Bagian Dua - Kedai Nona Emi

20 2 0
                                    

Kedai Nona Emi terletak pada sudut sebuah jalan besar. Bersampingan dengan toko kelontong Ibu Hanum, tempat dimana Hana dan Mona menghabiskan uang membeli berbatang-batang es krim kala cuaca panas menyerang. Seberang jalannya berdiri tiga gedung apartemen yang dibangun sejak sepuluh tahun lalu. Kedai makanan yang selalu dipenuhi para paruh baya saat pagi dan dipenuhi karyawan-karyawan kantoran jika semakin malam. Kedai yang tak begitu luas ini dipenuhi enam kursi dan dua kursi untuk masing-masing mejanya. Segalanya berukuran sedang, terbuat dari kayu-kayu jati yang dipoles halus. Tepat ditengah kedai berdiri meja konter dan meja bar yang disatukan membentuk hurut 'U' juga diberi beberapa kursi agar bisa menampung lebih banyak pelanggan. Pelanggan yang terduduk disana bisa melihat langsung dapur Kedai Nona Emi. Melihat bagaimana mereka memasak. Seperti bagaimana Hana selalu terduduk di kursi tengah meja bar untuk menikmati makan malamnya. Membuatnya menggoyang hak tingginya yang setengah terlepas ketika hidangan pesanannya meluncur masuk ke dalam mulutnya.

Menemukan Kedai Nona Emi ditengah kelelahan dan tekanan kala pulang dari bekerja sebagai sekretaris Danudirja Samudera adalah sebuah keberuntungan paling besar, paling tak terduga yang bisa dibayangkan Hana Almira Baruna. Mengapa ia tak pernah tahu ada kedai semengagumkan ini di seberang tempat tinggalnya selama tiga tahun pertamanya menempati salah satu bagian apartemen ini? Hana selalu mempertanyakannya setiap saat. Tapi, segala sesuatu yang baik selalu menghampiri manusia dengan cara yang tak pernah bisa diduga. Seperti bagaimana Hana menemukan kebahagiaan dalam Kedai Nona Emi kala ia dihujam ribuan tekanan selama bekerja.

Pak Atma adalah sebagaimana orang-orang selalu menyebut pemilik dan pengelola kedai ini. Ia pria bertubuh besar, tinggi dan bugar untuk ukuran pria berusia pertengahan lima puluhan. Pak Atma juga yang menjadi orang pertama yang menyambutnya ketika kakinya mendadak melangkah masuk, melewati pijakan rendah pintu masuk Kedai Nona Emi. Dalam sekejap, Hana telah duduk tepat ditengah kursi bar. Menatap Pak Atma yang sama-sama bingung. Ia tahu ia harus memesan saat itu juga. Tapi, ia kehilangan tenaga untuk bersuara sesaat setelah duduk. Saat itulah, Pak Atma bersuara. Menyarankannya untuk mencoba baris pertama dari daftar menu yang ada. Hana menyetujuinya dalam diam. Ia merasa lelah untuk segala hal tentunya.

Sepuluh menit. Hana menunggu tepat sepuluh menit. Suara alat-alat makan berdenting. Sebuah nampan diletakkan pada mejanya ketika ia menunduk. Sepiring nasi goreng yang harum dan segelas teh hijau dingin. Hana tak pernah bisa melupakan aromanya hingga kini. Ia kemudian menggerakkan sendok. Mengunyah sesendok nasi gorengnya pelan lalu terdiam untuk waktu yang lama.

Lima detik hingga satu menit. Satu titik demi titik air mata yang Hana tahu miliknya sendiri telah jatuh mengenai meja kayu Kedai Nona Emi. Ia terisak pelan sementara Pak Atma yang menyadari itu mulai menghampiri dengan rasa panik. Ia yakin tak memasaknya dengan pedas, ia yakin tak memasaknya dengan menambahkan rempah aneh hingga bisa membuat seseorang menangis. Tapi, Hana tak pernah menangis untuk hal sekecil rasa pedas atau tak sengaja menggigit lidah sendiri. Hari itu. Hari pertamanya mengunjungi Kedai Nona Emi, Hana menangis karena ia dan lidahnya akhirnya bisa merasakan sesuatu ketika mengunyah. Ia bisa merasakan asin dan gurih bersamaan atau dingin dan manis dari minuman dinginnya. Ia akhirnya merasa seperti benar-benar menikmati makanannya selama ini. Hana akhirnya merasa seperti hidup kembali.

Hana mengucapkan terima kasih berulang kali pada Pak Atma hari itu. Ia berjanji akan kembali dan hari Kamis menjadi hari dimana ia mulai mengunjungi Kedai Nona Emi. Memesan hidangan yang tertulis pada baris kedua dari daftar menu pada kedatangan keduanya, baris ketiga pada kedatangan ketiganya dan baris selanjutnya pada minggu-minggu selanjutnya.

Itulah ritual Hana Almira Baruna setiap hari Senin. Menyantap masakan Kedai Nona Emi yang kaya akan rasa dan menggugah seleranya setiap saat. Lima tahun lamanya Hana melakukan ritual itu. Seluruh barisan menu telah habis dipesan. Ia selalu memulai kembali dengan memesan baris menu paling pertama jika seperti itu. Dan, Hana hanya tak pernah bosan untuk terus kembali dan mencoba seluruh masakan yang dibuat dengan tangan ajaib Pak Atma.

Kedai Nona EmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang