Chapter 8

229 44 4
                                    

“Masih ingat pulang rupanya?” Suara Ayahnya, Rahendra Atmadja, terdengar begitu dingin. Jevran mengepalkan tangannya erat, menguatkan diri saat suara langkah kaki Ayahnya semakin dekat. Rahendra, meskipun telah berusia senja, tetap memiliki karisma yang tak bisa diabaikan. Sosoknya tinggi tegap, dengan tatapan tajam yang menuntut jawaban dari putranya yang baru saja kembali setelah dua hari menghilang.

“Dari mana saja kau?” Rahendra bertanya lagi, kali ini lebih keras, nadanya memerintah dan tak sabar. Rahendra Atmadja adalah sosok yang tak pernah menerima jawaban setengah-setengah. Para pelayan yang tadinya berdiri di sekitar ruangan segera menundukkan kepala lebih dalam, takut menjadi sasaran kemarahan sang tuan rumah. Keheningan di antara mereka semakin tebal, seakan-akan ruangan besar itu menyusut di bawah tekanan emosi yang mulai naik.

Jevran, yang semula menundukkan kepala, akhirnya mengangkat dagunya dan menatap lurus ke arah Ayahnya. Tatapannya tak kalah tajam. “Bukan urusan Daddy,” ucapnya dengan nada datar namun penuh perlawanan. Tanpa menunggu balasan, Jevran berusaha melangkah maju, mencoba mengabaikan kehadiran ayahnya.

Namun, langkahnya kembali terhenti ketika suara lain, lebih lembut namun penuh dengan emosi, memecah keheningan. “Jevi!” Suara itu milik Cassie, gadis yang berlari turun dari tangga dengan air mata menggenang di matanya. Cassie segera memeluk Jevran erat-erat, tubuhnya gemetar. “Hiks... kemana saja kamu dua hari ini?” Suara Cassie tersendat-sendat di antara isakan tangisnya yang membuat Jevran semakin bingung. Ia mencoba menenangkan gadis itu dengan menepuk pelan punggungnya.

“Kau sudah kembali?” tanya Jevran, nadanya mencerminkan kebingungan yang jelas. Cassie tampak tak menjawab, malah memukul dadanya pelan sambil terus menangis lebih keras. Kebingungan Jevran bertambah saat dilihatnya ibunya, Riana Atmadja, turun dari lantai dua bersama kedua orang tua Cassie, Bisma dan Jenata, yang juga tampak muram. “D-dia...dia meninggalkanku Jevi,”

“Apa maksudmu?” Jevran semakin tak mengerti namun, Cassie tak mengatakan apapun, hanya semakin menenggelamkan wajahnya di dada Jevran, air matanya terus mengalir.

Bisma, ayah Cassie, akhirnya berbicara dengan nada yang berat. “Pertunangannya dibatalkan.” Matanya menatap penuh kesedihan ke arah putrinya yang masih terisak di pelukan Jevran.

Sekejap, dunia Jevran seolah berhenti. Ia terkejut bukan main, tidak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Pertunangan Cassie dibatalkan? Siapa yang berani membuat gadis itu terluka seperti ini? Pikirannya berputar cepat, namun tubuhnya bereaksi lebih dulu. Ia mengeratkan pelukannya pada Cassie, seakan ingin melindungi gadis itu dari semua kesedihan yang ia alami. “Bangsat,” umpat Jevran pelan, hampir tak terdengar, saat tangannya mengusap lembut punggung Cassie yang bergetar karena tangisnya.

“Tenang, sayang, semua akan baik-baik saja,” suara lembut ibunya, Riana Atmadja, memecah suasana tegang. Ia menghampiri dan dengan lembut menarik Cassie dari pelukan Jevran ke dalam pelukannya sendiri. Riana menenangkan gadis itu dengan sentuhan lembut seorang ibu. “Kita akan menyelesaikan ini, jangan khawatir.”

Namun, ketegangan di ruangan itu belum selesai. Rahendra Atmadja, sosok otoriter yang selalu memegang kendali, tampaknya telah mengambil keputusan sendiri. “Kau akan menikah dengan Cassie bulan depan,” ucapnya tanpa ekspresi, namun dengan nada yang tak bisa dibantah. “Setelah pernikahan Damian dan Matteo selesai, kau dan Cassie akan menikah. Itu sudah diputuskan.”

Jevran terdiam, kata-kata ayahnya menggema dalam pikirannya. Menikah? Bulan depan? Dengan Cassie? Ia belum bisa mencerna semuanya. Hanya dua hari ia menghilang, dan tiba-tiba seluruh hidupnya seperti diputuskan begitu saja tanpa ada peringatan. Ia hendak berbicara, ingin menentang atau setidaknya meminta penjelasan, namun bibirnya terasa kaku, tertahan oleh kekacauan yang bergejolak di dalam hatinya.

From Eyes to Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang