Bagian Satu - Hana Almira Baruna

27 3 0
                                    

"Hana Almira Baruna." Suara seorang perempuan berangsur jelas ketika pintu kamarnya terbuka. "Kalau kau tak bangun sekarang, kau akan melewatkan perhentian bus ketiga hari ini."

"Ahh.... Mona. Lima menit? Bisakah kau saja yang mengantarku nanti?" Selimut Hana terhenyak. Raut wajahnya sembab. Hana Almira Baruna, bibir tipisnya terbuka. Ia menguap lebar.

Sudut-sudut apartemen yang ia tempati bersama Mona mendadak dingin setelah pintu kamarnya dibiarkan terbuka. Mona meninggalkannya tanpa berkata apapun. Perempuan itu hanya sibuk mengunyah makanan manis sebagai sarapan pagi ketika Hana mulai menginjak lantai dapur dan meneguk segelas air hingga isinya tandas.

"Mandilah, bau. Atau aku akan meninggalkanmu setelah ini. Nasi goreng di meja itu untukmu." Mona berucap sembari menyemprot air-air dari botol pada tanaman hias di depan balkon.

Oh... kebiasaannya.

Hana hanya kembali menguap. Nasi goreng masakan Mona membuatnya berselera. Tapi, ia lebih berselera untuk kembali tidur. Hana mengurungkan niatnya. Berjalan lesu ke arah kamar mandri setelah mengambil handuk. Di bawah air yang tak hentinya memancur keluar membasahi seluruh tubuhnya, ia menghitung berapa jam lamanya ia tidur kemarin malam.

"Lima jam."

Huuuu.... Lima jam, Hana. Hanya lima jam. Dirja sialan!

"AAAAAAAA......" Suara nyaring kamar mandi terdengar hingga luar.

Mona mengangguk-angguk. "Sering terjadi. Jangan sampai membasahi lantai luarnya, bodoh!"

Jika harus memilih bagian terburuk selama kehidupannya, alih-alih menyebut bagian dimana ia menyaksikan perceraian orang tuanya saat berumur lima tahun, Hana lebih memilih bagian dimana ia mulai bekerja sebagai sekretaris Danudirja Samudera, Sang presiden direktur Bahamas, sebuah pusat perbelanjaan elit masa ini. Mulai dari mengatur jadwal rapat yang akan pria itu hadiri hingga menggiring belasan pakaian pria itu karena ia tak sudi memakai pakaian yang sama dalam dua hingga tiga rapat yang berbeda dalam satu hari. Dua hari lalu, ia hampir membantu pengurus penatu untuk menyetrika pakaian atasannya karena melihat betapa lambatnya mereka bekerja. Kemarin, ia mencetak kembali ratusan halaman dokumen karena mereka ditumpahi kopi dan banting setir menjadi seorang pramudi, mengantar atasannya kesana-kemari karena pramudi mereka hanya pergi sejenak untuk urusan toilet. Namun, pria ini bahkan tak mengenal kata menunggu. Hana hanya tak berhenti menghela nafas bekerja sebagai sekretaris Danudirja Samudera. Ini tahun kelimanya.

"Angkat wajahmu." Mona mendekati meja makan. Tangannya bersiap memoles maskara pada bulu mata Hana yang lentik sementara, Hana melahap nasi gorengnya.

Rambut keriting alami Mona kini terikat rapi. ia juga memakai kacamantanya. Di mata Hana, ia selalu tampak seperti seorang ibu. Membuatkan sarapan, terkadang menyiapkan pakaiannya, mengomel sembari menyiapkan makan malam sederhana di tengah dapur. Dan, jangan lupakan kesukaannya mengoleksi tanaman hias yang kini memenuhi balkon aprtemen dan ruang tamu. Mona menambah teman untuk para tanaman hiasnya setiap dua minggu sekali. Kebiasaan yang membuat Hana harus melangkah sembari berjinjit, melewati pot-pot kecil, menghirup aroma hijau dan tanah setiap hari ketika membuka balkon untuk sekedar menenangkan diri. Benar, bukan? Segala tindakan Mona selalu mirip seperti seorang ibu untuk Hana yang tak pernah memilikinya lagi sejak umur lima tahun.

Tapi akhir-akhir ini, hidup Mona senggang. Ia mengurangi menguras uangnya setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai manajer proyek sebuah firma arsitektur terkutuk tiga bulan lalu. Akibatnya, ia mulai punya banyak waktu senggang hingga bisa menyiapkan sarapan untuk Hana dan mengantarnya bekerja setiap hari.

"Senang sekali menjadi pengangguran." Hana menyelesaikan sarapannya. Mengembang-kempiskan pipinya selama menatap Mona. Setelah ini, ia akan kembali bertemu dengan atasan sialan dan kembali menghadapi neraka.

Kedai Nona EmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang