Hana jahat.
Ia jahat sekali mempermainkan hati Langit yang rapuh dan mudah luluh. Bagaimana ia bisa menyuarakannya dengan mudah bahwa ia sedang bercanda setelah bertanya seperti itu? Kini mereka terduduk di sebuah kedai yang hanya buka untuk melayani jam sarapan, sesuai ucapan Hana. Kedai yang dipenuhi ornamen-ornamen kayu meliputi meja, kursi hingga kotak tisu. Hana mulai terlarut dalam kegiatannya menuangkan air mineral ke dalam gelas mereka sementara Langit masih menunduk. Mengelus telapak tangannya pelan.
"Aku sungguh minta maaf." Hana menyerahkan segelas air putih di hadapannya.
"Lain kali, aku tak akan melakukannya lagi." Lanjut Hana. Ia hanya tak mengira akan langsung diabaikan Langit sampai saat ini. Wejangan Bibi Tari memang tak patut untuk diikuti semuanya. Tapi, wajah Langit ketika ia mengatakannnya saat itu sungguh Hana kembali ingin melihatnya. Mereka merah menyerupai tomat.
HAHAHAHA...
Langit akhirnya mendongak. Mengalihkan pandangannya menuju sekitar kedai. Suasananya ramai, kursi-kursi dipenuhi puluhan pelanggan yang terlihat begitu tak ingin melewatkan kesempatan menyantap sarapan pagi. Lalu ia mulai terpaku pada Hana. Terpaku pada jari-jarinya. Terpaku pada raut indahnya.
"Kalau boleh tahu.... Mengapa selalu hari Kamis? Kedatanganmu di kedai kami?" Tanya Langit ragu.
Hana menghentikan tangannya menyeka meja. "Hm... untuk kabur?" Ia mengulas senyum. Menatap Langit sebelum kembali bersuara.
"Karena... hari Kamis adalah batasku menoleransi pekerjaanku. Atau mungkin, batasku menoleransi segala hal. Ketika itu terjadi, aku tahu aku butuh sebuah pelarian. Aku membutuhkan sesuatu untuk menetralkan perasaan jenuh ini bagaimanapun caranya. Saat itulah aku menemukan Kedai Nona Emi. Merasakan sendiri bagaimana perasaan jenuh itu hilang ketika menyantap hidangan yang dibuat sepenuh hati itu dan bagaimana waktu-waktu yang aku habiskan disana memadamkan setiap amarahku. Aku mulai menjadikannya sebuah rutinitas layaknya itu adalah sebuah hadiah untuk diriku sendiri. Sekarang, tak mengunjungi Kedai Nona Emi sehari malah membuat hidupku kekurangan sesuatu."
Langit mengangguk pelan. Ia mengerti. Ia tahu benar bagaimana rasa jenuh itu.
"Ini pesanan kalian. Hati-hati karena ini panas." Seorang pria datang membawa nampan. Meletakkan mangkuk besar yang hawa panasnya segera mengepul ke atas.
"Biasanya kau bisa menghabiskan dua mangkuk." Pria itu melenggang pergi setelah berucap.
"Hei! Paman. Jangan membeberkan rahasiaku." Hana mendelik. Melirik tajam pria itu ketika tertawa dalam diam.
Ia kembali memalingkan wajah dan menarik sumpit. Langit kembali menatapnya sempurna. Menahan senyum. "Mau milikku juga?" Tanyanya.
Ah... habis sudah.
Ada kalanya Langit bertindak usil. Itu tindakan yang tak bisa dikendalikan olehnya. Hanya muncul pada beberapa saat tertentu. Mungkin saja ini salah satu kebiasaan yang diturunkan Emi padanya. Entah berapa kali ia pernah dibuat menangis karena Emi tak habis mengusilinya.
"Kita bertaruh, Langit. Aku yakin kau juga akan menghabiskan dua mangkuk setelah mencicipinya." Hana mengangkat sumpitnya.
"Setuju." Langit mengangguk ketika Hana menantangnya. Ia tersenyum ketika menerima sumpit Hana yang diberikan padanya.
Membuat makanan berat sebagai sarapan? Siapa takut? Hana dan Langit, keduanya punya nafsu makan yang besar sampai keduanya menghabiskan tiga mangkuk besar kedai itu.
"Aku menang." Hana menjatuhkan kepalanya menyentuh meja. Ia tak akan pernah menyadari tangan kiri Langit menahan kepalanya dari benturan pada meja. Perutnya kenyang. Penuh sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kedai Nona Emi
RomanceJika harus memilih bagian terburuk selama kehidupannya, alih-alih menyebut bagian dimana ia menyaksikan perceraian orang tuanya saat berumur lima tahun, Hana lebih memilih bagian dimana ia mulai bekerja sebagai sekretaris Danudirja Samudera. Pria in...