Anjir, itu beneran Damian?!" seru seseorang dari kerumunan, suaranya penuh kekaguman.

"Beruntung banget dia diminta gabung langsung sama Damian," bisik mahasiswa lainnya, menyemarakkan suasana dengan sorakan dan komentar penuh kekaguman. Bisikan-bisikan kagum dan kaget orang-orang di sekeliling Juan semakin mengalir, dan senyum bangga di wajahnya semakin melebar. "Langkah awal beres," gumam Juan pelan, matanya memandang deretan angka yang ada di kartu yang tadi Damian berikan.

***

Cassie tertawa kecil saat melihat raut wajah kesal Jevran yang tak bisa ia sembunyikan. Mereka berdua berdiri di lobi keberangkatan bandara, tempat yang dipenuhi hiruk-pikuk kesibukan. Jevran mengantar Cassie yang akan terbang ke Jepang untuk melangsungkan acara pertunangannya di Jepang.

"Sudahlah, Jev. Paman dan bibi melakukan ini untuk melindungimu," ujar Cassie dengan lembut, berusaha meredakan emosi Jevran yang tampak jelas dari wajahnya. Cassie tahu betapa Jevran benci dikawal seperti ini. "Lagipula, kak Damian dan kak Matteo juga mendapatkan penjagaan yang sama," tambahnya lagi, mencoba mengingatkan Jevran bahwa dia bukan satu-satunya anggota keluarga yang harus menghadapi pengawasan ketat ini. Namun, Jevran hanya bisa menghela napas panjang.

Beberapa langkah di belakang mereka, delapan orang berjas hitam berdiri tegak, mengawasi setiap sudut area dengan seksama. Para bodyguard itu, dengan postur dan ekspresi tegas, menjaga dua anak muda tersebut dari segala ancaman yang mungkin saja datang. Kehadiran mereka yang tak kenal kompromi membuat Jevran merasa semakin terkurung. Kehadiran penjagaan yang ketat ini, meski untuk perlindungannya, selalu membuatnya muak.

Jevran tersenyum tipis, walaupun dalam hatinya masih tersisa sedikit rasa jengkel. "Cepatlah pulang," ujarnya lembut, tangannya mengusap kepala Cassie dengan penuh kasih.

Cassie melangkah maju, merangkul Jevran dalam pelukan erat. "Aku pasti pulang segera setelah pertunangan selesai. Ayah dan ibu pasti sudah menungguku di sana," katanya sambil melepaskan pelukan. Meski suasana hati Jevran masih terganggu dengan kehadiran para bodyguard, namun dia tidak bisa menahan rasa bangga terhadap sahabatnya yang akan segera menjalani fase penting dalam hidupnya.

Cassie menatap Jevran dengan tatapan penuh makna. "Aku akan segera memperkenalkanmu dengannya," ujar Cassie, memberikan harapan bahwa dia ingin Jevran mengenal calon tunangannya setelah semuanya berjalan lancar. Jevran hanya mengangguk, memberi persetujuan tanpa banyak kata.

"Bye, Jevi!" seru Cassie dengan ceria, melambaikan tangan sembari berjalan semakin jauh menuju gerbang keberangkatan. Dua orang pelayan yang mengikutinya sejak tadi membawa koper-koper besar milik Cassie, berjalan dengan langkah cepat untuk menyusul nona muda mereka.

Melihat sosok Cassie yang penuh keceriaan, Jevran tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun ia merasa berat untuk melepas kepergian sahabatnya, namun melihat kebahagiaan Cassie yang begitu terpancar memberinya rasa lega. Setelah Cassie benar-benar hilang dari pandangan, Jevran berbalik, meninggalkan area keberangkatan bandara dengan langkah pelan namun pasti, diikuti oleh para bodyguard yang menurutnya masih tetap saja mengganggu. Rasanya seperti dikawal oleh segerombolan bayangan yang tak pernah memberinya kebebasan.






TBC...

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang