Kedai Nona Emi sepi malam ini. Tentu saja, ini sudah pukul sepuluh malam. Semua karena Danudirja menahannya semalaman setelah ia tak bisa menghadiri rapat pembicaraan peresmian gerai di Bahamas. Hana harus mencatat segalanya dan merangkum untuk disampaikan padanya. Ditengah semua itu, Danudirja kembali meminta agar seluruh petugas kebersihan di gedung Bahamas berkumpul di lantai bawah untuk segera disidak, di cecar hampir dua jam lamanya setelah ia mendapat laporan bahwa suatu sudut lantai tiga pusat perbelanjaan Bahamas di jatuhi minuman dingin pengunjung namun, tak ada seorang pun yang bertugas membersihkannya. Ia tahu Danudirja bukan memarahi atau membentaknya. Tapi, berdiri di belakang Danudirja kala ia murka membuatnya terasa seperti ikut terkena imbasnya.
Hana terbiasa. Ia sudah terbiasa. Ini bukan satu-dua kali. Ia juga pernah di cecar hingga menangis oleh Danudirja di awal-awal masa kerjanya ketika tak sengaja menghilangkan satu berkas penting. Hana dipulangkan lebih awal hari itu. Itu juga hari dimana ia pertama kali menginjak Kedai Nona Emi.
Kira-kira sebuah kebetulan apa yang membuatnya bisa bertemu dengan Pak Atma terduduk di depan kedai saat ini? Pak Atma tak pernah berdiam diluar setiap kedai masih belum sepenuhnya akan tutup. Ia selalu setia menjadi garda terdepan dalam dapur. Memasak segalanya dengan tangannya sendiri.
"Malam, Pak Atma." Hana menyapa singkat.
Pak Atma meliriknya, bergegas berdiri. "Oh, Nona Hana. Hahahaha... masuk-masuk." Pak Atma menyingkirkan kain penutup pintu kedai. Memastikannya tak mengenai kepala Hana sejak perempuan itu mulai melewati pijakan rendah pintu masuk.
"Ammit." Panggil Pak Atma. Ammit menjawab sembari bergantian memanggil seseorang tak lama setelah Hana duduk. Ia pandai meracik rempah dan membuat minuman namun sulit untuk menciptakan masakan. Pak Tomi juga tak pernah memegang wajan sebelumnya selain pandai memotong adonan hingga berbentuk mi yang sama sempurna setiap ukurannya.
Kain pembatas sebelah kanan terkibas tak lama kemudian. Memunculkan seorang pria dengan penutup kepalanya yang berwarna hitam dan bertubuh tinggi.
"Oh...." Hana bergumam tanpa ia sadari. Tatapan keduanya bertemu. Terkejut atau terpesona adalah dua hal yang berbeda. Namun, itu rasa yang meliputi Hana saat ini.
Wajan yang baru selesai dibersihkan berada di tangan pria itu. Tapi, itu milik Pak Atma.
Pria yang sekitaran wajahnya dihinggapi bulu-bulu halus itu menunduk singkat. "Selamat malam. Apa ada yang ingin anda pesan?"
"Oh... ya?" Hana mendadak bingung. Telah sejak lama ia tak pernah menyebutkan menu yang ia inginkan lebih dulu karena, entah Pak Atma, Ammit atau Pak Tomi selalu mengetahuinya lebih dulu. Lantas, kemana tiga serangkai itu menghilang? Dapur saat ini kosong.
Sementara, di sudut lain dekat pintu itulah tiga serangkai itu berada. Berkumpul dengan Pak Atma, melihat dua insan yang kebingungan ini. Mengapa Pak Tomi juga mendadak ingin tahu meski raut wajahnya selalu datar?
Ah.... Hana membatin ketika melihat raut Pak Atma yang berada di belakangnya, matanya berbinar. Ia akhirnya tahu, pria di depannya saat ini adalah putranya. Putra Pak Atma yang tampan. Hana kembali berbalik.
Alih-alih mengucapkan menu yang ia inginkan. Hana menaikkan tangannya di hadapan pria itu. Ia bermaksud memperkenalkan diri. Menjabat tangan.
"Ck... Langit," Suara Ammit. Itu suara Ammit. Berbisik pada Langit untuk segera menjabat tangan perempuan itu, dibantu dengan isyarat tangannya.
Langit tak henti melongo dan mengangguk setelah tahu apa maksudnya. Ia akhirnya menerima jabatan tangan Hana.
"Hana, Hana Almira Baruna." Hana mengucap ramah. Hal yang biasa ia lakukan setiap menemui orang asing selama bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kedai Nona Emi
RomanceJika harus memilih bagian terburuk selama kehidupannya, alih-alih menyebut bagian dimana ia menyaksikan perceraian orang tuanya saat berumur lima tahun, Hana lebih memilih bagian dimana ia mulai bekerja sebagai sekretaris Danudirja Samudera. Pria in...