Bagian Enam - Sudahkah Kau Mencintaiku?

16 2 0
                                    

Hana menyentuh perutnya. Lagi-lagi di dalam sana terisi penuh. Meski hari ini bukan jadwal ritualnya berlangsung, tapi tentu saja adalah sebuah kebodohan jika tak menyantap apapun meski sudah menginjak Kedai Nona Emi. Pilihan disana hanya dua. MAKAN atau makan.

Hana menekan sandi apartemen. Pintu terbuka. Tapi menemukan Mona telah pulang lebih dulu membuatnya terkejut Hana meletakkan semua kantong plastik diatas meja dapur.

"Bukankah kau lembur?"

"Aku urungkan setelah Bibi Tari menghubungiku untuk bertanya apa bingkisan yang ia kirimkan telah sampai. Ia berkata ada bibit tanaman yang ia kirimkan bersama disana. Aku pulang untuk memeriksanya. Dan ternyata, sudah datang." Mona menunjukkan kotak kardus yang telah terbuka di atas sofa.

Oh.... Astaga! Hana menggeleng. Dan atasannya menginjinkan semudah itu? Hana mendadak ingin pindah kerja saja. Ia tak ingin menilik kardus itu sekarang. Hanya ingin segera mandi, mengganti pakaian dan bersantai.

"Kau sudah makan?" Mona berdiri. Ia memeriksa isi kantong plastik yang dihempaskan Hana beberapa menit lalu. Sementara pelaku telah berjalan kesana-kemari, menyiapkan peralatan mandi dan membuat suaranya keras-pelan karena terus keluar masuk ruangan.

"Ya, sudah. Di kedai bawah."

"Kedai Nona Emi?" Mona mengeluarkan sesuatu. Menatap dengan aneh. Ia tahu mempercayakan kegiatan belanja bulanan pada Hana tak pernah menjadi pilihan yang tepat kecuali terpaksa. Entah sejak kapan ia meminta untuk membeli lampu hias warna-warni atau ornamen kucing yang biasa diletakkan di bagian paling depan meja kasir.

"Ya, disana. Menyantap satu piring nasi goreng yang aromanya membahanaaaa..." Hana mendadak keluar mengucapkan kalimat akhirnya seolah tengah bermain opera, lalu kembali masuk dalam kamar tidurnya.

"Payah. Kau tak pernah mengajakku pergi. Kita hanya selalu datang terpisah. Apa alasanmu hanya datang setiap hari Kamis?"

"Hmmm... Rahasiaaaa." Hana kembali bernyanyi. Tak lama, Hana berlari keluar menghampiri Mona.

"Lalu, lalu, lalu.... Disana, kau akan menemukan sesuatu yang menarik." Hana menekan hidung Mona usil.

"Apa? Pak Tomi?"

"Hei! Tentu saja, bukan. Sama sekali. Bukan. Tengtong. Jawabanmu salah. Yang benar adalah..." Hana menarik Mona. Membuka pintu balkon dan melangkah keluar. Setelahnya, kedua tangannya merebak ke atas langit. Tak menunjukkan apapun.

"Kau gila? Kau sakit? Bekerja dengan Danudirja pasti membuatmu hilang akal, bukan begitu?" Mona menatap sinis. Tapi Hana masih belum berhenti.

"Aku menunjukkaan sesuatu. Ini." Hana menunjuk langit. Hanya langit yang telah berubah menjadi lebih gelap.

"Oh.... Kasihan sekali Hana kami. Astaga! Aku harus segera reservasi rumah sakit. Besok ajukan surat pengunduran dirimu dari Bahamas, Hana. Oh.... Kepalaku."

Hana hanya terkekeh dan kembali masuk.

*****

Seminggu berlalu cepat. Namun, manusia di hadapan Atma saat ini tampak masih terlarut sepenuhnya dalam memori seminggu lalu. Langit, putranya menjadi lebih banyak diam daripada biasanya. Sesekali menatap tangannya yang masih kemerahan namun tak akan sampai meninggalkan bekas. Apa lagi yang ia pikirkan? Atma sadar ada saja sesuatu yang berbeda setiap putranya habis bertemu dengan pelanggan paling setianya. Entah akhirnya bercukur, memunculkan semburat merah di wajahnya, atau tak berhenti gugup menyembunyikan utas-utas senyum yang tergambar dari bibirnya.

Sayang.

Suamiku....

Langit tak pernah bisa melupakannya sejak meninggalkan pasar swalayan. Bagaimana kecemasan ketika mendadak bertemu dengan kenalan Robert Winston yang ia lupakan namanya terganti dengan cepat ketika Hana muncul. Ada perasaan tenang saat itu. Rasa ciut dalam dirinya yang kembali terpompa besar kala Hana datang dan bersiap memarahi siapa saja dengan memperlihatkan mata besarnya. Meski, ia tahu Hana sepenuhnya membantu, tak bisa dipungkiri ada sesuatu yang berdesir pelan memenuhi sekujur tubuhnya. Sesuatu yang asing terlebih ketika dua kata itu dengan lugas dan jelas dikeluarkan dari bibir Hana.

Kedai Nona EmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang