Bagian Lima - Panggilan Itu... (II)

10 2 0
                                    

Danudirja baik sekali hari ini. Jarang sekali Hana dipulangkan cepat. Kapan lagi ia bisa menyaksikan langit perlahan berubah jingga dari luar Bahamas?

"Ih... Kau pulang lebih awal?"

"Oit... Tentu saja. Kau yang jadi paling sering lembur akhir-akhir ini." Hana menjepit ponselnya diantara telinga dan bahu kanannya. Mendorong pintu keluar Bahamas yang berat itu pelan.

"Ya, benar juga. Tapi, tak apa. Aku sesungguhnya punya perasaan yang cukup bagus dengan firma ini."

"Oh... aku teringat sesuatu, Mona. Pot warna biru di luar balkon. Apa namanya? Anggrek? Itu kesayanganmu. Aku yang selalu menyemburkan air-air disana setiap minggu. Tapi aku tak melihatnya pagi tadi."

"Itu. Aku bawa bersamaku. Ini di hadapanku. Di depan mejaku."

"Mo- Apa? Kau bercanda! Kau membawa tanaman hias ke tempat kerjamu." Langkah Hana berhenti secepatnya.

"Ya. Sudah aku katakan, bukan? Aku punya perasaan bagus dengan firma ini. Kau tahu, manusia di depanku membawa ikan hiasnya kemari. Tapi atasan kami tak marah sama sekali. Nona direktur kami mengagumkan."

Hana mengatup bibir. Baiklah, kedengarannya bagus tapi juga mengkhawatirkan. Danudirja bahkan tak ingin melihat siapapun masih mengunyah jika waktu istirahat telah usai atau ia bahkan tak bisa menolerir mendapati siapapun membawa urusan pribadi dalam pekerjaan.

"Lalu, karena kau pulang lebih awal. Bisakah kau mengisi kulkas kita? Akan aku kirimkan daftar apa yang kita butuhkan. Aku takut mereka tak akan buka lagi jika aku yang melakukannya nanti."

"Ya, tentu saja. Mari kita buang semua saus kadaluwarsa yang hampir aku telan itu."

"Bodoh! Itu memang karena kecerobohanmu sendiri. Aku sudah memisahkannya sejak awal. Tapi kau memang buta."

"Diamlah, aku tutup. Kirimkan daftar itu sekarang. Aku menuju ke sana saat ini juga."

Hana mengakhiri panggilan. Ia memindahkan tas miliknya yang semula disampirkan di lengan kanannya menjadi melingkari sebagian tubuhnya. Hak tinggi itu sudah berganti menjadi sepatu kets. Ia siap berlari menuju pasar swalayan yang menghabiskan uangnya dengan membeli semua yang tak termasuk dalam daftar Mona.

Oh... produk baru.

Rasa pisang?

Yang ini enak.

Hana memasukkan segala bungkus yang mereka tawarkan sebagai percobaan ke dalam troli belanja. Ia hanya terus memasukkan apa saja yang ia inginkan sembari menilik daftar yang Mona kirim sesekali.

Bawang bombai, dimana kau?

Benak Hana bersuara sementara, sosis panggang yang baru ia terima dari seorang petugas promosi masih memenuhi mulutnya. Ia mendorong troli belanja cepat tak lama setelah melirik bagian sayuran. Ia menemukannya. Bawang bombai itu. Menarik plastik dengan cepat. Hana pandai memilihnya. Mona selalu menggurui untuk mengambil bawang yang tidak lunak sisinya. Ia harus mencari yang paling keras disana.

Hana menyisihkan bagian paling atas butir-butir bawang dan kembali mencari. Sesungguhnya, ia tak yakin berapa yang dibutuhkan. Apa lima butir cukup atau terlalu banyak? Mona sering membuatnya menjadi camilan ringan dengan menggorengnya setelah dibalut dengan tepung panir.

"Ah... Maaf." Hana tersentak tatkala menemukan tangan lain tak sengaja bersentuhan dengannya. Seseorang yang lain disampingnya juga ternyata sibuk memilih bawang bombai ternyata.

"Tidak ap-"

"Pak Langit?"

Keduanya menoleh bersamaan.

Kedai Nona EmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang