Bagian Lima - Panggilan Itu... (I)

9 2 0
                                    

Bawang bombai, tomat, selada, daging cincang dan sebungkus roti tawar.

Aroma yang muncul ketika daging cincang yang telah diberi campuran rempah mulai terpanggang memenuhi sudut Kedai Nona Emi. Mereka menjalani sarapan pagi yang tenang disana. Kedai akan buka lebih lambat hari ini. Karena Atma lupa memesan beberapa bahan makanan yang seharusnya ia lakukan minggu lalu. Mereka kehabisan beberapa bahan saat ini dan bawang bombai terakhir baru saja Langit gunakan untuk menyempurnakan roti lapisnya.

Selama menghabiskan waktu untuk memasak di kedai, ia mulai jarang menatap layar ponsel. Tak peduli siapa saja yang mencoba memanggilnya. Ia mengabaikannya dengan sangat. Tapi, ketika sebuah pesan dari Robert Winston muncul paling atas di layar ponselnya. Ia menyampaikan salamnya. Langit berhenti berkedip.

Untuk apa lagi mencarinya?

"Langit..." Atma memanggil.

"Langit." Panggilnya lagi.

"Ya?" Langit akhirnya mendongak.

"Makan. Lalu, bantu ayah untuk pergi ke toko pangan. Beli semua bahan makanan yang kurang. Ayah harus mengunjungi toko daging."

"Ya, Ayah."

Ponsel Langit dimatikan.

Keduanya kembali makan dalam diam. Mengunyah pelan. Atma melihat Langit sesekali. Ia tahu sifat putranya. Mungkin telah terjadi sesuatu diluar sana hingga putranya pulang mendadak. Namun, Atma tak pernah bersuara untuk bertanya. Itu tak pernah menjadi ranahnya ketika Emi yang selalu melakukannya. Emi yang selalu bertanya pada siapapun bagaimana hari mereka, bagaimana keadaan mereka. Lalu pada Langit, ia tak lebih memikirkan hal yang sama. Ia tahu betapa Atma penasaran perihal kepulangannya. Namun selama apapun, Langit masih tak berani menjawabnya dengan percaya diri.

Putranya telah kabur untuk yang kedua kalinya. Ia mengecewakan satu-satunya keluarganya. Dasar dua manusia ini. Meski saling mengerti perasaan satu sama lain. Tapi selalu butuh seorang perantara seperti Emi untuk memperjelasnya.

Lalu disamping itu. Ada sesuatu yang mulai berubah. Sejauh ini, Langit telah bertemu Hana sebanyak tiga kali. Pembicaraan mereka saling sambung antar satu sama lain. Hana sering sekali tertangkap tersenyum ketika mereka berbicara. Langit, kapan lagi Atma mendapati putranya mencukur bulu-bulu yang mulai tumbuh di sekitar wajahnya dengan sukarela? Bahkan, ia sempat menolak ketika diminta untuk segera mencukur pada awal kepulangannya.

Atma ingat Emi wanita periang dan ramah. Sementara dirinya, berjiwa bebas, pemberani yang bahkan mengarungi laut untuk kemudian sampai pada ibunya. Darimana sifat pemalu ketika menghadapi perempuan itu berasal sebenarnya?

Langit kembali menilik ponselnya. Atma memecah keheningan saat itu juga.

"Ini bukan karena perempuan, bukan?" Tanya Atma. Ia menduga kepulangan putranya.

Langit tersedak roti miliknya sendiri. Terbatuk-batuk sejenak. "Hmm... Tentu saja tidak."

Atma berakhir mengangguk-angguk.

*****

Hah.... habis sudah hak tinggiku.

Hana seharusnya mengganti hak tingginya menjadi sepatu kets saja sejak tadi. Ia tak pernah membayangkan harus berdiri di bawah matahari dan bertapak pada ladang rumput kehijauan yang lembap setelah hujan. Menunggu atasannya selesai dengan segalanya disana.

Sekali lagi, pikiran Hana buyar. Kaca-kaca besar yang menjadi sekat di rumah Danudirja memperlihatkan segalanya. Bagaimana ia mengangkat putranya dengan mudah, tertawa dan bergurau bersama.

Iri, iri, iri. Pergilah kau!

Hana mengatup bibir. Apa ayahnya pernah melakukan hal yang sama dengannya? Entahlah, Hana tak ingat sedikitpun masa-masa itu. Ia lagi-lagi menahan senyumnya ketika melihat kembali sisi lain atasannya. Danudirja yang dikenal keras, pemarah dan tegas pada siapapun menjadi murah senyum ketika disandingkan dengan putranya. Hal pertama yang Danudirja tekankan sejak dulu adalah menjadikan makan siang atau pertemuannya dengan keluarga kecil masuk ke dalam jadwal sehari-harinya ditengah pekerjaannya. Menandakan bahwa itu hal yang tak bisa diganggu gugat bagaimanapun caranya.

Kedai Nona EmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang